Gagasan kecil untuk mengembangkan gastronomi Jawa Barat melalui festival.
Oleh Doddi Ahmad Fauji *
“Bumi Pasundan lahir saat Tuhan sedang tersenyum.”
– M.A.W. Brouwer
Kalimat di atas bukan sekadar untaian kata dari seorang filsuf berkebangsaan Belanda yang jatuh cinta pada budaya Nusantara. Ia adalah pernyataan batin yang memancarkan ketulusan dan kekaguman, sekaligus menjadi pintu gerbang untuk memahami mengapa Tanah Priangan—yang membentang di Jawa Barat—begitu kaya bukan hanya secara alam, tetapi juga dalam hormat dan rasa hidup.
Pasundan bukanlah sekadar wilayah administratif. Ia adalah harmoni yang menyatu antara bentang alam, sejarah geologi, karakter sosial, dan tentu saja—rasa dalam pengertian yang paling dalam: taste. Rasa yang tak hanya lahir di lidah, tapi juga menyentuh hati. Ketika kita berbicara tentang gastronomi Tanah Priangan, kita tidak sedang membahas daftar makanan semata, melainkan menjelajahi cara hidup. Gastronomi di sini adalah cermin dari falsafah hidup yang sederhana, berdaya cipta tinggi, dan sarat nilai kearifan lokal.
Ketika Senyum Menjadi Rasa
Mari kita mulai dari satu kata yang begitu lekat dengan orang Sunda: someah. Ini bukan hanya sinonim dari ramah, tapi juga menyiratkan kehangatan, keramahan hati, dan kesediaan untuk menyambut siapa pun yang datang. Di desa-desa kecil yang menghampar di bawah kaki Gunung Tangkubanparahu, Ciremai, Pangrango, Gede, atau Papandayan, “someah” bukan teori sosial, melainkan praktik sehari-hari. Ia hadir di wajah para ibu yang menyajikan nasi timbel dengan sambal dadak segar, atau dalam sapaan bapak tua penjaja karedok keliling.
Dalam bahasa gastronomi modern, keramahan semacam ini menciptakan pengalaman bersantap yang tidak hanya enak secara rasa, tapi juga mendalam secara emosional—sebuah konsep yang kini populer disebut sebagai emotional dining atau culinary hospitality. Di mana makanan bukan hanya soal gizi atau estetika, melainkan tentang menyentuh sisi manusiawi terdalam melalui interaksi yang hangat.
Di Balik Setiap Rasa, Ada Cerita
Tanah Pasundan diberkahi lanskap geografis yang dramatis dan menawan. Dataran tinggi yang subur, iklim sejuk, dan kekayaan sumber daya alam menjadi rahim bagi ragam bahan pangan tropis berkualitas tinggi. Tapi lebih dari itu, kombinasi antara alam dan budaya telah membentuk tradisi kuliner yang kaya, kompleks, dan sekaligus rendah hati.
Gastronomi Sunda tidak mengedepankan kemewahan bahan baku. Ia lebih sering merayakan hasil bumi yang sederhana: beras, singkong, oncom, aci (tepung tapioka), daun-daunan, sayur-mayur, dan rempah lokal. Namun, dari kesederhanaan itu lahirlah rasa-rasa agung yang merangkum pengalaman generasi demi generasi. Comro, cireng, karedok, urab, ulen, leupeut, atau seblak—mungkin terdengar biasa bagi sebagian orang. Tapi bagi masyarakat Pasundan, itu adalah jejak ingatan, warisan rasa, dan bentuk syukur atas alam yang murah hati.
Setiap makanan memiliki narasi mikro yang tertanam dalam proses pembuatannya. Cara mencacah daun kemangi untuk urab, cara membakar oncom di atas bara hingga mengeluarkan aroma khas, atau bagaimana bumbu sambal selalu diulek, bukan diblender—semua itu bukan soal teknik semata, tetapi tentang menghargai proses. Dalam terminologi kuliner, inilah yang disebut slow food, gerakan yang menekankan pentingnya memasak dan makan dengan kesadaran penuh, dengan rasa hormat terhadap bahan, budaya, dan komunitas.
Ketika Alam Menjadi Dapur
Alam Tanah Priangan bukan hanya latar belakang; ia adalah dapur besar tempat berbagai bahan pangan tumbuh dan berkembang. Kawasan pegunungan yang tercipta dari letusan Gunung Purba 150-an ribu tahun silam, kini menjadi kebun alami bagi warga. Sayuran dataran tinggi seperti kol, wortel, dan kentang tumbuh dengan rasa yang lebih segar dan renyah, berkat tanah vulkanik yang kaya mineral.
Dalam kacamata agro-gastronomi—disiplin yang mempelajari keterkaitan antara pertanian dan makanan—Tanah Priangan adalah contoh sempurna bagaimana lanskap menciptakan rasa. Singkong yang ditanam di dataran tinggi Bandung memiliki kadar air yang berbeda dari yang ditanam di pesisir Selatan. Bahkan daun singkong pun memiliki rasa yang lebih lembut dan tidak pahit saat dipanen di musim penghujan. Inilah terroir versi Sunda: rasa yang tidak bisa dipisahkan dari tanah tempat ia lahir.
Boleh saja benih singkong berasal dari Bandung – Jawa Barat, di tanam di kawasan lain, namun rasanya akan berbeda. Comro dan batagor Bandung, sulit diadopsi dengan rasa yang sama persis dan akurat oleh para chef mumpuni dari Jakarta sekalipun. Itulah keajaiban alam yang bagi sebagian orang tahu artinya bersyukur dan berzikir, menunjukkan kuasa Sang Prima Kausa.
