- Makin banyak lansia yang hidup sendiri akibat tren tak menikah yang dimulai sejak 1980-an.
- Dalam kondisi terjepit hidup di penjara terasa lebih nyaman.
JERNIH – Kementerian Kehakiman Jepang merilis Buku Putih 2020 tentang kejahatan. Meski angka kejahatan menurun, tetapi tindak pidana para lansia justru meningkat, terutama mengutil. Waduh!
Seperti dikutip dari Halo Jepang, angka tindak kejahatan pada 2019 turun sebesar 8,4% menjadi 749.000 kasus dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Statistik kejahatan mencapai puncaknya pada 2002 dengan 2,85 juta kasus, tetapi terus menurun selama 17 tahun terakhir. Angka kali ini adalah yang terendah dalam catatan sejak akhir Perang Dunia II.
Pencurian menyumbang lebih dari 70% dari tindak pidana yang dilakukan. Menurunnya jumlah perampokan dan pencurian sepeda, yang menyebabkan penurunan statistik kejahatan secara keseluruhan, disebabkan oleh penggunaan kamera keamanan yang meluas.
Jumlah orang yang ditangkap karena tindak pidana pada 2019 sebanyak 192.607 orang, turun 6,5% dari tahun sebelumnya. Dari mereka yang ditangkap, 42.463 berusia 65 tahun atau lebih yang dikategorikan sebagai lanjut usia (lansia).
Meskipun penangkapan lansia turun 5,1% dibandingkan dengan 2018, peningkatan keseluruhan populasi lansia dan penurunan penangkapan untuk rentang usia lain menyebabkan rasio terburuk dalam catatan untuk pelanggar senior sebesar 22%.
Mengutil menyumbang lebih dari setengah (52,4%) kejahatan yang dilakukan oleh para senior. Kejahatan lain dalam kelompok usia ini termasuk perampokan (17,6%), penyerangan (14,2%), dan penggelapan (5,4%). Rata-rata di semua rentang usia, pengutilan mencapai 28,7% dan pencurian lainnya 20,1%, yang mengindikasikan pencurian terbesar dilakukan oleh senior.
Pelanggaran mengutil yang dilakukan oleh wanita senior memiliki tingkat yang sangat tinggi yaitu 75,6%. Pada 2018, lansia wanita yang mengutil malah mencapai angka 82,5%. Dari mereka yang ditangkap, 93.967 adalah pelanggar kambuhan, atau sebesar 48,8% dari total penangkapan.
Dari data di atas terlihat jelas bahwa lansia sering mengutil dan hampir dari separonya adalah kambuhan. Mengapa lansia senang melakukan tindak kriminal dan meringkuk di balik teralis besi?
National Institute of Population and Social Security Research mengatakan, makin banyak lansia yang hidup sendiri akibat tren tak menikah yang dimulai sejak 1980-an. Akibat hal ini, Kementerian Kesejahteraan Jepang memprediksi jumlah orang yang berusia di atas 65 tahun dan hidup sendirian akan melebihi angka 30% di 47 prefektur pada 2040.
Sebagian dari mereka yang hidup sendirian ini akan menghadapi masalah besar ketika tak memiliki uang pensiun. Pekerja sektor informal hanya mengandalkan tabungan untuk hidup di usia lanjut. Repotnya, usia hidup masyarakat Jepang lebih lama dibandingkan dengan penduduk negara lain, misalnya Indonesia.
Ketika tabungan terkuras, hidupnya kian terancam. Apalagi, sejumlah lansia menderita demensia (Alzheimer). Hubungan kekerabatan masyarakat Jepang juga tak sedekat seperti halnya penduduk Indonesia. Kita terbiasa minta tolong ke kerabat atau bahkan tetangga jika tak memiliki uang untuk makan.
Dalam kondisi terjepit seperti ini hidup di penjara terasa lebih nyaman. Mendapatkan makan gratis, layanan kesehatan dan perhatian dan tim medis lembaga pemasyarakatan. Salah satu cara untuk tinggal di penjara adalah melakukan tindak pidana.
Tindak kriminal yang gampang dilakukan adalah mengutil di konbini yang umumnya lokasinya berada di dekat pemukiman. Mereka tahu konbini dilengkapi dengan kamera pengawas untuk memantau gerak-gerik pembeli. Justru inilah yang diinginkan mereka karena aksinya gampang diketahui untuk kemudian ditangkap polisi.
“Saya sudah pensiun dan uang tabungan habis. Saya bisa hidup gratis di penjara,” kata seorang narapidana berusia 69 tahun. Jalan menuju penjara ia tempuh dengan mencuri sepeda dan membawanya ke kantor polisi. Ia sendiri yang melapor telah melakukan pencurian. Akibat ulahnya, ia dipenjara selama setahun.
Tak semua narapidana lansia mencuri karena disengaja. Sebagian dari mereka mengutil karena menderita penyakit demensia. Penderita Alzheimer yang hidup sebatang kara memang menyedihkan. Di penjara, mereka mendapatkan perawatan yang tidak didapat saat di rumah.
Ada juga lansia yang memiliki rumah dan keluarga tetapi tetap mencuri agar menghuni penjara. Menurut seorang petugas LP perempuan di Iwakuni, sekitar 30 mil dari Hiroshima, bagi mereka ini, penjara layaknya sebuah rumah. Di sini mereka dipahami dan diperhatikan, tak seperti saat berada di rumahnya sendiri.
Melemahnya ikatan kekeluargaan, hubungan sosial dan lingkungan membuat makin meningkatnya isolasi sosial yang pada gilirannya membuat lansia merasa terasing di rumah dan lingkunnya sendiri. Di sisi lain, penjara menawarkan lingkungan yang lebih memadai, serasa di rumah sendiri. Bahkan, ada yang menyebutnya sebagai surga para lansia.
Persoalan ini harus dilihat dari berbagai perspektif. Pemecahannya tak bisa mengandalkan pemerintah semata. Perlu kerjasama dari semua pemangku kepentingan, dari anggota keluarga, masyarakat, dan juga pemerintah.
Ahli kesehatan, pakar sosiologi, ahli budaya sampai tokoh masyarakat harus memiliki cara pandang yang sama untuk mengatasi masalah yang tampaknya kian hari kian bertambah besar mengingat masyarakat Jepang yang kian menua. [*]