Site icon Jernih.co

Beb Vuyk, Wartawan yang Ungkap Pembantaian Pesing

Ada satu tokoh terlupa dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yaitu Elizabeth (Beb) Vuyk. Namanya tertimbun banyak tokoh; Belanda atau Indonesia, yang muncul dan berperan selama 1946-1950.

Vuyk kalah populer dengan Johannes Cornelis Princen, tentara Belanda yang membelot ke Indonesia, karena tidak angkat senjata. Ia seorang wartawati, berjuang lewat liputan dan tulisan-tulisannya.

Berbeda dengan Princen, Vuyk bukan Belanda totok. Dalam tubuhnya mengalir darah Indonesia dari etnis Madura. Neneknya berasal dari Sampang. Kulitnya kecokelatan, kendati wajahnya sangat Belanda.

Vuyk tidak mengingkari DNA Indonesia di tubuhnya. Mei 1946, saat kembali ke Hindia-Belanda, Vuyk bekerja sebagai wartawan untuk majalah sayap kiri De Baanbreker, dan mendukung dekolonisasi Hindia-Belanda.

Tidak butuh waktu lama bagi Vuyk untuk membuat laporan liputan yang bikin marah petinggi militer Hindia-Belanda, dan politisi berkuasa di Amsterdam. Ia mendapat kabar pembantaian di wilayah Pesing pada April 1946, dan menelusurinya.

Dalam laporan berjudul Zuivering van Pesing, Vuyk menulis semua yang dituturkan narasumber-nya tentang Pembantaian Pesing. Sebanyak 70 serdadu Tentara Republik Indonesia (TRI), yang menyerah setelah pertempuran tak seimbang, dibantai Polisi Militer KNIL yang didominasi etnis Ambon.

Tulisan Vuyk beredar luas di Belanda dan di kalangan petinggi militer Hindia Belanda. Dalam tulisan itu, Vuyk secara terbuka menuduh polisi militer KNIL menggunakan metode pembantaian ala Gestapo Jerman dan Kampeitai Jepang.

Jenderal Simon Spoor, panglima tertinggi Hindia Belanda, naik pitam dan menulis; De aantijging, als zoude de M.P. van het K.N.I.L. „Kempetai en Gestapo-methoden‟ toepassen, moet met verontwaardiging van de hand worden gewezen (tuduhan Polisi Militer KNIL menggunakan metode Gestapo dan Kampeitai harus ditolak dengan amarah).

Di parlemen Belanda, LN Palaar — politisi sayap kiri yang mendukung dekolonisasi Hindia-Belanda — menerima surat dari seorang tentara Belanda yang menyesali Pembantaian Pesing. Palaar yakin sumber berita Vuyk adalah orang yang menulis surat kepadanya.

Vuyk lahir di Rotterdam 1905 dari pasangan Wilton Vuijk Rudolf dan Elisabeth Anna Maria Rotscheid. Vuyk tertua dari tiga bersaudara. Ia melewati masa kecil sampai remaja dengan gelimang ejekan karena kulitnya yang cokelat.

Wilton Vuijk Rudolf, ayahnya, lahir di Hindia-Belanda dari rahim seorang perempuan Madura. Saat dewasa Wilton Vuyk meninggalkan Hindia-Belanda, dengan harapan menjadi orang Belanda tulen.

Tahun 1927, Vuyk menerima diploma untuk mengajar memasak dan nutrisi. Ia juga belajar Bahasa Inggris, sastra, dan menulis cerita untuk majalan Eigen Haard dan De Vrije Bladen.

Tiga tahun kemudian Vuyk berangkat ke Hindia-Belanda untuk dua alasan. Pertama, seorang penulis harus bepergian. Kedua, mengujungi kampung halaman nenek moyangnya di Madura. Ia sempat menjadi guru di sekolah untuk anak-anak Eurasia selama dua tahun. di Sukabumi.

Tahun 1932 Vuyk menikah dengan Ferdinand de Willigen, pegawai perkebunan teh yang lahir dari pasangan Belanda-Ambon. Vuyk dan Boet, panggilan akrab De Willigen, dipersatukan oleh nasib sebagai Indo yang kerap diejek kulit putih.

Keduanya sempat mencari peruntungan di Maluku, tapi Perang Dunia II mengakhirinya. Vuyk dan Boet, beserta dua anaknya, kembali ke Pulau Jawa. Vuyk menjadi wartawan. Boet mencari kerja lain.

Kedatangan Jepang mengubah segalanya. Vuyk, Boet, dan dua anak mereka ditangkap dan dijebloskan ke kamp tahanan. Boet dikirim ke Burma sebagai Romusha.

Vuyk dan anak-anaknya berpindah dari satu ke lain kamp. Ia menuliskan semua pengalamannya selama di dalam kamp dan diterbitkan dengan judul Buku Harian Kamp tahun 1989.

Setelah Jepang menyerah, Vuyk dan Boet — serta seluruh penduduk kulit putih dan Indo — berada dalam bahaya besar. Setelah Soekarno memproklamirkan kemerdekaan, rakyat turun ke jalan dan melampiaskan kebencian kepada orang kulit putih.

Vuyk dan Boet sempat kembali ke Belanda, tapi tak lama. Tahun 1946 keduanya kembali ke Hindia-Belanda. Ia secara terbuka memperlihatkan sikap pro-Republik Indonesia, yang membuat intelejen terus menguntitnya.

Tahun 1950, Vuyk dan Boet memilih warga negara Indonesia. Ia dekat dengan Soekarno, tapi tak membuat naluri kewartawanannya tumpul. Ia beberapa kali mengkritik Soekarno. Di sisi lain ia menyerang pemerintah Belanda, terutama sebelum Konferensi Meja Bundar.

Vuyk bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Sjahrin. Bekerja di Majalah Konfrontasi pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana, dan secara teratur menulsi untuk surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis.

Namun ia terpaksa kembali ke Belanda ketika tahun 1957 Soekarno mengobarkan sentimen anti-Belanda. Vuyk sempat mengkritik keras Soekarno, yang membuat pemerintah Indonesia mencabut paspornya. Ia melarikan diri dengan kapal terakhir yang membawa orang-orang Belanda dari Indonesia ke Eropa.

Di Belanda, ia menghabiskan hidupnya sebagai penulis beberapa buku. Ia memperoleh beberapa penghargaan nasional dan internasional. Khusus tentang Indonesia, ia abadikan kecintaannya kepada negeri ini lewat buku Groot Indonesisch kookboek (Kamus Masakan Indonesia) dan Vegetarische recepten uit de Indonesische keuken (Resep vegetarian dari masakan Indonesia).

Di tahun-tahun terakhirnya, saat jemarinya tidak lagi bisa menekan tuts komputer, Vuyk tetap menulis. Ia menyewa orang untuk menuliskan apa yang dia ucapkan. Vuyk meninggal tahun 1991.

Beb Vuyk, dengan kamampuannya, ikut mengantar negeri nenek moyangnya merdeka, tapi ia terlupa.

Exit mobile version