- BMKG menyebut ada perubahan pola angin di wilayah Indonesia bagian utara yang dominan bergerak dari Barat-Utara dengan kecepatan 5-25 knot. Kemudian di bagian selatan dominan bergerak dari Barat Daya-Barat Laut dengan kecepatan angin 4-20 knot.
JERNIH – Sejumlah daerah harus berhati-hati seiring potensi gelombang tinggi. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan gelombang tinggi dari 1 hingga 6 meter akan menerpa sejumlah daerah pesisir akibat perubahan pola angin di wilayah Indonesia pada 9-10 Desember 2021.
“Kecepatan angin tertinggi terpantau di Laut Natuna Utara, perairan Kepulauan Anambas, Kepulauan Natuna, Laut Jawa, Samudera Hindia selatan Jawa, perairan utara Papua Barat-Papua,” kata BMKG di laman resminya, Kamis (9/12/2021).
BMKG menyebut ada perubahan pola angin di wilayah Indonesia bagian utara yang dominan bergerak dari Barat-Utara dengan kecepatan 5-25 knot. Kemudian di bagian selatan dominan bergerak dari Barat Daya-Barat Laut dengan kecepatan angin 4-20 knot. Akibat kecepatan angin tersebut, BMKG memprediksi peningkatan gelombang dengan tinggi gelombang beragam di beberapa wilayah perairan di Indonesia.
Tinggi gelombang 1,25-2,5 meter berpotensi terjadi di Selat Malaka, perairan Lhokseumawe, perairan barat Pulau Simeulue-Kepulauan Mentawai, perairan Enggano Bengkulu, perairan barat Lampung, Selat Sunda bagian barat-selatan, perairan selatan Banten-Pulau Sumba.
Kemudian perairan timur Kepulauan Lingga-Bintan, perairan utara Kepulauan Bangka Belitung, Selat Karimata, perairan Sulawesi Utara, Laut Sulawesi bagian tengah-timur, Laut Maluku, Halmahera, laut Banda, selatan Pulau Seram, utara Kepulauan Kei-Aru, selatan Pulau Biak, hingga barat Amamapre-Agats, Papua.
Gelombang lebih tinggi kisaran 2,5-4 meter berpotensi terjadi di perairan Kepulauan Anambas-Kepulauan Natuna, Kepulauan Subi-Serasan, Samudera Hindia selatan Banten-NTB, utara kepulauan Sangihe, utara kepulauan Talaud, utara Papua Barat-Papua.
Sementara gelombang sangat tinggi di kisaran 4-6 meter berpeluang terjadi di Laut Natuna Utara. “Potensi gelombang tinggi di beberapa wilayah tersebut dapat berisiko terhadap keselamatan pelayaran. Untuk itu, BMKG selalu mengimbau masyarakat untuk selalu waspada, terutama bagi nelayan yang beraktivitas,” ujar BMKG.
Sementara itu Kementerian Perhubungan (Kemenhub) meminta stakeholer penerbangan dapat mengantisipasi cuaca ekstrem imbas fenomena La Nina. Direktur Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Dadun Kohar juga mengharapkan agar para pemangku kepentingan terkait dapat mengelola momentum libur Nataru 2021/2022 dengan baik.
Hal itu agar tidak merusak kondisi saat ini yang sudah cukup membaik dalam upaya pemulihan dan ketahanan penerbangan sipil global serta bercermin dari musibah erupsi Gunung Semeru.
“Risiko–risiko perubahan iklim global yang melahirkan beberapa fenomena anomali cuaca termasuk pertumbuhan bibit siklon di seluruh wilayah Indonesia sangat berdampak baik langsung maupun tidak langsung bagi operasi penerbangan di Indonesia,” ujarnya.
Dia berharap adanya komitmen bersama antara regulator dengan para pemangku kepentingan sektor transportasi udara dalam hal menumbuhkan bahkan meningkatkan kewaspadaan, kesiapan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi tantangan dampak perubahan iklim global tersebut khususnya bagi keselamatan penerbangan maupun keberlangsungan operasi penerbangannya.
Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Novie Riyanto mengatakan mitigasi menghadapi cuaca ekstrem sebagai efek dari fenomena La Nina bagi operasi penerbangan perlu segera dilakukan. Mengingat cuaca ekstrem diprediksikan mulai terjadi pada akhir tahun 2021 dan pada bulan–bulan pada awal tahun 2022.
“Ini semua harus kita antisipasi bersama baik pemerintah sebagai regulator ataupun stakeholeder penerbangan sebagai operator,” ujar Novie.
Dia juga berharap antara regulator dan operator melakukan diskusi proaktif yang berkelanjutan dalam menumbuhkan maupun meningkatkan kewaspadaan, kesiapan dan kesiapsiagaan (situational awareness) para pemangku kepentingan sektor transportasi udara terutama pada dampak fenomena anomali cuaca dan iklim. Selanjutnya diharapkan mampu menetapkan langkah-langkah mitigasi global yang efektif, sistematis dan komprehensif.
Novie juga mengharapkan agar tak berhenti hanya sebagai inisiasi kewaspadaan terhadap dampak perubahan iklim global tetapi secara berkelanjutan para stakeholder penerbangan dapat merumuskan kerangka aturan maupun kebijakan mitigasi. Hal tersebut untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan dalam rangka mendukung upaya pemulihan dan ketahanan penerbangan sipil global. [*]