Site icon Jernih.co

Sri Pakualam VIII, Kisah Sunyi Pengabdi RI Saat Masih Bayi

Sri Pakualam VIII (kanan) bersama Presiden Soekarno (tengah) dan Sultan Hamengkubuwono IX di masa revolusi fisik 1945-1949. Foto: anri.sikn.go.id

JERNIH — Telah banyak literatur yang bercerita tentang sosok Sri Sultan Hamengkubuwono IX tapi sepertinya tidak banyak yang mengungkap ‘partner’ perjuangannya, yaitu Sri Paduka Pakualam VIII.

Lahir dari keluarga aristokrat Jawa, Sri Pakualam VIII mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah untuk anak-anak Eropa, dan dilanjutkan ke MULO.

Ada ilustrasi kecil yang cukup menarik tentang sosok yang satu ini, yang memperlihatkan karakter perlawanan pasif terhadap Belanda. Setelah lulus MULO, Gubernur Jenderal Belanda Andries Cornelies Dirk de Graeff bertanya kepada Sri Pakualam VIII; “Ingin melanjutkan sekolah ke mana?”

Sri Pakualam VIII menjawah; “Saya ingin bersekolah di akademi militer di Belanda.” Seakan tak siap menghadapi jawaban itu, Gubernur Jenderal De Graeff merespon sinis; “Iya, setelah lulus kamu pasti jadi pemberontak.”

Sri Pakualam VIII tahu mustahil bagi pribumi, dari golongan mana pun, bersekolah di Akademi Militer di Breda, Belanda, pada tahun 1920-an. Namun, Sri Pakualam VIII tidak sedang berkelakar ketika menjawab pertanyaan Gubernur Jenderal De Graeff.

Siapa pun yang memahami budaya Jawa, jabawan Sri Pakualam VIII atas pertanyaan Gubernur Jenderal De Graeff adalah sikap perlawanan pasif. Perlawanan yang tidak kelihatan.

Tidak ada yang tahu kelanjutan pembicaraan Sri Pakualam VIII, yang saat itu berusia belum 20 tahun, dengan Gubernur Jenderal De Graeff. Namun pembicaraan itu lebih dari cukup untuk menggambarkan patriotisme Sri Pakualam VIII.

Sri Pakualam VIII kemudian melanjutkan ke Sekolah Hukum di Batavia. Hanya dua tahun, ia balik ke Jogja dan memilih pekerjaan yang agak sedikit unik, yaitu di bidang agraria, karena sifatnya yang ingin dekat dengan rakyat.

“Jadi tidak aneh kalau tahun 1975 Sri Pakualam, yang saat itu menjabat wakl gubernur Yogyakarta, mengeluarkan instruksi 898, agar tidak memberikan hak milik atas tanah kepada warga negara non-pribumi yang meliputi ‘Europeanen’ (orang Eropa/berkulit putih) dan ‘Vreemde Oosterlingen’ (Timur Asing termasuk Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lainnya) di Jogjakarta,” kata pria yang akrab disapa Kong Teguh ini.

Jika mau melihat kembali di masa awal kemerdekaan Indonesia terutama pada tahun-tahun 45 sampai 50 bahkan seterusnya, sampai kemudian Orde Baru, maka kita bisa melihat moment satu hari setelah proklamasi.

Sri Pakualam VIII bersaa Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengirim telegram ke pemerintah Republik Indonesia yang baru berusia dua hari itu. Isi telegram adalah dukungan penuh terhadap kemerdekaan Republik Indonesia.

Yang paling istimewa adalah Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman menjadi kerajaan pertama di Nusantara yang menyatakan dukungan kepada Republik Indonesia. Tindakan Sri Pakualam VIII dan Sri Sultan Hamengkubuwono menginspirasi kesultanan lain di Nusantara untuk mendukung Republik Indonesia.

Status Kesultanan dan Pakualaman pada masa penjajahan Belanda adalah zelfbestuur, atau wilayah berpemerintahan sendiri. Jepang datang dan memberikan status koti, yang artinya relatif sama dengan wilayah berpemerintahan sendiri.