Melawan Arus Konsumerisme dengan Kearifan Rasa
Di tengah derasnya arus konsumsi global dan budaya instan, banyak masyarakat urban kehilangan keterhubungan dengan makanan mereka. Restoran cepat saji, makanan beku, dan camilan pabrikan mungkin praktis, tapi memisahkan kita dari nilai budaya yang melekat pada proses makan. Makanan bukan lagi pengalaman, melainkan produk. Di sinilah gastronomi lokal seperti yang tumbuh di Tanah Pasundan menjadi bentuk perlawanan yang halus namun kuat.
Ketika seorang ibu di Cianjur masih menyajikan nasi tutug oncom dengan sambal terasi dan lalapan segar dari kebun samping rumah, sesungguhnya ia sedang menyampaikan pesan budaya yang kuat: makan itu bukan sekadar kenyang, tapi juga tentang merawat warisan, membangun ikatan sosial, dan menjaga harmoni dengan alam.
Ini adalah bentuk dari culinary resilience, daya tahan budaya makan dalam menghadapi gempuran modernitas. Ia bukan nostalgia, melainkan manifestasi dari living heritage—warisan yang masih hidup dan terus beradaptasi.
Gastronomi sebagai Cermin Jati Diri
Bicara tentang gastronomi Sunda adalah berbicara tentang identitas kolektif. Dari cara menyusun menu harian hingga adat makan bersama di lesehan, semua mencerminkan nilai-nilai luhur: kesederhanaan, kebersamaan, dan rasa hormat. Bahkan makanan ringan seperti peuyeum, kue balok, atau surabi bisa menjadi simbol dari keseharian yang mengakar kuat.
Di era ketika dunia sedang menggandrungi konsep local food movement, Tanah Pasundan telah melakukannya jauh sebelum menjadi tren. Masyarakatnya tidak hanya mengenal hasil bumi lokal, tetapi juga mengolahnya dengan penuh kreativitas dan rasa hormat. Ini bukan soal kembali ke masa lalu, tapi justru melangkah ke masa depan dengan fondasi yang kuat: identitas yang tidak goyah meski zaman berubah.
Seorang futurolog masyhur, John Naisbit, melalui bukunya yang viral Paradox Global, terasa kontekstualnya ketika ia mengatakan, di era globalisasi di mana semua manusia berlomba untuk sama atas dorongan modernisme teknologi, bangsa-bangsa yang memiliki keunikan artefak budaya justru akan muncul ke permukaan. Predisksi Naisbit tersebut perlu direnungkan dan menjadi wasilah untuk naik kelasnya gastronomi Indonesia, dalam konteks ini yang berasal dari Pasundan.
Sebuah Undangan Rasa
Jadi, ketika kita berbicara tentang “gastronomi dan keajaiban Tanah Priangan,” kita sedang mengundang siapa pun untuk menyelami lebih dari sekadar rasa asin, manis, pedas, atau gurilem (gurih dan pelem). Kita sedang mengajak mereka merasakan rasa yang hidup—hidup dalam senyum ibu-ibu penjaja gorengan, dalam tanah subur yang menumbuhkan daun-daunan liar, dan dalam meja makan sederhana yang memuat dunia dalam satu piring.
Tanah Priangan bukan hanya tempat tinggal orang Sunda. Ia adalah tempat tinggal rasa.
Dan siapa pun yang ingin mencicipi rasa itu, harus datang dengan hati terbuka—karena di sinilah, rasa akan menyambutmu dengan senyuman.
WARISAN KULINER DALAM LANSKAP VULKANIK
Tanah Priangan bukan sekadar ruang geografis—ia adalah lanskap rasa yang dibentuk oleh geologi, iklim, dan sejarah panjang interaksi manusia dengan alam. Jika kita menelusuri sejarahnya, tanah subur yang kini menjadi jantung kehidupan kuliner Sunda ini lahir dari serangkaian letusan gunung api: Gunung Purba, Gunung Sunda, Gunung Tangkuban Parahu, yang menyisakan kaldera besar, yang 3500 tahun silam baru mengering, dan itulah Cekungan Bandung. Apa yang hari ini kita sebut sebagai “kekayaan gastronomi Sunda” sesungguhnya adalah hasil sublimasi dari tragedi geologi yang berubah menjadi berkah kuliner.
Vulkanisme: Dapur Alam yang Mencetak Rasa
Dalam ilmu geologi kuliner—ya, itu istilah tak resmi namun semakin populer di kalangan ahli gastronomi—aktivitas vulkanik sering dianggap sebagai mother kitchen. Vulkanisme menyediakan elemen-elemen penting bagi kehidupan: tanah vulkanik yang kaya mineral, sistem drainase alami, dan suhu mikroklimat yang mendukung pertumbuhan berbagai jenis tanaman pangan. Di Tanah Pasundan, kita bisa merasakan dampaknya secara langsung: ubi dan singkong tumbuh besar, daun-daunan seperti kemangi, genjer, atau singkil menyebar liar, dan sayuran seperti kol, tomat, serta wortel memiliki cita rasa lebih renyah dan manis dibanding yang tumbuh di dataran rendah.
Dalam konsep terroir—yang biasanya digunakan dalam dunia anggur untuk menjelaskan bagaimana karakter tanah, iklim, dan topografi membentuk rasa dari hasil panen—Pasundan memiliki terroir khasnya sendiri. Singkong Lembang, misalnya, memiliki kadar air dan tekstur yang berbeda dibandingkan singkong dari Garut. Ini bukan semata karena varietas, tapi karena perbedaan ketinggian, suhu malam hari, dan kelembapan tanah. Itulah kenapa tape dari Lembang punya kelembutan yang tak bisa ditiru di tempat lain.
