- Penduduk kembali bekerja seperti biasa.
- Di check-point, prajurit Taliban memeriksa penduduk tanpa kekerasan.
- Warga Jerman dibuat frustrasi oleh penejemah yang ketakutan dan minta dibawa ke Eropa.
JERNIH — Kabul, ibu kota Afghanistan, kembali normal setelah dua hari warga dilanda ketakutan dan ribuan orang berebut naik pesawat untuk kabur ke luar negeri.
Situs dawn.com melaporkan penduduk mulai membuka toko, dokter kembali ke rumah sakit dan berpraktek. Prajurit Taliban berjaga di jalan-jalan, memeriksa setiap orang yang melewati chek-point.
Dalam konferensi pers pertama, Taliban berjanji tidak akan ada aksi balas dendam terhadap lawan, atau warga yang bekerja dengan lawan. Mereka juga berjanji menghormati hak-hak perempuan, komunitas etnis lain dan orang asing.
Banyak orang Afghanistan meragukan janji itu, tapi juga tidak punya alasan untuk takut berlebihan.
“Saya takut, tetapi saya harus memberi makan anak-anak saya. Saya harus membuka toko,” kata Mohammadullah, pria usia 48 tahun kepada Reuters.
Orang-orang kembali bekerja, tapi Kabul masih relatif sepi. Tak banyak mobil lalu-lalang. Hanya bendera pick up dengan bendera putih bertuliskan kalimat shahadat hilir-mudik.
Mayoritas toko dan supermarket juga masih tutup. Sekolah-sekolah tak beroperasi. Hanya beberapa toko kelontong kecil dan tukang daging buka.
Rumah sakit juga mulai beroperasi. “Amerika telah gagal di sini, dan sistem Islam ditegakan,” katan Maulvi Haq Dost, seorang komandan lapangan Taliban.
“Ini adalah sistemhukum dan kami meyakinkan orang-orang kami dari semua etnis; Hazara, Taji, Turki, dan Uzbek, bahwa tidak akan ada pelecehan kepada mereka,” kata Haq Dost.
Asadullah Wardak, seorang dokter yang telah berpraktek 12 tahun, mengatakan tidak akan meninggalkan Kabul meski anak-anaknya yang tinggal di Kanada mendesaknya pergi.
“Saya memilih tinggal di kabul, tempat saya bekerja sebagai dokter,” katanya.
Dalam perjalanan ke RS Medis Sana, dua pria Taliban menghentikan dan memeriksa kartu identitasnya. Salah satu pria Taliban mengatakan; “Anda bebas bekerja.”
Satu pria lainnya memberi nomor HP dan siap dihubungi jika rumah sakit membutuhkan darah dan kekurangan obat-obatan. “Mereka juga meminta saya untuk memastikan pasien wanita dan dokter wanita bekerja secara terpisah. Dokter pria hanya diperbolehkan menemui pasien wanita dengan didampingi dokter wanita,” kata Wardak.
Seorang warga negara Jerman, yang beberapa tahun terakhir bertugas di Afghanistan, dibuat pusing oleh permintaan orang Afghanistan yang menjadi penerjemahnya.
“Penerjemah itu mengatakan takut aksi balas dendam Taliban,” kata pria Jerman yang minta namanya dirahasiakan. “Penerjamah itu percaya Taliban akan menghukumnya.”