Site icon Jernih.co

Trump Menghapus Sejarah, Panel Tentara Kulit Hitam di Makam Pahlawan Belanda Dicabut

Konteks sejarah menunjukkan betapa krusialnya peran tentara kulit hitam di Margraten. Sebuah unit yang seluruhnya berisi tentara kulit hitam bertanggung jawab menggali ribuan makam selama musim dingin kelaparan 1944-1945 saat Belanda masih di bawah pendudukan Nazi.

JERNIH – Sebuah langkah kontroversial yang dilakukan otoritas Amerika Serikat di Taman Makam Pahlawan Amerika Margraten, Belanda, telah memicu gelombang kemarahan internasional. Dua panel informasi yang didedikasikan untuk menghormati jasa dan perjuangan tentara kulit hitam AS pada era Perang Dunia II dicopot secara sepihak.

Keputusan ini terungkap sebagai dampak langsung dari kebijakan Presiden Donald Trump untuk menghapus inisiatif keberagaman, ekuitas, dan inklusi (DEI) di seluruh lembaga federal. Pencabutan ini dilakukan oleh American Battle Monuments Commission (ABMC) tanpa penjelasan publik sebelumnya.

Dokumen internal yang diperoleh melalui permintaan Freedom of Information Act (FOIA) mengonfirmasi bahwa arahan politik dari Washington menjadi motor utama di balik keputusan tersebut. Trump sendiri dalam pidatonya di hadapan Kongres Maret lalu telah menegaskan arah baru pemerintahannya dengan menyatakan, “Negara kita tidak akan lagi menjadi ‘woke’ (Our country will be woke no longer).”

Salah satu panel yang dicabut mengisahkan kepahlawanan George H. Pruitt, prajurit kulit hitam berusia 23 tahun yang gugur pada 1945 saat berusaha menyelamatkan rekan sesama prajurit agar tidak tenggelam. Panel lainnya memberikan edukasi mengenai kebijakan segregasi rasial yang diterapkan militer AS selama perang.

Terkait hal ini, ABMC memberikan pembelaan bahwa panel yang membahas segregasi tersebut “tidak termasuk dalam misi peringatan (did not fall within the commemorative mission),” sementara panel mengenai Pruitt diklaim hanya sedang “dirotasi.”

Sikap ini didukung Duta Besar AS untuk Belanda, Joe Popolo, yang membela pencabutan tersebut melalui unggahan di media sosial. Popolo menuliskan bahwa “tanda-tanda di Margraten tidak dimaksudkan untuk mempromosikan agenda yang mengkritik Amerika.” Namun, pembelaan tersebut justru menuai reaksi keras dari warga lokal Belanda yang selama puluhan tahun telah merawat makam-makam tersebut dengan penuh rasa hormat.

Cor Linssen (79), seorang putra dari tentara kulit hitam Amerika dan ibu warga Belanda, merasa sangat terpukul dengan hilangnya panel tersebut. Ia menceritakan pahitnya masa kecil sebagai anak dari hubungan antar-ras di masa itu.

“Ketika saya lahir, perawat mengira ada yang salah dengan saya karena warna kulit saya salah. Saya adalah satu-satunya anak berkulit gelap di sekolah,” kenang Linssen. Ia yang mengunjungi makam tersebut bersama keturunan tentara kulit hitam lainnya pada Februari 2025 menegaskan, “Ini adalah bagian penting dari sejarah. Mereka harus memasang kembali panel-panel itu.”

Kekecewaan serupa diungkapkan Theo Bovens, Senator Belanda sekaligus kepala yayasan Black Liberators. Ia mencatat adanya pergeseran drastis dalam sikap politik Amerika Serikat, mengingat panel tersebut baru saja disetujui dan dipasang tahun lalu. “Sesuatu telah berubah di Amerika Serikat,” ujar Bovens singkat. Ia menegaskan bahwa organisasinya sama sekali tidak diberi tahu mengenai pencabutan tersebut.

Konteks sejarah menunjukkan betapa krusialnya peran tentara kulit hitam di Margraten. Sebuah unit yang seluruhnya berisi tentara kulit hitam bertanggung jawab menggali ribuan makam selama musim dingin kelaparan 1944-1945 saat Belanda masih di bawah pendudukan Nazi.

Penulis buku Forgotten, Linda Hervieux, menekankan bahwa tentara kulit hitam justru menemukan rasa kemanusiaan di Eropa yang tidak mereka dapatkan di negara mereka sendiri. “Ketika tentara kulit hitam datang ke Eropa pada Perang Dunia II, yang mereka temukan adalah orang-orang yang menerima mereka, menyambut mereka, dan memperlakukan mereka sebagai pahlawan sebagaimana mestinya. Dan itu termasuk Belanda,” jelas Hervieux.

Bagi Hervieux, penghapusan panel ini bukanlah insiden kecil, melainkan bagian dari fenomena yang lebih besar. Ia menutup pernyataannya dengan peringatan keras bahwa tindakan ini “mengikuti pola sejarah penghapusan kisah pria dan wanita kulit berwarna di Amerika Serikat.”