Bandung Raya: Kaldera yang Menjadi Kebun Rasa
Cekungan Bandung, yang secara geologis adalah bekas kaldera besar Gunung Purba, kini menjadi pusat dari denyut kuliner Sunda. Ke manapun kita melangkah, kita akan menemui jalanan berkelok, naik-turun, yang membingkai lahan-lahan pertanian sayur, kebun teh, dan hamparan hutan kecil yang masih menyisakan warisan flora tropis.
Penting untuk memahami bahwa bentang alam seperti ini tidak hanya memengaruhi bahan mentah, tapi juga membentuk pola makan dan struktur menu harian masyarakat. Makanan masyarakat dataran tinggi cenderung bersifat penghangat, berkuah, dan penuh sayuran segar—seperti sayur asem Bandung, sop buntut, atau pepes oncom. Ini adalah bentuk respons alamiah terhadap udara sejuk dan kebutuhan kalori harian yang lebih tinggi. Inilah yang disebut dalam studi gastronomi sebagai adaptive culinary behavior—cara makan yang menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Gunung dan Dapur: Simbol Spiritual dan Praktis
Gunung dalam budaya Sunda bukan hanya elemen fisik, tapi juga spiritual. Ia adalah penjaga, pelindung, dan sumber kehidupan. Dalam banyak narasi rakyat, gunung hadir sebagai tokoh sentral—seperti dalam legenda Sangkuriang dan Tangkuban Parahu. Dalam kuliner, gunung juga menjadi sumber air bersih, bahan baku rempah, hingga inspirasi dari bentuk penyajian makanan. Tak sedikit kuliner Sunda yang mengambil bentuk gunungan, seperti tumpeng kecil atau susunan lauk dalam acara adat.
Dalam pengertian praktis, gunung adalah sumber pasokan langsung. Banyak warga kampung yang tidak bergantung pada pasar untuk sayuran, karena cukup memetik dari ladang pribadi atau hasil hutan kecil. Filosofi ngahuma (berladang) yang masih dijalankan di banyak desa menjadi dasar dari kemandirian pangan masyarakat. Konsep inilah yang kini sering diangkat dalam diskusi food sovereignty—kedaulatan pangan lokal yang berkelanjutan dan mandiri.
Singkong dan Aci: Harta Karun dari Tanah Gunung
Salah satu warisan kuliner terkuat dari tanah vulkanik ini adalah singkong dan segala turunannya. Dalam gastronomi Sunda, singkong bukan sekadar bahan pokok alternatif, tapi bahan baku utama dari inovasi rasa. Singkong diolah menjadi tape, keripik, combro, misro, bahkan menjadi aci—tepung kanji yang kini menjadi basis dari tren jajanan kekinian seperti seblak, cilok, dan cireng.
Yang menarik adalah cara masyarakat Sunda memberi nama makanan mereka. Sebagian besar kudapan berbasis aci dinamai dengan singkatan yang lucu dan mudah diingat, misalnya: cilok (aci dicolok), cilor (aci telor), cimol (aci digemol), cireng (aci digoreng), cimel (aci sambel). Ini bukan hanya kreativitas verbal, tapi juga menunjukkan kemampuan masyarakat untuk menciptakan identitas dari bahan dasar sederhana—sebuah culinary branding tradisional yang sangat kuat.
Jika dikaji dari sudut pandang gastronomi modern, olahan aci adalah bentuk eksplorasi tekstur. Aci menghasilkan konsistensi kenyal, elastis, dan memuaskan secara sensorik—sesuatu yang juga dicari dalam dunia pastry dan molecular gastronomy. Bahkan tekstur chewy yang dihasilkan aci kini menjadi tren global, seperti dalam bubble tea atau mochi. Kita mungkin tidak sadar, tapi Pasundan telah melakukannya jauh sebelum itu menjadi tren TikTok.
Kuliner, Alam, dan Ancaman Urbanisasi
Namun, keindahan dan keseimbangan ini tidak datang tanpa ancaman. Urbanisasi yang masif di wilayah Bandung Raya dan sekitarnya telah menggerus lahan pertanian, merusak jalur air, dan mengurangi luas hutan kota. Banyak bukit kini berubah menjadi perumahan mewah, dan alih fungsi lahan ini perlahan memutus rantai pasok bahan baku lokal.
Jika kita tidak menjaga keseimbangan ini, maka kita akan kehilangan lebih dari sekadar lansekap; kita akan kehilangan rasa. Tidak akan ada lagi daun kemangi segar dari kebun belakang, atau singkong legit yang bisa langsung diolah dari ladang. Apa arti gastronomi lokal jika bahan bakunya harus diimpor dari luar daerah?
Inilah tantangan besar yang dihadapi oleh para pelaku kuliner, akademisi, dan pemerintah. Gastronomi tidak bisa berdiri sendiri; ia perlu ditopang oleh sistem ekologis dan sosial yang adil dan berkelanjutan. Jika tidak, kekayaan rasa yang diwariskan oleh tanah gunung hanya akan menjadi catatan nostalgia.
Dari Vulkanisme Menuju Vibrasi Rasa
Tanah Priangan adalah bukti nyata bahwa rasa bisa tumbuh dari lava yang membeku, dari tanah yang hangus, dan dari bencana yang menjadi berkah. Dari abu Gunung Purba, masyarakat Sunda meramu resep, menanam bahan pangan, dan menyusun narasi rasa yang kini menjadi bagian penting dari identitas mereka.
Gunung melahirkan tanah, tanah melahirkan bahan, bahan melahirkan rasa, dan rasa melahirkan budaya.
