- Strategi diuji coba di empat desa di Kani, dimantapkan di Sagaing.
- Di Thantlang, militer Myanmar terlibat pertempuran sengit selama empat bulan.
- Alih-alih melemahkan perlawanan, rakyat berbagai etnis bersumpah tidak akan lari tapi melawan sampai mati.
JERNIH — Militer Myanmar menggunakan strategi lama; membantai atau membakar hidup-hidup penduduk, dan menghancurkan desa, sebagai cara mengatasi perang gerilya yang dilancarkan kelompok oposisi dan etnis minoritas.
Associated Press memberitakan taktik ini terlihat dalam serangan Done Taw, 7 Desember 2021 pukul 11:00 pagi. Sekitar 50 tentara memburu penduduk, membunuh 10 orang — termasuk lima remaja.
Di sebuah gubuk yang masih membara, mayat-mayat dengan tangan terikat saling tindih. Foto yang beredar di media sosial memperlihatkan seorang bocah, dengan tubuh hangus tertelungkup dan kepala terangkat menunjukan militer membakarnya hidup-hidup.
Terakhir, pada malam Natal, 35 penduduk Desa Mo So — wilayah etnis Karenni — dibunuh dan dibakar, atau dibakar hidup-hidup, di dalam sebuah mobil dan rumah.
Pembantaian tidak hanya terjadi di wilayah etnis minoritas yang melakukan perlawanan, tapi juga di desa-desa berpenduduk etnis Buddha Bamar.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan lebih 80 orang tewas dalam pembantaian di Wilayah Sagaing, termasuk Done Taw, sejak Agustus 2021. Setelah itu junta militer mengarahkan senjatanya ke barat laut, termasuk ke jantung Bamar.
Militer Myanmar juga mengulangi taktik khas mereka, yaitu menghancurkan desa yang ditengarai mendukung oposisi, dan membantai sebanyak mungkin penduduknya.
Kyaw Moe Tun, yang menolak meninggalkan posisinya sebagai utusan Myanmar di PBB, mengatakan; “Ada kasus serupa terjadi di seluruh Myanmar saat ini, terutama di barat laut. Semua dilakukan secara sistematis.”
Militer Myanmar, dikenal dengan sebutan Tatmadaw, tidak menanggapi pertanyaan pers. Tiga hari setelah pembantaian di Done Taw, surat kabar Global New Light of Myanmar — yang dikelola pemerintah — menolak laporan pembunuhan itu.
“Itu berita palsu,” kata surat kabar itu, seraya menyebut negara-negara tak dikenal ingin menghancurkan Myanmar dengan menghasut pertumpahan darah.
Hidup dalam Ketakutan
AAPP mengatakan sejak merebut kekuasaan Februari 2021, lebih 1.375 orang dibunuh oleh tentara dan polisi. Lebih 11.200 orang ditangkap.
Mei 2021, oposisi Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) mengumumkan pembentukan sayap militer baru, Angkatan Pertahanan Rakyat (PDF), dan menyatakan perang defensif.
Kelompok gerilya longgar yang berafiliasi ke PDF muncul di seluruh negeri, dengan berbagai tingkat kesetiaan kepada NUG. Setelah itu, militer kembali ke cara perang lama.
Strategi membantai warga desa dimulai di Kotapraja Kani, 23 mil ke hulu sungai dari Done Taw. Pada Juli 2021 beredar gambar pembantaian di empat desa mayoritas Buddhis, yang oleh Kyaw Moe Tun disebut kejahatan terhadap kemanusiaan.
Empat saksi mengatakan tentara membunuh 43 orang dalam empat insiden, dan membuang seluruh mayat korban ke hutan. “Kami hidup dalam ketakutan,” kata seorang wanita yang saudara laki-lakinya terbunuh.
Sukses di Kani, Tatmadaw menyerang Sagaing. Di sini, Tatmadaw memantapkan keputusannya menggunakan strategi pembantaian untuk menghabisi perlawanan rakyat.
Kekerasan dipastikan meningkat dalam waktu dekat karena kovoi 80 truk penuh tentara dan logistik bergerak dari Sagaing ke negara bagian Chin. Seorang kapten yang membelot ke PDF mengatakan tentara di negara bagian Chin diperkuat sejak Oktober.
Tentara kini menjadikan Sagaing untuk menimbun amunisi, bahan bakar, ransum, dan semua kebutuhan tentara yang beroperasi di Chin. Di Chin, penduduk yang menggelar protes dihadapi dengan peluru tajam dan pembukulan mematikan.
Di Mindat, militer menembakan artileri ke kota yang membuat rumah-rumah terguncang dan hancur. Seorang guru, yang melarikan diri setelah sepupunya yang anggota PDF dibunuh, adalah saksi hidup serangan Tatmadaw.
Militer, menurut saksi mata, mengunci penduduk di dalam rumah dan membakarnya. Menyembunyikan bom di dalam gereja dan sekolah, membunuh tiga pemimpin aksi protes, dan membuang mayatnya di tengah jalan.
Thantlang, kota di dekat perbatasan India, kini kosong setelah empat bulan petempuran sengit. Rekaman drone yang diambil Organisasi Hak Asasi Chin Oktober 2021 lalu menunjukan api berkobar di dalam gedung dan gereja.
Rekaman itu cocok dengan yang terdeteksi satelit dan wawancara penduduk desa. Di sini terdapat tanda-tanda strategi Tatmadaw bukan melemahan moral rakyat, tapi sebaliknya.
“Daripada mati melarikan diri, lebih baik menggunakan hidup untuk melawan,” kata salah satu korban selamat.
Semangat itu tidak hanya terlihat di Thantlang, tapi juga di Kani, Sagaing, dan Done Taw. Mereka yang selamat bersumpah setia kepada PDF dan akan bertempur.