Setidaknya 38 persen perempuan di Turki menjadi sasaran kekerasan dari pasangan mereka, dibandingkan dengan sekitar 25 persen di negara lain di Eropa.
JERNIH-Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memutuskan untuk membawa keluar negaranya dari traktat yang menjaga perempuan dari kekerasan. Keputusan tersebut disesalkan Sekretaris Jenderal Dewan Eropa Marija Pejcinovic Buric.
Bagi Buric, keputusan Erdogan merupakan langkah mundur, sebab traktat yang disepakati di Istanbul pada 2011 silam itu menjadi sebuah standar emas kesepakatan internasional untuk melindungi kaum hawa.
“Langkah [Turki] ini merupakan sebuah kemunduran besar atas segala upaya-upaya yang telah dilakukan. Dan, lebih menyedihkan karena membahayakan perlindungan perempuan di Turki, di seluruh Eropa dan sekitarnya,” kata Buric dalam pernyataan resminya seperti dikutip AFP.
Melalui media sosial pribadinya, Menteri Pelayanan Sosial, Keluarga, dan Pekerja Turki Zehra Zoemroet Selçuk mengklaim hak perempuan sudah cukup kuat dijamin dalam konstitusi dan undang-undang negara tersebut.
Selçuk juga menyebut sistem hukum di Turki sendiri sudah cukup kuat untuk melindungi perempuan. Ia juga memastikan kekerasan atas kaum hawa di Turki akan dihukum tanpa toleransi.
Erdogan diketahui menandatangani secara resmi keluar dari perjanjian Eropa itu pada Jumat (19/3/2021) lalu. Namun hingga kini belum ada penjelasan resmi dari pemerintah Turki terkait penarikan dari traktat Eropa tersebut.
Media massa Turki, Hurriyet Daily News, menyebut Erdogan telah menandatangani keputusan menarik negaranya dari Traktat yang lahir pada 2011 silam tersebut.
Pemerintah Turki ikut menyepakai dan menandatangani Traktat soal pencegahan kekerasan terhadap perempuan tersebut dalam pertemuan di Istanbul, Turki pada 2011 silam.
Sebelumnya, Turki telah menjadi kandidat untuk bergabung dengan Uni Eropa sejak 2005. Namun, kebijakan dan catatan hak asasi manusia yang terjadi di Turki membuat negara tersebut tidak mudah diterima dalam Uni Eropa.
Langkah Erdogan, menarik diri Turki dari traktat pencegahan kekerasan perempuan juga mendapatkan kecaman keras baik dari oposisi Erdogan, aktivis, hingga Dewan Eropa. Langkah tersebut dinilai akan membuat Turki semakin keluar dari nilai-nilai Uni Eropa.
Terlebih jumlah femisida (pembunuhan yang dialami perempuan karena kebencian terhadap perempuan) pada tahun lalu mengalami peningkatan.
Para pengritik Erdogan juga menuding pemerintah tidak cukup melakukan pencegahan femisida dan kekerasan di dalam rumah tangga (KDRT). (tvl)