Mari kita jaga agar siklus ini tetap berjalan. Karena selama gunung masih berdiri, rasa dari Tanah Priangan akan terus hidup, dan selama kita menjaga alam, kita menjaga identitas rasa kita sendiri.
KEANEKARAGAMAN PANGAN LOKAL: SIMFONI DARI ACI, ONCOM, DAN SINGKONG
Jika Tanah Priangan adalah orkestra alam yang megah, maka aci, oncom, dan singkong adalah instrumen utamanya. Tiga bahan sederhana ini tidak hanya menjadi bagian dari keseharian dapur Sunda, tetapi juga merepresentasikan filosofi hidup masyarakatnya: bersahaja, kreatif, dan selaras dengan alam. Dalam dunia gastronomi, mereka adalah bentuk konkret dari konsep humble ingredients, bold flavors—bahan sederhana, rasa luar biasa.
Aci: Tepung Kecil dengan Jejak Rasa Besar
Aci, atau tepung kanji dari pati singkong, adalah bahan dasar yang telah melahirkan revolusi jajanan di Tanah Sunda. Sifat elastisnya yang kenyal memungkinkan eksplorasi tekstur yang sangat kaya. Tekstur chewy yang dihasilkan aci—disebut al dente lokal oleh beberapa chef—menjadi ciri khas dari berbagai makanan seperti cilok, cireng, cimol, cilor, hingga seblak.
Sebutan nama-nama tersebut juga memperlihatkan kreativitas linguistik masyarakat Sunda. Mereka suka menciptakan istilah kirata (dikira-kira tapi nyata) untuk banyak hal, termasuk kuliner dengan bunyi yang lucu, mudah diingat, dan dekat secara sosial. Contohnya:
- Cilok = Aci dicolok (kanji yang ditusuk)
- Cireng = Aci digoreng
- Cimol = Aci digemol (dibentuk bulat)
- Cilor = Aci telur
- Seblak = Kerupuk basah dimasak pedas dengan campuran aci
Dalam kerangka street food culture, aci adalah superstar. Ia fleksibel, murah, dan bisa disandingkan dengan bumbu kuat seperti kencur, cabai, dan bawang putih. Saat dikombinasikan dengan telur, tulang ayam, atau sosis, maka aci menjadi jembatan antara rasa lokal dan modern.
Namun, keistimewaan aci bukan hanya pada rasa atau tekstur. Secara sosial, ia adalah bahan yang inklusif—semua lapisan masyarakat bisa mengakses dan menikmatinya. Ini menjadikannya contoh ideal dari gastronomi kerakyatan, di mana makanan tidak hanya tentang kenikmatan, tapi juga keterjangkauan dan kebersamaan.
Oncom: Fermentasi, Umami, dan Identitas
Oncom adalah bahan fermentasi khas Sunda yang sering disejajarkan dengan tempe, namun memiliki karakter rasa dan aroma yang jauh lebih kompleks. Jika tempe menggunakan kedelai utuh yang difermentasi oleh jamur Rhizopus oligosporus, maka oncom bisa berbahan dasar bungkil kacang, ampas tahu, atau bahkan ampas kelapa yang difermentasi oleh jamur Neurospora sitophila. Ini adalah bentuk kuliner zero waste yang telah dilakukan masyarakat Sunda jauh sebelum konsep sustainability menjadi tren global.
Karakteristik rasa oncom sangat khas: gurih, sedikit asam, dan memiliki aroma yang “bernyawa”. Ia menjadi sumber rasa umami lokal—unsur kelima dalam rasa yang membuat makanan terasa lebih dalam dan memuaskan. Dalam dunia gastronomi, umami adalah elemen kunci yang dicari chef kelas dunia untuk meningkatkan kompleksitas hidangan. Dan oncom—dengan segala kerendahannya—sudah menyediakannya secara alami.
Beberapa hidangan berbasis oncom yang ikonik antara lain:
- Comro (oncom di jero): Singkong parut isi oncom goreng.
- Tumis oncom leunca: Hidangan pedas penuh tekstur antara fermentasi dan pahit segar dari leunca.
- Nasi tutug oncom: Nasi yang diaduk bersama oncom panggang, jadi comfort food khas warga Priangan.
Oncom bukan hanya tentang rasa, tapi juga tentang filosofi: ti euweuh jadi aya (dari yang tak bernilai, menjadi bernilai). Ini adalah bentuk kearifan lokal dalam melihat potensi dari sisa. Dalam dunia modern, oncom bisa menjadi ikon fermentasi tropis Indonesia, sejajar dengan miso Jepang atau kimchi Korea, jika dikembangkan secara tepat dan strategis.
Singkong: Akar yang Mengakar dalam Rasa
Singkong atau sampeu, sebagai sumber utama aci, adalah bahan pangan yang paling membumi dalam budaya Sunda. Ia tumbuh hampir di semua pekarangan rumah, mudah diolah, dan bisa disimpan dalam berbagai bentuk. Dari singkong, lahirlah beragam olahan: tape, kripik, kicimpring, combro, misro, lemet, dan banyak lagi.
Dalam pandangan agro-gastronomi, singkong adalah tanaman resilien yang cocok dengan iklim dan tanah vulkanik Pasundan. Ia tidak rewel, bisa tumbuh di tanah kering, dan tidak butuh pupuk mahal. Inilah sebabnya singkong menjadi tulang punggung ketahanan pangan di banyak daerah, terutama di masa krisis.
Beberapa transformasi rasa dari singkong yang paling memukau antara lain:
- Tape singkong: Proses fermentasi menciptakan rasa manis, asam, dan aroma khas. Diolah menjadi kue bolu, es tape, atau langsung dimakan.
