Ketika pengawasan negara terhadap wilayah kekuasaanya lemah dan di sisi lain sekelompok masyarakat tumbuh kuat, maka kecenderungan yang akan terjadi adalah anarki.
Hal itu berlangsung di Kolombia, ketika kelompok-kelompok bersenjata mengancam bahkan membunuh masyarakat yang tidak patuh menjalankan karantina ketat Covid-19.
Dibandingkan pemerintah, peraturan kelompok ilegal tersebut lebih ketat dan keras dalam memberlakukan jam malam yang dimulai dari jam 5 sore.
Kasus COVID-19 terus meningkat di Kolombia menjadi 165.169 kasus dan terdapat 5.814 kematian yang dikonfirmasi pada Rabu malam.
Dailymail melaporkan, Human Rights Watch pada hari Rabu, (15/07/2020) telah memperingatkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir ini sembilan orang telah tewas terbunuh oleh kelompok bersenjata karena menolak atau aktif menentang karantina.
Seperti yang terjadi sebulan yang lalu, anggota kelompok bersenjata La Mafia telah memaksa penduduk penduduk untuk memiliki pos pemeriksaan kesehatan di wilayah barat daya Putumayo.
Akibat paksaan itu, seorangt tokoh masyarakat bernama Edison Leon melaporkan hal tersebut kepada pemerintah setempat melalui surat. Akibatnya, pada bulan Juni, dia tewas dibunuh.
“Aku tidak mau mengirim orang-orangku ke kematian,” tulisnya dalam surat tersebut.
Sementara di tempat lain, yaitu di kota pelabuhan Tumaco yang berada di pantai Pasifik, kini menjadi tempat yang paling berbahaya di Kolombia. Penduduk dilarang memancing ikan oleh kartel.
Selain persoalan kemiskinan dan kecemasan oleh pandemi, beban hidup masyarakat semakin bertambah dengan adanya hukuman kejam demi mencegah COVID-19 yang diterapkan kelompok bersenjata
“ Orang-orang di komunitas terpencil dan miskin di seluruh Kolombia berisiko diserang, bahkan dibunuh jika mereka meninggalkan rumah ” ujar Jose Miguel Vivanco, direktur Amerika untuk Human Rights Watch.
Vivanco mengatakan kelompok-kelompok bersenjata ilegal tersebut diantaranya pemberontak dari mantan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia dan Tentara Pembebasan Nasional.
Tindakan keras mereka selain karena takut oleh penyebaran virus corona, juga memanfaatkan situasi pandemi untuk menegaskan kontrol mereka demi mendapatkan legitimasi di mata publik.
Selain itu, banyak daerah pedesaan di mana kelompok beroperasi tidak memiliki rumah sakit yang dilengkapi ventilator untuk merawat mereka yang sakit parah.
Gelombang pandemi yang melanda Kolombia telah menambah beban negara karena pada saat yang sama pemerintah masih bergulat dengan setumpuk masalah yang belum terselesaikan.
Persoalan yang dihadapi pemerintah Kolombia terutama menyangkut perdagangan narkoba, produksi koka besar-besaran, pembunuhan para pemimpin sosial dan mantan gerilyawan setelah perjanjian damai tahun 2016.
Selain itu, para pejabat memperkirakan bahwa sampai akhir tahun ini, 4,7 juta orang akan jatuh miskin dan tingkat pengangguran naik mencapai sekitar 21 persen.
Berdasarkan penyelidikan Human Rights Watch, dapat diketahui bahwa kelompok bersenjata ilegal tersebut memberlakukan pembatasan ketat Covid-19 di 11 negara bagian Kolombia yang dikuasainya.
Sedangkan tindakan kekerasan untuk mengontrol pembatasan dilakukan di lima negara bagian.
Salah satu tokoh masyarakat di Putumayo mengatakan kepada Guardian bahwa kartel telah menutup transportasi antar desa ketika seseorang diduga terinfeksi Covid-19. Warga disuruh meninggalkan desa atau mereka akan dibunuh.
Kelompok bersenjata menyampaikan pesan maupun peringatan untuk warga melalui kertas pamflet atau pesan WhatsApp. Hal tersebut dilakukan Kelompok pemberontak Tentara Pembebasan Nasional di Kolombia utara.
Dalam satu pamfletnya dituliskan bahwa demi menjaga kehidupan, mereka terpaksa akan membunuh orang yang melawan terhadap karantina. Mereka juga memperingatkan bahwa yang diizinkan keluar hanya pekerja toko makanan, toko roti dan pegawai apotek. [*]