Panglima TNI hanya dapat menentukan bagaimana cara melaksanakan tugas dan tidak bisa membuat keputusan politik tentang apa yang harus diperbuat TNI sebagai awal penugasan.
JAKARTA – Ketentuan konstitusional pengerahan TNI dalam menanggani terorisme, harus berdasarkan perintah presiden, sesusai peraturan perundang-undangan melalui pernyataan publik yang dilakukan secara terbuka, dengan dikontrol oleh publik dan DPR, sehingga tidak ada yang dilaksanakan secara otomatis.
Demikian disampaikan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, pada diskusi secara webinar yang digelar Marapi Consulting & Advisory bekerja sama
Departemen Hubungan Internasional, FISIP UPN Veteran Jawa Timur, Jumat (27/11/2020).
“Panglima TNI hanya dapat menentukan bagaimana cara melaksanakan tugas dan tidak bisa membuat keputusan politik tentang apa yang harus diperbuat TNI sebagai awal penugasan,” ujar dia.
Agus menjelaskan, masih banyak kalangan terbelenggu dalam tatanan dwifungsi ABRI, dan berharap pelibatan TNI dalam kontraterorisme tanpa memahami dasar-dasar peraturan perundangan-undangan.
“Masih ada kalangan TNI yang menganggap doktrin TNI unik, dengan perannya sebagai penjaga bangsa, sehingga tatanan dwifungsi ABRI masih dianggap berlaku,” katanya.
Upaya kontraterorisme menggunakan kerangka penegakan hukum (criminal justice system) sudah berjalan cukup efektif, sehingga jika terorisme terjadi di dalam negeri, maka akan menjadi tanggungjawab fungsi penegakan hukum, seperti Polri dengan perbantuan TNI jika diperlukan berdasarkan keputusan politik atau sebagai akibat pernyataan keadaan darurat.
Sedangkan jika terorisme terjadi di luar jurisdiksi sistem hukum nasional, maka menjadi tugas dan kewenangan TNI. Karenanya, penerbitan Perpres terkait TNI menangani terorisme akan rawan tumpang tindih peran dengan berbagai lembaga lain, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri, Densus 88, dan lainnya.
Oleh sebab itu, ia menyarankan, agar rancangan Perpres tersebut disempurnakan terlebih dahulu sesuai kebutuhan perbantuan TNI kepada otoritas sipil di masa damai, yang dapat mewadahi peran perbantuan TNI kepada pemerintah sipil.
Sementara, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Beka Ulung Hapsara, menegaskan Raperpres pelibatan TNI dalam kontraterorisme mendesak untuk dibahas dan disempurnakan agar tidak salah langkah dan merusak kemajuan yang telah dicapai selama ini.
Ia menjelaskan, Komnas HAM telah memberikan rekomendasi kepada presiden, di antaranya menarik Raperpres atau tidak melaksanakan pembahasan dan penandatangan sebelum ada kebijakan yang jelas berdasarkan prinsip negara hukum dan norma HAM.
Kedua, memastikan Raperpres dimaksud melandaskan pada konsep cirminal justice system. Ketiga, mmastikan pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme sepenuhnya hanya didasarkan pada APBN untuk menjaga profesionalisme.
“Keempat, menekankan setiap upaya penanganan terorisme baik legislatif, penegakan hukum, dan penganggaran senantiasa didasarkan prinsip negara hukum, demokrasi, dan menjunjung tinggi HAM,” kata dia.
Kelima, memastikan adanya pengawasan internal dan eksternal yang akuntabel dan pertanggungjawaban hukum, jika adanya pelanggaran.
Tak hanya ke presiden, Komnas HAM juga melayangkan rekomendasi kepada yakni pertama, mempertimbangkan dan menjadikan UU nomor 5/2018 sebagai dasar dalam pembahasan Raperpres dimaksud.
Kedua, menjadikan pengaturan mengenai perbantuan, kebijakan dan keputusan politik negara, penganggaran dalam APBN menjadi koridor dalam pembahasan Raperpres dimaksud.
Ketiga, menekankan pada fokus pembahasan pelibatan militer dalam Raperpres dimaksu hanya fokus pada penindakan semata dengan batasan yang jelas, tingkat ancaman, dan bilamana fungsi Kepolisian tidak dapat mengendalikan, sehingga tak meluas mulai dari penangkalan, penindakan dan pemulihan.
Keempat, memastikan Raperpres dimaksud selaras dengan tatanan criminal justice system dan sesuai dengan tata hukum yang berlaku terutama UU5/2018, UU34/2004, dan regulasi lain yang lebih tinggi.
“Komnas HAM samasekali tidak menolak pelibatan TNI dalam kontraterorisme, namun pelibatan tersebut harus diatur dengan jelas dengan detil, batasan, serta ruang lingkup yang jelas, dan tidak melanggar HAM,” ujar dia.
Pengajar Hubungan Internasional FISIP UPNVJT, Prihandono Wibowo, mengatakan ada pertanyaan seputar efektivitas pelibatan militer dalam kontraterorisme. Dimana jauh lebih efektif menggunakan pendekatan penegakan hukum dan intelijen dalam menangani terorisme.
“Pendekatan militer dalam kontraterorisme hanya efektif jika skala aksi terorisme tersebut sudah naik menjadi penguasaan wilayah atau pemberontakan (insurgency),” katanya.
Dono mengkhawatirkan akan terjadinya tumpang tindih wewenang dan operasi, jika TNI dilibatkan dalam kontraterorisme bukan sebagai bentuk perbantuan kepada penegak hukum dengan aturan dan otorisasi politik yang jelas.
Selain itu, setiap operasi pelibatan TNI dalam kontraterorisme harus berdasarkan keputusan politik yang jelas, yakni presiden dan DPR, serta ada pengaturan pada tiap operasi mengenai ruang lingkup, skala, durasi, satuan yang dilibatkan, dan akuntabilitasnya. [Fan]