- Kicimpring: Kripik tipis dari adonan singkong dan rempah, sering dijadikan camilan atau pelengkap nasi.
- Lemet: Kue manis kukus berbahan singkong parut, gula merah, dan kelapa, dibungkus daun pisang.
Dalam kerangka kuliner modern, singkong memiliki potensi luas. Ia bisa menjadi pengganti gluten, diolah menjadi pasta bebas gluten, tepung roti, bahkan digunakan dalam teknik kuliner molekuler untuk menciptakan gel dan saus.
Dapur Kampung: Inkubator Inovasi
Dapur-dapur kampung Sunda adalah inkubator alami dari inovasi kuliner. Tidak perlu alat canggih atau bahan mahal—cukup kreativitas, keterampilan rasa, dan ketersediaan bahan lokal. Perempuan-perempuan di desa seperti Nagreg, Rancakalong, atau Cianjur, adalah food technologist tanpa gelar yang telah menciptakan resep turun-temurun. Mereka mengerti bagaimana memadukan bahan, mengukur rasa dengan intuisi, dan menjaga keutuhan rasa tradisi.
Dari dapur ini pula muncul konsep plating ala Sunda: sederhana tapi menarik. Nasi liwet dihidangkan di atas daun pisang, lalapan disusun dalam warna-warni, dan sambal selalu menjadi pusat perhatian. Semua ini adalah bagian dari culinary aesthetics yang sebenarnya telah hidup lama sebelum masuk ke dunia restoran.
Masa Depan Aci, Oncom, dan Singkong
Tantangan ke depan adalah bagaimana mempertahankan identitas gastronomi ini di tengah globalisasi. Banyak anak muda Sunda yang lebih kenal chicken wings daripada urab daun singkong. Inilah mengapa edukasi rasa menjadi sangat penting. Sekolah, komunitas, bahkan industri kuliner perlu menjadikan bahan-bahan ini sebagai bagian dari narasi yang bangga.
Keterjajahan selera itu ternyata dampaknya bisa lebih besar dari keterjajahan politik seperti di masa kolonial. Akibat diiklankan dan dijejalkan makanan seperti dinsum, spaghety, pizza, coca-colla dan teman-temannya, rupiah harus mengalir keluar, bila makanan-minuman itu telah dipatenkan oleh orang luar. Kita mesti bisa berpikir terbalik, bagaimana caranya orang dari California, Tokyo, London, Amsterdam dan kota-kota lainnya, ketagihan mereguk bandrek atau bajigur yang telah dipatenkan oelh Indonesia, sehingga dolar yang mengalir ke tanah air.
Mengapa tidak ada brand “Premium Oncom” seperti halnya truffle atau parmesan? Mengapa tape singkong belum jadi dessert yang dipresentasikan di restoran bintang lima? Padahal rasa dan keunikannya tidak kalah.
Gastronomi lokal bukan hanya soal melestarikan, tetapi juga tentang memodernisasi dengan tetap menjaga akar rasa.
Bayangkan seblak dimodifikasi menjadi sup fusion dengan kuah tom yum. Atau cilok yang dipadankan dengan saus truffle. Dengan pendekatan yang tepat, bahan lokal ini bisa tampil global—tanpa kehilangan jiwa aslinya.
Rasa dari Akar, Cerita dari Hati
Keanekaragaman pangan lokal Sunda bukan hanya variasi kuliner, tapi juga potret dari bagaimana masyarakat hidup, berpikir, dan mencintai alamnya. Aci, oncom, dan singkong mungkin tampak sederhana di mata luar. Tapi di tangan orang Sunda, mereka menjadi simfoni rasa yang tak tergantikan.
Satu cilok bisa jadi cerita masa kecil. Sepiring nasi tutug oncom bisa jadi penghubung lintas generasi.
Gastronomi sejati bukan soal kemewahan bahan, melainkan kekayaan makna di baliknya. Dan Tanah Pasundan telah membuktikan itu selama berabad-abad—dengan rasa yang lahir dari bumi, tapi hidup dalam hati.
GASTRONOMI SEBAGAI WARISAN BUDAYA DAN IDENTITAS
Gastronomi adalah lebih dari sekadar makanan. Ia adalah bahasa tak tertulis yang menyimpan sejarah, nilai, dan jati diri sebuah bangsa. Di Tanah Pasundan, makanan bukan hanya untuk kenyang, tapi untuk mengenang. Ia bukan sekadar konsumsi, melainkan komunikasi. Lewat rasa dan rupa makanan, orang Sunda berbicara tentang siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan ke mana mereka ingin menuju.
Maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa gastronomi Sunda adalah intangible heritage—warisan takbenda yang menyatu dalam praktik sehari-hari, bukan hanya dalam artefak atau monumen. Ia hidup dalam dapur, dalam kebiasaan makan bersama, dan dalam ritual-ritual kecil yang nyaris tak terlihat, tapi begitu bermakna.
Dapur sebagai Panggung Peradaban Rasa
Dalam kebudayaan Sunda, dapur adalah ruang suci yang tidak hanya tempat memasak, tapi juga tempat mendidik. Di sinilah anak-anak perempuan diajarkan rasa, bukan hanya teknik. Mereka belajar mengenal aroma daun salam dan lengkuas, membedakan suara mendidih kuah sayur asem dengan rebusan singkong, hingga merasakan seberapa banyak garam yang “pas” tanpa harus diukur.
Semua itu adalah bagian dari pendidikan rasa, atau yang dalam istilah modern disebut culinary transmission—transfer keahlian kuliner dari satu generasi ke generasi berikutnya. Namun, yang ditransfer bukan hanya resep, tetapi juga nilai: kesabaran saat menumbuk sambal, ketekunan saat menyiangi daun, dan cinta saat menyajikan makanan untuk keluarga.
