Site icon Jernih.co

Washington Pertimbangkan Serang Yaman, Houthi: Kami akan Tenggelamkan Kapal-kapal AS

JERNIH — AS dan sekutunya mempertimbangkan kemungkinan menyerang milisi Houthi di Yaman untuk melumpuhkan kemampuan mereka melepas rudal ke Laut Tengah. Sayyed Abdul-Mali al-Houthi, pemimpin Ansar Allah, mengatakan; kami akan menyerang kapal-kapal perang AS.

Mengutip sumber yang mengetahui masalah itu, Bloomberg memberitakan Washington menyadari Operasi Penjaga Kemakmuran — yang dibentuk untuk melindungi rute pelayaran di Laut Merah –mungkin tidak cukup.

AS belum memutuskan karena serangan terhadap Houthi akan memperburuk hubungan AS-Iran. Tehran, menurut pejabat AS, memberi dukungan penuh kepada pemberontak Yaman.

Arab Saudi, sekutu AS di Timur Tengah, kemungkinan tidak setuju dengan rencana AS menyerang Houthi untuk menghilangkan ancaman. Riyadh khawatir serangan AS terhadap Houthi akan mengubah Laut Merah menjadi zona perang.

Operasi Penjaga Kemakmuran melibatkan Inggris, Kanada, Bahrain, Prancis, dan beberapa negara lain. Houthi melepas rudal dan drone ke sasaran sipil di Israel setelah perang Hamas-Israel meletus. Houthii berusaha mencekik Israel dengan menyerang kapal-kapal kargo yang menuju pelabuhan Haifa.

Kabar kemungkinan AS menyerang Houthi direspon cepat oleh Sayyed Abul-Malik al-Houthi, pemimpin gerakan Ansar Allah. Dalam pidato yang disampaikan Rabu 20 Desember al-Houthi mengatakan; “Jika AS mempertimbangkan menyerang Yaman, kami tidak akan tinggal diam.”

Ia melanjutkan; “Terlibat dalam perang melawan AS dan Israel, bukan dengan proxy Washington, adalah yang paling kami cita-citakan.” Ia juga memperingatkan negara-negara Arab tidak berada di pihak AS.

Yang dimaksud proxy adalah Arab Saudi. Houthi dan Arab Saudi terlibat perang panjang dan belum berakhir. Sedangkan negara Arab yang diingatkan untuk tidak berpihak ke AS adalah Bahrain.

“Jika AS ingin melawan sikap Yaman yang mendukung Palestina, Washington harus menghadapi seluruh rakyat Yaman,” katanya. “AS akan menghadapi situasi lebih keras dari yang mereka alami di Vietnam dan Afghanistan.”

Exit mobile version