Di bawah arahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Pakualam VIII dengan kerendahan hati menyatakan menjadi bagian Republik Indonesia lewat amanat dan maklumat 5 September 1945, yang dibuat terpisah.

Sri Sultan HB IX menggunakan kata ‘amanat’. Sedangkan Sri Pakualam VIII memakai kata ‘maklumat’. Lebih tepatnya, maklumat Pakualam VIII.

Maklumat Pakualam VIII ditulis dengan menarik, menggunakan penanggalan Jawa, yaitu 28 Puasa Ehe 1876. Ehe mengacu pada hitungan dalam penanggalan Jawa.

Dalam maklumat itu Sri Pakualam VIII menegaskan sebagai pemegang kekuasaan Negeri Pakualaman menyatakan diri menjadi bagian dari Republik Indonesia. Artinya, kemudian sebagai bagian dari Republik Indonesia dia bertanggung jawab atas negerinya dan menjalankan kewajibannya sebagai bagian Republik Indonesia. Itu benar-benar dijalankan hingga akhir hayatnya.

Ada beberapa peristiwa menarik yang memperlihatkan patriotisme Sri Pakualam VIII. Setelah kabar Jepang menyerah tersiar, orang-orang turun ke jalan, menurunkan bendera Jepang, dan melucuti senjata serdadu Nippon.

Jumlah senjata yang jatuh ke tangan rakyat tidak diketahui. Yang pasti sangat besar. Senjata berada di tangan rakyat tak terorganisir adalah bahaya luar biasa, karena bisa memicu adu senjata antara kelompok yang ingin mempertahankan kemerdekaan dan petualang di masa krisis.

Menghadapi situasi yang sangat sulit itu, Sri Pakualam VIII dan Sri Sultan HB IV mengundang kelompok-kelompok pemuda serta mereka yang terlibat dalam perebutan senjata Jepang. Pertemuan diadakan di Kepatihan, dan yang hadir sekitar 50 orang.

Sri Pakualam VIII dan Sri Sultan HB IV yang masih sangat dihormati, dan dengan kerendahan hati, menyampaikan pandangannya tentang bahaya jika senjata berada di tangan rakyat. Pembicaraan tentu saja tidak berjalan mulus, namun satu kesepakatan bisa dibuat. Yaitu, pembentukan laskar rakyat.

Anggota Laskar Rakyat adalah orang-orang yang berperan dalam proses pelucutan senjata tentara Jepang. Dalam pertemuan tersebut Sultan HB IX dan Sri Pakualam VIII, serta Muhammad Saleh yang berasal dari kubu Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID), membentuk struktur organisasi Laskar Rakyat.

Yang juga penting pada pertemuan itu adalah kalli pertama Sri Sultan HB IX dan Sri Pakualam VIII terlibat dalam pembentukan kesatuan militer Indonesia. Serta, keduanya melibatkan Muhammad Saleh sebagai perwakilan Republik Indonesia di Yogyakarta.

Kepindahan Ibu Kota

Saat terjadi krisis di Jakarta, dan pemerintah Indonesia harus pindah, Yogyakarta menjadi pilihan paling strategis. Alasannya, ketegasan Sri Sultan HB IX dan Sri Pakualam VIII mendukung Republik Indonesia.

Alasan lain, Yogyakarta memiliki semua fasilitas untuk menjalankan pemerintahan RI. Yang juga tak kalah penting adalah ketersediaan logistik dan akomodasi yang cukup.

Fakta sangat menarik dalam periode ini adalah Sri Sultan HB IX dan Sri Pakualam VIII menyumbang 16 juta gulden kepada pemerintah RI. Jika uang itu dihitung menurut nilai saat ini, kita mungkin akan mendapatkan angka Rp 15 triliun lebih. Patokan perhitungan adalah harga emas saat itu dan saat ini.

Di luar sumbangan itu, Sri Sultan HB IX dan Sri Pakualam VIII juga membayar gaji para meteri dalam kabinet RI. Petinggi militer diberi rumah dinas, tentu saja bersifat sementara.