Dapur juga menjadi ruang dialog antar-generasi. Seorang nenek yang membuat kue balok atau jalabria bisa bercerita tentang masa mudanya sambil mengaduk adonan. Dalam proses itu, makanan menjadi penghubung memori dan identitas—sebuah jembatan yang mengaitkan masa lalu dengan masa kini.
Makanan sebagai Bahasa Simbolik
Setiap makanan dalam budaya Sunda memiliki makna di luar rasa. Misalnya, urab—campuran sayuran kukus dan kelapa parut berbumbu—sering disajikan dalam syukuran karena mencerminkan keberagaman yang bersatu. Ada pula tumpeng, nasi berbentuk kerucut yang melambangkan gunung, simbol kesucian dan kedekatan dengan Tuhan dalam kosmologi Jawa-Sunda.
Di acara mapag panganten, atau menyambut pengantin, makanan-makanan khas seperti kue putu ayu, serabi, dan asinan sering disajikan sebagai simbol keseimbangan rasa dalam kehidupan rumah tangga: manis, gurih, asam, pedas—semua hadir, sebagaimana hidup yang juga penuh warna.
Dalam pendekatan semiotika kuliner, makanan bukan hanya benda konsumsi, tapi teks budaya. Ia bisa dibaca, ditafsirkan, dan dimaknai sebagai representasi dari struktur sosial, nilai spiritual, hingga sistem kepercayaan.
Kuliner dan Filosofi Kesederhanaan
Salah satu nilai paling kentara dalam gastronomi Sunda adalah kesederhanaan. Ini bukan karena keterbatasan, tapi karena kesadaran akan harmoni. Orang Sunda tidak pernah berlebihan dalam menampilkan makanan. Bahkan lauk pauk yang minimalis seperti ikan asin, tempe goreng, dan lalapan pun bisa menjadi sajian utama bila diiringi sambal yang nikmat dan nasi hangat.
Kesederhanaan ini adalah bentuk dari gastronomi kontemplatif, di mana makanan bukan untuk pamer, tetapi untuk menikmati proses dan substansinya. Kita bisa melihatnya dalam cara orang Sunda menyajikan makanan: tidak terlalu banyak bumbu, tapi kaya rasa. Tidak terlalu ribet plating-nya, tapi penuh keharmonisan warna dan tekstur.
Dalam dunia kuliner kontemporer, nilai-nilai ini sangat relevan. Konsep back to basics, natural taste, dan mindful eating yang kini banyak diadopsi oleh restoran mewah dunia, sejatinya telah lama hidup di meja-meja makan keluarga Sunda.
Tradisi Makan Bersama: Dari Lesehan ke Piknik Alam
Gastronomi Sunda tidak pernah lepas dari konteks sosial. Makan adalah kegiatan kolektif, bukan individual. Bahkan dalam suasana santai seperti makan di sawah saat panen, atau makan bersama di pinggir sungai saat jalan-jalan keluarga, selalu ada unsur kebersamaan dan kesalingan. Hidangan disusun di atas daun pisang, semua duduk lesehan, dan lauk dibagikan tanpa perbedaan.
Tradisi ini adalah bentuk kuliner yang merayakan kesetaraan. Tidak ada siapa yang lebih dulu atau lebih banyak; semua makan bersama, tertawa bersama, dan merasakan kelezatan bukan hanya dari makanan, tapi dari kehangatan yang tercipta.
Dalam dunia restoran saat ini, banyak tempat mencoba mengadopsi konsep communal dining atau family style serving. Namun masyarakat Sunda sudah menjalankannya sejak dahulu, tanpa perlu label atau istilah keren.
Ancaman dan Tantangan: Memori yang Mulai Memudar
Namun, seperti banyak warisan budaya lain, gastronomi Sunda juga menghadapi tantangan besar. Modernisasi, urbanisasi, dan globalisasi telah mengikis kedekatan masyarakat dengan makanan tradisional. Banyak anak muda kini lebih akrab dengan burger dan sushi dibandingkan karedok atau tutug oncom. Bahkan beberapa makanan tradisional seperti gurandil, ketuk lindri, dan jalabria mulai menghilang dari radar kuliner masyarakat kota.
Dalam konteks ini, makanan tradisional tidak hanya butuh dilestarikan, tetapi juga dihidupkan kembali dalam bentuk baru yang menarik. Ini bukan berarti menghilangkan identitas aslinya, tetapi menyesuaikannya dengan selera dan gaya hidup masa kini—apa yang disebut sebagai kuliner adaptif. Contohnya, kue balok bisa disajikan dengan isian cokelat leleh dan topping matcha, tanpa menghilangkan bentuk dan teknik dasarnya.
Gastronomi dan Rasa Bangsa
Lebih dari sekadar identitas lokal, gastronomi Sunda juga bisa menjadi bagian dari identitas nasional. Di tengah pencarian jati diri bangsa, makanan bisa menjadi cara paling lembut untuk memperkenalkan budaya Indonesia ke dunia. Kita bisa belajar dari negara seperti Jepang, yang memposisikan ramen, sushi, dan matcha sebagai duta budaya yang efektif. Atau Italia dengan pasta dan espresso-nya.
Bayangkan jika cilok, comro, atau peuyeum bisa hadir di restoran Asia fusion di Eropa atau kafe hipster di Australia—dengan tetap membawa nilai autentik dan kisah di baliknya. Maka, makanan Sunda tidak hanya menjadi pelengkap, tapi juga pembawa pesan.
