- Suster Ann Roza Nu Tawng melakukannya sejak 28 Februari.
- Ia menyatakan siap menjadi martir untuk melindungi pengunjuk rasa.
- Ia membawa pengunjuk rasa sekarat ke Puskesmas, dan menyaksikan kematiannya.
- Suster Ann masih akan terus berlutut dan memohon.
JERNIH — Sekian kali dalam sepekan Suster Ann Roza Nu Tawng mendatangi polisi dan tentara Myanmar, berlutut, dan memohon agar tidak menembak pengunjuk rasa.
Myitkyina News Journal melaporkan Suster Ann melakukannya kali pertama pada 28 Februari, aksinya diabadikan sesama suster dan viral di media sosial.
Saat itu, Suster Ann berlutut di depan kerumunan tentara dan polisi, memohon agar tidak ada lagi korban jatuh dalam unjuk rasa.
Senin 8 Maret pagi, suster berusia 45 tahun itu melakukan hal serupa ketika aparat kepolisian dan tentara bersiap melepas tembakan ke pengunjuk rasa di dekat Gereja Katolik.
Kepada Sky News, Suster Ann mengatakan; “Saya memohon kepada polisi agar tidak memukul, menangkap, dan menindak pengunjuk rasa. Saya katakan pengunjuk rasa tidak melakukan hal buruk, mereka hanya meneriakan slogan-slogan.”
Suster Ann melakukan itu sampai pukul 12:00 siang, saat aparat akan menindak keras pengunuk rasa. Sekali lagi Suster Ann berlutut di depan polisi dan memohon tidak menembak, tidak menangkap.
Polisi juga berlutut dan mengatakan bahwa mereka harus melakukannya untuk menghetnikan protes. “Setelah itu polisi menggunakan gas air mata, dan saya kesulitan bernafas. Saya pusing, lalu saya lihat orang-orang tumbang di jalan-jalan, ditembak,” kata Suster Ann.
Editor Myitkyina News Journal mengatakan sampai jam makan siang, dua pengunjuk rasa dipastikan tewas di tempat.
Foto-foto menyedihkan memperlihatkan Suster Ann berdiri di jalanan, saat pengunjuk rasa berlari ke arah rekan yang terluka parah dan tergeletak di jalan.
Dalam foto lain, Suster Ann menangis saat mendekatkan tubuhnya ke seorang pria yang tewas dengan luka tembak di kepala.
“Gas air mata membuat saya tidak bisa melihat siapa yang menembak; polisi atau tentara,” katanya. “Saya berharap bukan petugas yang berbicara kepada saya yang menembak.”
Menurut Suster Ann, orang pertama yang tertembak di kepala masih bernafas ketika tiba di Puskesmas, dan orang berusaha mengobatinya, tapi gagal.
Dalam wawancara dengan Sky News, Jumat lalu, Suster Ann bersiap menjadi martir untuk melindungi pengunjuk rasa. Ia sempat akan menemui ajal ketika polisi menyerang pengunjuk rasa, dan dia berada di dekatnya.
“Saat polisi dan tentara melepas tembakan, menyerang pengunjuk rasa dan memukul, saya berpikir akan mati saat itu,” kenangnya.
“Saya telah memutuskan untuk mati,” lanjutnya.
Myanmar belum memasuki hari-hari paling berdarah. Pengunjuk rasa seperti siap mengorbankan diri agar militer tak berkuasa, dan militer memperkeras sikap dengan mengobral peluru.
Angka yang dirilis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik menyebutkan sejak kudeta 1 Februari, 56 orang tewas dan 1.790 orang ditahan atau ditangkap.
Beberapa yang ditangkap mati di tahanan karena disiksa polisi dan tentara.