“Pembangkangan sipil atau apalah itu bentuknya itu bisa dipikirkan, tapi maksud saya ini cara kita melihat baik-baik UU ini jangan dibiarkan begitu saja”
JERNIH – Penolakan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja yang disahkan DPR RI sejak beberapa waktu lalu terus dilakukan. Bahkan sejumlah pihak mengusulkan perlunya uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) hingga pembangkangan sipil atau ‘civil disobedience’.
Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada melalui akun Twitternya, menyebut selama ini proses pembentukan RUU Cipta Kerja berlangsung cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik.
“DPR dan pemerintah tetap melanjutkan pembahasan RUU kontroversial ini di tengah kondisi masyarakat yang tengah berjuang di tengah pandemi Covid-19,” cuitnya.
Karena itu, PUKAT UGM menilai Omnibus Law tersebut memiliki kecacatan, baik secara formil maupun materiil. Sebab telah mengkaji UU Cipta Kerja dilihat dari kaca mata isu korupsi, pemerintahan, dan kaidah formil pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Jika merujuk pada asas-asas formal yang digunakan sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, UU tersebut tidak memenuhi asas keterbukaan (Pasal 5 UU 12/2011 jo UU Nomor 15/2019).
Dimana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, prinsip keterbukaan dimulai sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan.
“Sementara pada penyusunan RUU Cipta Kerja ini, perkembangan draft pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses publik. Selain itu, rapat-rapat pembahasan RUU Cipta Kerja sering kali berlangsung tertutup,” tulisnya.
Pada sisi lain, proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja kental dengan partisipasi dan perlibatan pengusaha. Sehingga membuka celah masuknya kepentingan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, yakni pengusaha.
“Termasuk dalam proses perumusan yang dilakukan tidak transparan dan minim partisipasi publik,” bunyi pernyataan PUKAT UGM.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea, mengatakan pihaknya siap melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sementara Ahli hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, mengusulkan tindakan pembangkangan sipil atau ‘civil disobedience’, selain proses yuridis, seperti uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
“Saya menawarkan kita semua harus teriakkan bersama penolakan terhadap undang-undang ini,” ujarnya.
“Pembangkangan sipil atau apalah itu bentuknya itu bisa dipikirkan, tapi maksud saya ini cara kita melihat baik-baik UU ini jangan dibiarkan begitu saja,” Zainal menambahkan. [Fan]