Dari Rasa ke Makna
Gastronomi Sunda adalah narasi kolektif yang mengalir dari dapur ke meja makan, dari ibu ke anak, dari kampung ke kota. Ia adalah cara masyarakat mengenang masa lalu, menjalani hari ini, dan merancang masa depan. Dalam setiap rempah yang ditumbuk, dalam setiap sambal yang diulek, ada kisah dan nilai yang terus hidup.
Karena rasa bukan hanya untuk dikenang—tetapi untuk diperjuangkan.
Melestarikan makanan Sunda berarti menjaga jati diri kita sendiri. Karena saat kita lupa pada apa yang pernah membuat kita kenyang dengan rasa dan makna, kita juga sedang kehilangan sebagian dari siapa diri kita sebenarnya.
FESTIVAL KULINER: MENCIPTAKAN MOMENTUM, MENUMBUHKAN RASA BANGGA
Di tengah gempuran budaya populer dan arus globalisasi makanan cepat saji, satu pertanyaan muncul dengan mendesak: bagaimana kita mempertahankan dan merayakan kekayaan gastronomi lokal kita sendiri? Jawabannya, salah satunya, adalah melalui festival kuliner. Bukan sekadar pesta makan-makan atau bazar makanan biasa, festival kuliner adalah panggung yang strategis—sebuah arena untuk menghidupkan rasa, menyalakan kreativitas, dan membangkitkan kebanggaan.
Di Tanah Priangan, festival kuliner belum sepenuhnya dimanfaatkan sebagai alat pembentuk identitas dan penggerak ekonomi. Padahal, jika digarap serius dan berkelanjutan, ia bisa menjadi momentum penting dalam membangun rasa percaya diri kolektif terhadap warisan kuliner Sunda.
Panggung Rasa dan Identitas
Festival kuliner adalah medium yang menyatukan berbagai lapisan masyarakat dalam satu meja besar: produsen bahan pangan, ibu-ibu juru masak, chef muda, UMKM, komunitas kreatif, hingga pemerintah. Ketika semua unsur ini duduk bersama, terjadi pertukaran yang tidak ternilai: resep lama diinterpretasi ulang, bahan lokal mendapat nilai jual baru, dan rasa-rasa lama hidup kembali dalam bentuk baru yang segar dan menggoda.
Kita bisa bayangkan sebuah Festival Aci Nasional yang diselenggarakan di Cekungan Bandung—mengundang masyarakat dari berbagai penjuru Jawa Barat untuk menciptakan makanan paling inovatif berbahan dasar aci. Peserta dari Tasik membawa aci gulung isi tuna asap, dari Garut datang brownies aci pisang karamel, dan dari Subang muncul aci sushi leunca. Semua tampil di satu panggung besar rasa.
Momentum semacam ini tidak hanya menciptakan gelombang kreatif, tetapi juga menumbuhkan gastronomic pride—kebanggaan terhadap warisan kuliner sendiri. Karena kita tahu, rasa tidak hanya untuk disantap, tapi juga untuk dirayakan.
Kreasi dari Tradisi: Antara Otoritas dan Inovasi
Seringkali terjadi dilema: apakah festival harus mempertahankan resep orisinal atau memberi ruang pada inovasi? Jawabannya: keduanya. Dalam gastronomi kontemporer, keduanya harus hidup berdampingan. Inovasi kuliner justru menjadi penghormatan yang tertinggi terhadap tradisi. Karena untuk menciptakan sesuatu yang baru, kita harus benar-benar memahami akar yang lama.
Misalnya, tutug oncom bisa dikembangkan menjadi menu fusion seperti oncom arancini—bola nasi tutug oncom dibalut tepung dan digoreng ala Italia, lalu disajikan dengan saus sambal tomat khas Sunda. Atau peuyeum tiramisu, yang memadukan tape singkong dengan mascarpone dan kopi robusta lokal. Inovasi seperti ini akan menarik minat generasi muda sekaligus memperluas cakrawala selera.
Festival adalah ruang ideal untuk eksperimen ini, karena ia membuka ruang kolaborasi antar pelaku kuliner dari berbagai latar: juru masak tradisional, chef profesional, barista lokal, food stylist, bahkan pelaku seni visual. Ketika makanan diposisikan sebagai medium ekspresi budaya, maka potensi kolaboratifnya menjadi tak terbatas.
Dampak Ekonomi: Dari Dapur ke Pasar Dunia
Salah satu kekuatan tersembunyi dari festival kuliner adalah efek domino ekonominya. Ia bisa menggerakkan UMKM, mengangkat produk lokal, dan menciptakan pasar baru. Sebuah makanan yang viral di festival bisa menjadi produk unggulan. Seblak, misalnya, dulunya hanya jajanan pinggir jalan. Tapi lewat kekuatan media sosial dan inovasi rasa, kini seblak hadir di kafe kekinian bahkan mulai dijual dalam bentuk beku untuk pasar nasional.
Bayangkan jika cireng isi keju leleh atau peuyeum brownies menjadi produk khas oleh-oleh Bandung yang bisa dibawa hingga ke luar negeri. Festival menyediakan wadah untuk validasi pasar, sekaligus titik temu antara rasa tradisi dan selera konsumen modern.
Lebih jauh lagi, festival bisa menciptakan jalur wisata kuliner. Rute “Jalur Aci Sunda” bisa menjadi destinasi wisata tematik: dimulai dari Subang, Garut, Tasikmalaya, dan berakhir di Bandung dengan setiap kota menyajikan makanan khas berbasis aci. Ini adalah bentuk experiential tourism yang kini banyak diminati wisatawan generasi milenial dan Gen Z.
