Maryland — Virus korona yang menginfeksi ribuan orang, dan menewaskan hampir 500 penduduk Cina, sebentar lagi punya nama resmi.
Semula, pers Barat menyebutnya virus korona Wuhan, karena kali pertama ditemukan dan menyebar di ibu kota Propinsi Hubei itu. Badan Kesehatan Dunia (WHO) lebih suka menyebutnya 2019-nCoV atau virus korona novel.
Yang paling gampang, dan sering digunakan, adalah virus korona atau coronavirus.
Sekelompok ilmuwan berjuang di ruang tertutup untuk menemukan nama, atau istilah, yang tepat untuk virus baru ini. Kini, beberapa ilmuwan mengatakan sebentar lagi akan ada nama resmi untuk virus asal Wuhan itu.
Crystal Watson, pakar senior dan profesor di John Hopkins Center for Health Security, mengatakan penamaan virus selalu tertunda karena fokus setiap orang melulu pada respon masyarakat.
“Ada alasan penamaan virus baru harus menjadi prioritas,” kata Watson.
Sejauh ini, pakar mencoba membedakan virus Wuhan dengan menyebutnya virus baru, atau coronavirus. Nama terakhir digunakan karena virus berbentuk mahkota jika dilihat dengan mikroskop.
WHO menyebut 2019-nCoV bukan tanpa alasan. Nama itu mencakup tahun penemuan atau penyebaran wabah, ’n’ untuk novel, dan CoV untuk coronavirus.
“Nama itu tidak mudah digunakan, yang membuat media dan masyarakat mencari nama lain,” kata Watson.
Menurut Watson, ketiadaan nama resmi sangat berbahaya. Setiap orang bisa menggunakan nama apa saja, salah satunya Virus Cina, yang akan menimbulkan reaksi balik yang keras.
“Jika sampai waktu lama virus ini tidak punya nama resmi, nama-nama tak rasmi yang beredar di media sosial akan sulit dihapus,” kata Watson.
Tanggung jawab penamaan virus ada di pundak Komite Internasional Taksonomi Virus (ICTV).
Penamaan Keliru
Sejenak melihat ke belakang, penamaan yang terlambat berdampak luar biasa. Sebelum bernama H1N1, orang menyebutnya flu babi. Akibatnya, industri babi di banyak negara terganggu.
Di Mesir, misalnya, peternakan babi membunuh seluruh babi dan membakar dengan alasan mencegah penyebaran virus. Padahal, virus itu disebarkan manusia, bukan babi.
Nama resmi juga menimbulkan masalah. WHO, misalnya, mengkritik nama Sindrome Pernafasan Timur Tengah (MERS). Akibatnya, WHO membri panduan untuk penamaan virus atau penyakit.
Menurut WHO, nama untuk virus baru yang ditemukan di Cina tida boleh menggunakan nama geofrafis, nama orang, pinang, atau sejenis makanan, dan mengacu bada budaya atau industri terntentu.
Benjamin Neuman, profesor virologi, mengatakan; “Meski demikian nama untuk virus harus tetap memiliki kaitan dengan sesuatu.”
Neuman adalah satu dari kelompok studi ICTV yang mempertimbangkan nama untuk virus korona, atau koronavirus. Ia mulai membahas nama-nama yang diusulkan sejak dua pekan lalu.
Neuman, ketua Ilmu Biologi di Texas A&M University Texarkana, mengatakan tim telah menetapkan nama untuk virus korona dan telah mengirimkannya ke jurnal ilmiah untuk diterbitkan.
Selain membantu masyarakat memahami virus, ICTV berharap penamaan ini memungkinkan peneliti fokus melakukan perlawanan terhadap penyebaran virus, serva menghemat waktu dan kebingungan.
“Kita akan tahu apakah nama untuk virus korona sudah benar, atau menimbulkan dampak buruk,” katanya