Puri Pakualaman atau Puro Pakualaman, yaitu istana Pakualaman itu, berubah menjadi istana Republik Indonesia. Sebab, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta tinggal di situ. Dalam Bahasa Muhammad Subarkah, seorang wartawan Republika, Puro Pakualaman menjadi Puro Republik.

Ketika Belanda menyerbu Yogyakarta, dan TKR harus keluar untuk menjalankan perang gerilya, Sri Sultan HB IX dan Sri Pakualam VIII tak henti memberi akomodasi. Sri Pakualam VIII tidak hanya memberi jalan tentara lari ke luar Yogyakarta, tapi membekali mereka dengan makanan dan kebutuhan lainnya.

Yang namanya bergerilya, tentara sering masuk kota secara diam-diam untuk mencari logistik. Sri Pakualam VIII selalu menyediakan nasi bungkel, atau nasi bungkus — yang kemudian dikenal dengan sebutan nuk revolusi — kepada tentara yang lewat.

Menurut Sri Pakualam VIII, seperti ditirukan abdi dalem-nya, tidak boleh ada tentara yang lapar. Tentara yang datang, berapa pun jumlahnya, akan mendapat makan dan pergi membawa makanan untuk rekan-rekan yang lain.

Itu dilakukan berbulan-bulan, setidaknya selama perang gerilya. Seolah duit Sri Pakualam VIII tidak habis-habis untuk membiaya makan tentara.

Sri Pakualam VIII juga mengerahkan dokter dan juru rawat di wilayah kekuasaannya untuk memberi pelayanan kesehatan gratis kepada pejuang dan rakyat biasa. Peran inilah yang membuat Sri Pakualam VIII diangkat sebagai gubernur militer. Saat itu, Sri Sultan HB IX menjalankan tugas sebagai menteri pertahanan.

Sebagai gubernur militer, Sri Pakualam VIII melakukan regorganisasi untuk memperkuat sistem pertahanan. Ia bekerja cepat dan strategis. Semua itu dilakukan sampai menjelang Konferensi Meja Bundar (KMB) dan penyerahan kedaulatan.

Pasca KMB

Pasca KMB, atau setelah Republik Indonesia berdaulat, peran Sri Pakualam VIII berubah. Ia berkiprah di bidang politik, dengan menjadi ketua pemilihan umum daerah.

Terbiasa bekerja di tengah masyarakat, Sri Pakualam VIII terjun langsung ke masyarakat, memberi penjelasan soal pemilihan umum. Kiprahnya membuat masyarakat sadar akan hak-hak politiknya di sebuah negara bernama Republik Indonesia.

Kepiawaian ini ditempat sejak 194, ketika dia melakukan penataan pemerintahan. Salah satunya menghapus mekanisme penunjukan kepala desa, dan meletakan asas demokratisasi dengan menggelar pemilihan langsung pemimpin di tingkat desa.

Jadi, Sri Pakualam VIII yang kali pertama memperkenalkan pemilihan langsung kepala daerah, sebuah praktek demokrasi di tingkat bawah. Dia juga sempat menjadi anggota MPRS, dan pada pemilu berikutnya masih melakukan peran penting sebagai penjaga stabilitas.

Sri Pakualam VIII adalah sosok yang memiliki multipran. Ia terus berdampingan dengan Sri Sultan HB IX, dan tidak pernah berusaha menonjolkan diri. Ia juga tidak merasa tertindih oleh Sri Sultan HB IX.

Sebagai pemimpin, Sri Pakualam memiliki integritas dan kemampuan menghasilkan ide-ide brilian. Ia senantiata teguh menjalankan ide-ide itu.

Di bidang sosial, misalnya, Sri Pakualam VIII mendirikan Yayasan Roro Jonggrang yang bergerak di bidang seni budaya, utamanya menyelenggarakan sendratari kolosal setiap bulan purnama di panggung terbuka Candi Prambanan.

Ia juga berperan aktif menjadi ketua Museum Perjuangan di Yogyakarta, menggagas pendirian kebun Binatang Gembira Loka dan masih banyak lagi peran yang dimainkan serta gagasan-gagasan beliau lainnya.

