”Misalnya setelah kejadian Menag itu muncul pernyataan bahwa Baha’i sesat, atau agama baru. Itu sesungguhnya menunjukkan bahwa masyarakat belum mengerti bahwa sebetulnya agama Baha’i itu sudah lama masuk ke Indonesia”
JAKARTA – Untuk dapat mengarus utamakan toleransi di Indonesia, tentu masyarakat perlu di dorong mendapatkan informasi tentang keragaman agama dan keyakinan yang ada di Tanah Air. Contoh pernyataan Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas yang mengatakan selamat kepada aliran Baha’i. Padahal di Indonesia istilah tersebut sudah lama ada.
Demikian dikatakan Peneliti senior di bidang toleransi dan keberagaman dari The Wahid Foundation, Alamsyah M Djafar, di Jakarta, Kamis (5/8/2021).
”Misalnya setelah kejadian Menag itu muncul pernyataan bahwa Baha’i sesat, atau agama baru. Itu sesungguhnya menunjukkan bahwa masyarakat belum mengerti bahwa sebetulnya agama Baha’i itu sudah lama masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Oleh sebab itu, agar masyarakat makin sadar dan tahu dengan pemahanan tersebut, maka diperlukan usaha melalui pendidikan mengenai keragaman agama yang ada di Indonesia. Apalagi saat ini terdapat enam agama yang sudah diakui.
“Memberikan pendidikan kepada anak-anak tentang keragaman agama dan keyakinan yang akan terus tumbuh di Indonesia karena globalisasi dan lain-lain,” kata dia.
Disamping itu, masyarakat juga harus mengembangkan pola pikir yang terbuka sekaligus kritis. Sehingga ketika menemukan informasi yang baru, tidak mudah langsung berburuk sangka, namun dapat bersikap kritis. Sebab intoleransi dalam banyak studi sebenarnya masalah utamanya adalah soal perasaan terancam.
Menurut dia, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Ia mencontohkan, sebagian Kristen konservatif tidak menyukai Islam, karena informasi yang mereka terima, membuat mereka intoleran. Sebaliknya, Islam garis keras juga intoleran kepada umat beragama lain.
“Ini terutama terjadi kepada kelompok-kelompok agama yang konservatif dan garis keras,” katanya.
”Nah kalau orang itu tidak merasa terancam hidupnya dan terlihat damai, maka intoleransi itu tidak akan terjadi. Begitu juga kalau dia tidak memiliki rasa kebencian kepada yang lain, tentu intoleran itu juga tidak akan terjadi,” Alamsyah menambahkan.
Terlebih adanya faktor politisasi, dimana persaingan elit politik menggunakan ketidaksukaan di masyarakat untuk menarik dukungan. Karena cara paling mudah mencari dukungan adalah menggunakan cara paling primordial terutama etnis, agama atau kelas sosial. Karena itu bisa menarik sentimen di masyarakat.
Untuk mencegahnya, lanjut Alamsyah, salah satunya bisa dengan menggunakan penegakan hukum, bagi tindakan intoleransi dengan bobot yang sangat berbahaya, sampai menimbulkan kekerasan.
“Misalnya tokoh agama atau pejabat publik, berpidato di depan publik, lalu melakukan ujaran kebencian atau kata-kata yang bisa melegitimasi kekerasan itu bisa dikenakan penegakan hukum,” ujar dia.
Menurut dia, bagi yang bobot kasusnya berat harus ditangani oleh hukum dan kalau tidak terlalu berat bisa dilakukan pecegahan dengan dilakukan dialog. Kemudian cara mengarusutamakan toleransi bisa melalui informasi. Karena intoleransi, bisa terjadi juga karena informasi yang dimiliki terbatas atau kurang.
”Contoh soal Baha’i, kenapa mereka merasa Baha’i, sesat? Karena mereka merasa tidak tahu bahwa sebetulnya Baha’i sudah tumbuh lama di indonesia. Lalu sekarang tiba-tiba informasi itu mereka baru tahu, dan mereka sebut itu agama baru,” katanya.