Site icon Jernih.co

Wakil Ketua MUI Soal Pernyataan Menag Yaqut, Bukan Aturannya Tapi Tata Bahasanya

“Kalau diproses dan sudah ada jalannya tadi, yaitu alhamdulillah. Untuk bangsa Indonesia ini termasuk mengajari, sadar hukum, kalau ada apa pun terkait hukum dan jalur hukum,” ujarnya.

JERNIH-Kegaduhan yang timbul akibat pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas soal analogi kumandang Adzan dengan gonggongan anjing, masih terus berlangsung. Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Marsudi Syuhud menilai, seharusnya pejabat publik seperti Yaqut mampu menimbang ucapan yang dilontarkan, karena akan menuai pro-kontra bahkan kegaduhan seperti sekarang ini.

“Ketika mau menyampaikan kalimat, pasti harus hitung-hitungan kalimat ini akan membuat pro atau membuat kontra,” ucap mantan ketua PBNU itu dalam acara Total Politik, Minggu (6/3).

Menurut Marsudi, ucapan Menag Yaqut yang menganalogikan kumandang Adzan dengan gonggongan anjing, sudah pasti menjadi konsumsi publik sehingga melahirkan pro-kontra termasuk kegaduhan.

“Tapi kalau dia menikmati kontranya, itu kan banyak juga orang yang menikmati memang bikin formulanya,” katanya.

Sementara banyaknya pihak yang membawa persoalan ini ke jalur hukum, Marsudi bilang merupakan bagian dari pembelajaran hukum yang perlu disadari semua pihak, karena Indonesia berdiri memang berdasarkan hukum.

“Kalau diproses dan sudah ada jalannya tadi, yaitu alhamdulillah. Untuk bangsa Indonesia ini termasuk mengajari, sadar hukum, kalau ada apa pun terkait hukum dan jalur hukum,” ujarnya.

Soalnya bagi Marsudi, memang sudah seharusnya sebuah negara memiliki dasar hukum yang mampu dipertanggung jawabkan. Jika dikatakan bahwa hukum merupakan penjaga publik, sangat tepat karena untuk bernegara dan berbangsa memang perlu adanya aturan.

“Maka ketika apa saja harus dikembalikan kepada aturan,” kata dia menegaskan.

Marsudi mengapresiasi aturan penggunaan pengeras suara terhadap Masjid dan Musholla yang dikeluarkan Menteri Agama, sebab hal itu bertujuan membentuk kenyamanan di tengah masyarakat. Namun jika tercipta kekisruhan seperti saat ini, perlu diupayakan jalan tengah untuk mencari titik temu.

“Bukan malah membuat gonjang-ganjing kalau aturannya untuk bikin tertib, membuat nyaman membuat enak. Itu intinya yang kita cari,” kata mantan ketua PBNU ini.

Namun yang terjadi di tengah masyarakat, bukan soal nilai dari aturan yang ditetapkan, melainkan berasal dari tata bahasa penyampaian yang menyebabkan kegaduhan.

“Karena pada dasarnya orang ingin tertib semua. Kalau ada persoalan lain, ekses dari sebuah kalimat dan bahasa. Itu persoalannya lain, bukan persoalan daripada aturan itu,” ujarnya.[]

Exit mobile version