Saat Sri Sultan Hamengkubuwono IX menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia mendampingi Presiden Soeharto, Pakualam VIII sepenuhnya berperan menjadi kepala daerah istimewa Yogyakarta.

Tugas itu diemban dengan sangat baik. Namun anehnya, beliau tidak pernah menempatkan diri sebagai kepala daerah. Beliau selalu menjaga agar sosok Sri Sultan HB IX sebagai Gubernur DIY tetap pada tempatnya. Karena ketokohannya dan kelihaiannya mengambil tempat tanpa harus mendominasi panggung kepemimpinan membuatnya tidak sulit berbicara kepada rakyatnya.

Tidak Aneh-aneh

Banyak orang mengatakan, tidak hanya di kalangan Puro Pakualaman tapi juga di luar, Sri Pakualam VIII adalah sosok sederhana. Hobinya tidak aneh-anah, hanya panahan. Olahraga yang mengajarkannya bagaimana tetap fokus pada tujuan.

Tidak sekedar hobi panahan, Sri Pakualam VIII juga menggagas berdirinya organisasi Persatuan Panahan Seluruh Indonesia (Perpani). Beliau sama sekali tidak larut dalam gaya hidup masyarakat modern, dengan olahraga elitis.

Ia memasyarakatkan olahraga panahan mulai dari keluarga, lingkungan Puro Pakualaman, setelah itu ke seluruh Indonesia. Ia mengajarkan anak cucunya belajar memanah sejak dini. Bahkan abdi dalemnya diajarkan memanah.

Beliau adalah sosok yang konsisten dan sportif dengan apa yang sudah menjadi keputusannya. Ada peristiwa, di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan, dia kumpulkan abdi dalem setianya. Kepada mereka Sri Pakualaman VIII mengatakan betapa kesetiaan mereka tidak lagi sekedar kepada Pakualaman, tapi kepada Republik Indonesia.

Jadi, Sri Pakualam VIII sedini mungkin mengajarkan kepada orang sekelilingnya tentang situasi politik yang berubah, serta tentang kesetiaan mengabdi kepada masa depan Republik Indonesia.

Itulah sikap yang sangat menarik, didukung dengan cara berkomunikasinya yang elegan di hadapan keluarga, lingkungan istana, dan rakyat kebanyakan. Tidak aneh jika banyak peristiwa yang diingat masyarakat akan sosok Sri Pakualaman VIII.

Salah satunya, saat bersama Sri Sultan HB IX membagikan lilin dan minyak tanah ke seluruh rakyat Yogyakarta. Tekanan ekonomi yang menghantam Kasultanan dan Pakualaman dengan keras membuat Sri Sultan HB IX dan Sri Pakualam VIII mencoba mengatasi kesulitan rakyatnya yang tercekik boikot ekonomi Belanda.

Puro Pakualaman juga menyediakan listrik untuk rumah sakit dan klinik-klinik, karena fasilitas kesehatan sangat tidak mungkin bekerja tanpa listrik yang cukup.

Sri Pakualam VIII bukan sekedar sosok di lingkar sejarah tapi juga pelaku sejarah. Ia memberikan semua yang dia miliki; harga, tenaga, dan pikiran, agar Republik Indonesia yang masih bayi bisa tegak berdiri dan melewati tahun-tahun kritis.

Di kalangan sejarawan muda, peran beliau antara 1945-1949 selalu menjadi pembahasan menarik. Lebih menarik lagi, akan selalu muncul informasi baru yang menegaskan peran beliau yang tidak tertindih bayang-bayang Sri Sultan HB IX.

Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hingga saat ini pemerintah belum juga memberi gelar pahlawan nasional. Sudah waktunya Sri Pakualam VIII itu menerima gelar pahlawan nasional. Sebab dia adalah bagian integral perjuangan bangsa Indonesia. Dia juga bagian integral pembangunan politik bangsa.

Kita yang melanjutkan perjuangan para pahlawan, dan mengisi kemerdekaan, seharusnya tidak melupakan pengorbanan Sri Pakualam VIII memapah republik ini saat masih bayi, saat melangkah, dan berjalan dengan kepala tegak.

Exit mobile version