Kini, pemerintah daerah Eijsden-Margraten bersama pemerintah provinsi telah secara formal menuntut agar panel-panel tersebut dikembalikan ke tempat asalnya sebagai bentuk penghormatan terhadap kebenaran sejarah.

Trump Menghapus Sejarah: Kebijakan Anti-DEI Picu Pencabutan Panel Tentara Kulit Hitam di Makam Pahlawan Belanda

JERNIH – Sebuah langkah kontroversial yang dilakukan otoritas Amerika Serikat di Taman Makam Pahlawan Amerika Margraten, Belanda, telah memicu gelombang kemarahan internasional. Dua panel informasi yang didedikasikan untuk menghormati jasa dan perjuangan tentara kulit hitam AS pada era Perang Dunia II dicopot secara sepihak.

Keputusan ini terungkap sebagai dampak langsung dari kebijakan Presiden Donald Trump untuk menghapus inisiatif keberagaman, ekuitas, dan inklusi (DEI) di seluruh lembaga federal. Pencabutan ini dilakukan oleh American Battle Monuments Commission (ABMC) tanpa penjelasan publik sebelumnya.

Dokumen internal yang diperoleh melalui permintaan Freedom of Information Act (FOIA) mengonfirmasi bahwa arahan politik dari Washington menjadi motor utama di balik keputusan tersebut. Trump sendiri dalam pidatonya di hadapan Kongres Maret lalu telah menegaskan arah baru pemerintahannya dengan menyatakan, “Negara kita tidak akan lagi menjadi ‘woke’ (Our country will be woke no longer).”

Salah satu panel yang dicabut mengisahkan kepahlawanan George H. Pruitt, prajurit kulit hitam berusia 23 tahun yang gugur pada 1945 saat berusaha menyelamatkan rekan sesama prajurit agar tidak tenggelam. Panel lainnya memberikan edukasi mengenai kebijakan segregasi rasial yang diterapkan militer AS selama perang.

Terkait hal ini, ABMC memberikan pembelaan bahwa panel yang membahas segregasi tersebut “tidak termasuk dalam misi peringatan (did not fall within the commemorative mission),” sementara panel mengenai Pruitt diklaim hanya sedang “dirotasi.”

Sikap ini didukung Duta Besar AS untuk Belanda, Joe Popolo, yang membela pencabutan tersebut melalui unggahan di media sosial. Popolo menuliskan bahwa “tanda-tanda di Margraten tidak dimaksudkan untuk mempromosikan agenda yang mengkritik Amerika.” Namun, pembelaan tersebut justru menuai reaksi keras dari warga lokal Belanda yang selama puluhan tahun telah merawat makam-makam tersebut dengan penuh rasa hormat.

Cor Linssen (79), seorang putra dari tentara kulit hitam Amerika dan ibu warga Belanda, merasa sangat terpukul dengan hilangnya panel tersebut. Ia menceritakan pahitnya masa kecil sebagai anak dari hubungan antar-ras di masa itu.

“Ketika saya lahir, perawat mengira ada yang salah dengan saya karena warna kulit saya salah. Saya adalah satu-satunya anak berkulit gelap di sekolah,” kenang Linssen. Ia yang mengunjungi makam tersebut bersama keturunan tentara kulit hitam lainnya pada Februari 2025 menegaskan, “Ini adalah bagian penting dari sejarah. Mereka harus memasang kembali panel-panel itu.”

Kekecewaan serupa diungkapkan Theo Bovens, Senator Belanda sekaligus kepala yayasan Black Liberators. Ia mencatat adanya pergeseran drastis dalam sikap politik Amerika Serikat, mengingat panel tersebut baru saja disetujui dan dipasang tahun lalu. “Sesuatu telah berubah di Amerika Serikat,” ujar Bovens singkat. Ia menegaskan bahwa organisasinya sama sekali tidak diberi tahu mengenai pencabutan tersebut.

Konteks sejarah menunjukkan betapa krusialnya peran tentara kulit hitam di Margraten. Sebuah unit yang seluruhnya berisi tentara kulit hitam bertanggung jawab menggali ribuan makam selama musim dingin kelaparan 1944-1945 saat Belanda masih di bawah pendudukan Nazi.

Penulis buku Forgotten, Linda Hervieux, menekankan bahwa tentara kulit hitam justru menemukan rasa kemanusiaan di Eropa yang tidak mereka dapatkan di negara mereka sendiri. “Ketika tentara kulit hitam datang ke Eropa pada Perang Dunia II, yang mereka temukan adalah orang-orang yang menerima mereka, menyambut mereka, dan memperlakukan mereka sebagai pahlawan sebagaimana mestinya. Dan itu termasuk Belanda,” jelas Hervieux.

Bagi Hervieux, penghapusan panel ini bukanlah insiden kecil, melainkan bagian dari fenomena yang lebih besar. Ia menutup pernyataannya dengan peringatan keras bahwa tindakan ini “mengikuti pola sejarah penghapusan kisah pria dan wanita kulit berwarna di Amerika Serikat.”

Kini, pemerintah daerah Eijsden-Margraten bersama pemerintah provinsi telah secara formal menuntut agar panel-panel tersebut dikembalikan ke tempat asalnya sebagai bentuk penghormatan terhadap kebenaran sejarah.

Exit mobile version