- Majelis Hakim mengabaikan fakta persidangan; keterngan saksi dan rekaman percakapan permintaan uang.
- ASN, apa pun alasannya, tidak boleh menerima gratifikasi berkaitan dengan tugasnya.
JERNIH — Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar Hajar mendorong Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial memeriksa majelis hakim Pengadilan Tipikor Mataram yang memvonis bebas Andi Sirajudin, Sukardin, dan Ismud — terdakwa kasus dugaan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) korban kebakaran di Kabupaten Bima.
Dalam surat putusan diketahui bahwa hakim mengakui adanya fakta hukum yakni para terdakwa tidak melakukan assessment terhadap 248 korban kebakaran. Tak cuma itu, para terdakwa meminta para penerima bansos untuk menyerahkan sejumlah uang dari dana bansos yang diterima.
“KY dan MA wajib memeriksa oknum hakim yang menutus perkara ini, selain memeriksa perkaranya sendiri,” kata Fickar kepada wartawan, Senin 29 Mei 2023.
Sebagai informasi, dari pemeriksaan penerima manfaat dengan jumlah 258 orang, terungkap adanya pemotongan dana bansos dari Dinsos Kabupaten Bima dengan nominal bervariasi. Pemotongan terjadi ketika penerima mencairkan dana bansos melalui pihak perbankan.
Menurut keterangan penerima, pihak dinsos melakukan pemotongan dengan alasan untuk biaya administrasi. Nilai potongan cukup beragam, mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 1,2 juta per penerima. Dari pemotongan itu, Sukardin berhasil mengumpulkan Rp105 juta. Hasil pemotongan kemudian disetorkan ke Andi Sirajudin dan Ismud.
Dari dana yang terkumpul, jaksa pun menguraikan bahwa Andi Sirajudin menerima Rp 23 juta dan Ismud Rp32 juta. Sisanya Rp 50 juta diambil Sukardin.
Menurut Fickar apa pun argumen yang dikeluarkan oleh majelis hakim, seorang ASN menerima gratifikasi atas pekerjaannya adalah suatu perbuatan yang melawan hukum. “Karena itu argumen hakim yang nenyatakan pemberian sukarela itu pikiran yang tidak yuridis, tetapi lebih mempertimbangkan permakluman sisiologis yang juga mungkin dialaminya sehari hari,” kata dia.
“Padahal sudah jelas ASN tidak boleh menerima gratifikasi berkaitan dengan tugasnya, itu menjurus pada sikap koruptif,” lanjutnya.
Terlebih, kata dia, ada bukti rekaman percakapan permintaan uang yang sudah menjadi bukti kuat dalam kasus tersebut. “Karena itu, mengherankan jika hakim mempertimbangkan untuk membebaskan, ini potret dari oknum-oknum yang celamitan (suka minta-minta),” ujarnya.
Kejaksaan Negeri Bima tak tinggal diam dan langsung melakukan upaya hukum selanjutnya dengan mengajukan kasasi dan telah dikirimkan ada 10 Mei 2023 lalu. Kasi Pidsus Kejari Bima Sigit Muharam mengatakan bahwa dalam putusannya majelis hakim tak mempertimbangkan fakta persidangan dari saksi maupun para terdakwa yang menjadi saksi mahkota.
“Kalau fakta di persidangan sudah jelas baik saksi maupun para terdakwa yang menjadi saksi mahkota sudah menyatakan bahwa uang tersebut bisa dimintakan karena ada inisiatif awal dari terdakwa Sirajudin. Atas perintah Sirajudin itu kemudian ditindaklanjuti oleh Sukardin maupun Ismud selalu kabidnya,” kata Sigit.
Tak asal menyusun dakwaan, ia mengatakan jika jaksa yang menangani perkara tersebut juga telah berdasarkan alat bukti seperti adanya ratusan surat pernyataan dari para korban dan beberapa saksi lainnya yang dihadirkan dalam persidangan.
“Berdasarkan alat bukti 200 surat pernyataan dan beberapa saksi di persidangan yang kita hadirkan, juga menyatakan ada yang keberatan dan tidak. Tapi selaku PNS kan tidak boleh menerima uang, sebagaimana kalau kita lihat di buku saku KPK ada mana uang yang boleh diterima sama PNS atau ASN atau tidak,” katanya.
Pihaknya pun telah menembuskan surat permohonan kasasi yang telah diajukan, kepada Komisi Yudisial (KY) dan Kamar Pidana Mahkamah Agung. “Tentunya kewenangan pengawasan tersebut dikembalikan, kalau sebagaimana prosedur di KY memang KY yang menilai apakah hal tersebut perlu dilakukan pengawasan atau tidak,” ujarnya.
Diketahui, dalam kasus tersebut berdasarkan keterangan penerima, pihak dinsos melakukan pemotongan dengan alasan untuk biaya administrasi. Nilai potongan cukup beragam, mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 1,2 juta per penerima.
Dari pemotongan itu, Sukardin berhasil mengumpulkan Rp105 juta yang diberikan secara tunai oleh para korban. Hasil pemotongan tersebut, kemudian disetorkan ke Andi Sirajudin dan Ismud.
Sukardin mengaku membuat rekening penampungan uang hasil potongan dana bantuan. Rekening atas nama dirinya tersebut bertujuan agar dana sebesar Rp105 juta itu tidak tercecer.
“Uang hasil potongan itu saya tampung di rekening, supaya tidak tercecer,” kata Sukardin.
Dari dana yang terkumpul, jaksa menguraikan bahwa Andi Sirajudin menerima Rp 23 juta dan Ismud Rp32 juta. Sisanya Rp 50 juta diambil Sukardin. Selain itu, para terdakwa terbukti tidak melakukan assessment terhadap 248 korban kebakaran