Site icon Jernih.co

Benarkah Utang Membuat Diam-diam Negara-negara Muslim Biarkan Cina Tindas Uighur?

Setiap jam polisi Cina melakukan patroli di kota Kashgar, di Xinjiang, wilayah yang dihuni kalangan Muslim Uighur.

Laporan tersebut mendokumentasikan bagaimana pemerintah (terutama dari negara-negara mayoritas Muslim di Timur Tengah dan Asia) telah bekerja sama dengan Beijing untuk mengawasi, menahan, dan memulangkan Uighur serta minoritas Muslim lainnya dari Cina, yang telah melarikan diri dari Xinjiang.

JERNIH–Negara-negara Muslim diam-diam diduga bersekongkol dengan Cina dalam menindas dan memulangkan Muslim Uighur yang melarikan diri dari Xinjiang.

Pada 1997, pemerintah Pakistan mendeportasi 14 orang Uighur yang dituduh Beijing sebagai teroris yang merencanakan untuk memisahkan Xinjiang, provinsi barat Cina yang berpenduduk mayoritas Muslim, keluar dari ikatan dengan negara itu. Setelah didorong melintasi perbatasan timur Pakistan dengan Cina, mereka dieksekusi mati.

Kasus itu merupakan episode terdokumentasi pertama dari orang-orang Uighur yang diekstradisi atas permintaan Cina, “menandai titik balik dalam evolusi penindasan transnasional China,” menurut “Dataset Penindasan Transnasional Cina terhadap Uighur”, sebuah database dan laporan baru yang diluncurkan pada 24 Juni. Dokumen itu telah memeriksa 1.546 kasus penahanan dan deportasi di 28 negara, dari insiden 1997 hingga Maret 2021.

Kumpulan data tersebut (yang merupakan inisiatif bersama oleh Masyarakat Oxus untuk Urusan Asia Tengah dan Proyek Hak Asasi Manusia Uighur), menunjukkan bagaimana kampanye Cina melawan Uighur telah mendunia, berkembang pesat dari Asia Tengah dan Selatan hingga mencakup Eropa, Timur Tengah, dan Asia Tenggara.

Laporan tersebut (yang mengklaim sebagai laporan paling lengkap tentang kampanye internasional Cina) mendokumentasikan bagaimana pemerintah (terutama dari negara-negara mayoritas Muslim di Timur Tengah dan Asia) telah bekerja sama dengan Beijing untuk mengawasi, menahan, dan memulangkan Uighur serta minoritas Muslim lainnya dari Cina, yang telah melarikan diri dari Xinjiang.

“Ada banyak kritik terhadap negara-negara mayoritas Muslim atas sikap diam mereka terkait Xinjiang dan penindasan terhadap Uighur,” ujar Bradley Jardine, direktur penelitian di Oxus Society for Central Asian Affairs dan penulis utama laporan tersebut, mengatakan kepada Radio of Free Europe/Radio Liberty.

“Tapi database ini menunjukkan bahwa itu bukan hanya kemunafikan dari dunia Islam, ini adalah kolaborasi aktif dengan China.”

Pejabat hak asasi manusia PBB memperkirakan, 1 juta atau lebih orang Uighur, Kazakh, dan minoritas Muslim lainnya ditahan di kamp-kamp dalam sistem interniran China yang luas. Banyak mantan tahanan menuduh mereka menjadi sasaran percobaan indoktrinasi, kekerasan fisik, dan bahkan sterilisasi.

Pemerintah Amerika Serikat dan beberapa parlemen Barat telah melabeli tindakan Cina di Xinjiang sebagai genosida, tetapi sebagian besar pemerintah negara-negara mayoritas Muslim (yang semakin memiliki hubungan keuangan dan politik yang dekat dengan Beijing melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Cina) tetap diam pada masalah ini.

Menurut laporan itu, upaya untuk menargetkan orang Uighur dan memaksa mereka kembali ke Cina telah meningkat sejak 2017, ketika Beijing diyakini telah memulai program penahanan massal di Xinjiang.

“Melalui praktik-praktik ini, pemerintah Cina dapat memperluas penindasan dan kontrolnya atas orang-orang Uighur melintasi batas-batas kedaulatan,” bunyi laporan itu, sebagaiman dikutip RFE/RL.

Sikap busuk negara-negara Muslim

Perdana Menteri Pakistan Imran Khan baru-baru ini menjadi berita utama ketika dia menolak untuk mengakui atau mengutuk dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Cina di Xinjiang, selama wawancara 20 Juni dengan media AS Axios.

Islamabad dan Beijing mempertahankan hubungan yang kuat, dan Koridor Ekonomi Cina-Pakistan (CPEC) yang bernilai miliaran dolar tetap menjadi proyek utama dalam BRI Cina.

Tetapi basis data tersebut menyoroti bagaimana kerja sama Pakistan dengan Cina mengenai Uighur berusia puluhan tahun, dan mendahului peningkatan investasi dan dorongan ekonomi Beijing di seluruh Eurasia. “Meskipun tidak ada bukti kesepakatan resmi untuk memantau kegiatan Uighur, kegiatan Pakistan di akhir 1990-an mengisyaratkan bahwa kesepakatan kemungkinan telah tercapai, secara formal atau sebaliknya,” bunyi laporan itu.

Demikian pula, pengacara untuk kelompok Uighur telah mengajukan bukti baru ke Kantor Kejaksaan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), yang menunjukkan bahwa pemerintah di Tajikistan telah bekerja sama dengan Beijing untuk mengirim orang Uighur kembali ke Cina.

Keluhan mereka juga menuduh pihak berwenang Tajik membantu memfasilitasi rendisi luar biasa orang-orang Uighur dari Turki kembali ke Cina.

Turki tetap menjadi lokasi penting bagi komunitas Uighur yang lebih luas. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menyambut orang-orang Uighur di Turki selama bertahun-tahun, di mana sekitar 40.000 orang Uighur tinggal di negara yang berpenduduk sekitar 82 juta jiwa itu.

Erdogan telah mengkritik kebijakan keras Cina di Xinjiang, tetapi baru-baru ini telah melunakkan pernyataannya, seiring Ankara telah menjadi lebih dekat secara ekonomi dengan Cina.

Pada Desember 2020, Beijing meratifikasi perjanjian ekstradisi 2017 antara kedua negara. Tetapi parlemen Turki belum menindaklanjutinya, membuat orang-orang Uighur takut bahwa keputusan yang membayangi dapat membuat banyak dari mereka dikirim kembali ke Cina atas permintaan Beijing.

“Turki pernah dilihat sebagai tempat yang aman, tapi sekarang tidak lagi,”ujar Jardine, sebagaimana dikutip RFE/RL.

“Barat sekarang perlu mulai melihat perluasan kuota pengungsi, dan memfasilitasi klaim Uighur dari Turki dan negara-negara lain yang terlibat dalam penindasan transnasional Cina.” [Radio of Free Europe/ Radio Liberty]

Exit mobile version