Peran Komunitas dan Pentahelix Gastronomi
Agar festival kuliner tidak hanya menjadi helaran sesaat, perlu dukungan dari unsur pentahelix: pemerintah, akademisi, komunitas, pelaku usaha, dan media. Komunitas bisa mengorganisasi dan merancang konten lokal, akademisi memberi konteks budaya dan sejarah, pengusaha mendukung distribusi dan packaging, media mengangkat narasi, dan pemerintah memberi kebijakan dan insentif.
Koordinasi antarpihak ini menjadi vital untuk memastikan bahwa festival kuliner bukan hanya pesta makan, tapi juga platform pemberdayaan. Contoh baik bisa diambil dari Ubud Food Festival di Bali yang sukses menyatukan narasi kuliner, industri, dan budaya secara bersamaan.
Di Jawa Barat, potensi festival tematik sangat besar:
- Festival Sambal Sunda
- Festival Urab Nusantara
- Pasar Rakyat Oncom & Fermentasi Lokal
- Bulan Peuyeum Nasional
Bayangkan jika semua ini dijalankan secara terintegrasi, maka Tanah Pasundan bisa menjadi salah satu episentrum gastronomi di Asia Tenggara.
Merayakan dengan Etika dan Estetika
Festival kuliner juga bisa menjadi sarana pendidikan rasa dan etika makan. Banyak anak-anak muda yang tidak tahu bahwa urab harus diaduk sebelum dimakan, atau bahwa nasi tutug oncom paling nikmat disantap dengan tangan dan sambal leunca. Di festival, kita bisa mendidik tanpa menggurui—melalui demonstrasi masak, cerita rakyat, atau konten kreatif seperti lomba video resep dan podcast cerita kuliner.
Estetika juga tidak boleh dilupakan. Makanan tradisional sering kali kalah bersaing di era Instagram karena tampilannya kalah menarik. Maka festival bisa menjadi momen untuk memperkenalkan plating khas Sunda yang artistik namun tetap otentik—misalnya tumpeng mini, anyaman daun pisang, atau penggunaan alat makan kayu dan bambu.
Rasa yang Dirayakan, Warisan yang Dibanggakan
Festival kuliner bukan hanya ajang untuk menjual makanan, tapi untuk membangkitkan kebanggaan. Dalam setiap sendok yang dicicipi, ada cerita. Dalam setiap sajian yang ditampilkan, ada sejarah. Dan dalam setiap tawa yang terdengar di antara pengunjung, ada harapan bahwa rasa ini akan terus hidup—bukan sekadar dikenang, tapi juga dirayakan.
Karena makanan Sunda tidak akan bertahan hanya di dapur—ia harus melangkah ke panggung dunia.
Dan festival adalah salah satu panggung paling meriah untuk itu. Mari kita siapkan lampu, musik, dan tentunya: rasa.
KOMPETISI: NAFAS DARI KEMAJUAN PERADABAN RASA
Tidak ada peradaban besar yang tumbuh tanpa kompetisi. Dari panggung Olimpiade di Yunani Kuno hingga panggung MasterChef modern, kompetisi selalu menjadi ajang seleksi alam yang sehat—menyaring karya terbaik, mempercepat inovasi, dan membangkitkan semangat berkarya dengan penuh dedikasi. Di dunia gastronomi, kompetisi bukan sekadar adu rasa; ia adalah proses penyucian kreativitas dan pengakuan terhadap keterampilan yang lahir dari tradisi dan pengetahuan yang diasah.
Dalam konteks Tanah Pasundan, kompetisi kuliner belum benar-benar dimaksimalkan sebagai medium pertumbuhan budaya rasa. Padahal, masyarakat Sunda adalah bangsa yang penuh kreasi, dan gastronomi mereka sarat dengan peluang eksplorasi. Sudah saatnya kita menciptakan panggung-panggung kecil rasa di berbagai sudut desa dan kota, agar warisan kuliner ini tidak sekadar bertahan, tetapi berkembang dan menyesuaikan zaman.
Mengapa Kita Harus Berlomba dalam Rasa?
Mungkin ada yang bertanya: bukankah makanan cukup dimasak dan dinikmati? Untuk apa diperlombakan? Jawabannya ada dalam prinsip sederhana: semangat kompetisi memunculkan kualitas terbaik. Dalam dunia kuliner, ketika seseorang tahu karyanya akan dinilai oleh publik atau juri, ia akan mengasah teknik lebih rapi, memperhalus rasa lebih dalam, dan menyajikan dengan estetika yang lebih puitis.
Kompetisi juga memberikan validasi sosial—sebuah pengakuan dari komunitas bahwa hasil keringat dan intuisi seseorang layak diapresiasi. Ini penting terutama bagi pelaku kuliner akar rumput yang selama ini hanya berkarya di balik dapur rumah. Ketika hasil kreasinya tampil di panggung dan mendapat tepuk tangan, harga dirinya naik. Ini bukan sekadar hadiah uang, tapi hadiah psikologis dan budaya.
Dari Lomba Masak RT ke Ajang Kuliner Nasional
Lomba memasak sebenarnya bukan hal asing bagi masyarakat kita. Dari tingkat RT, lomba masak sering digelar saat HUT RI atau acara PKK. Tapi sayangnya, acara ini seringkali berhenti pada level seremonial—kurang terhubung ke rantai yang lebih panjang: edukasi, inkubasi, branding, dan distribusi.
Bayangkan jika lomba masak skala kecil ini bisa disinergikan ke dalam sistem kompetisi berjenjang, seperti liga makanan. Mulai dari Lomba Makanan Tradisional Tingkat Kelurahan, lalu naik ke Kecamatan, Kabupaten, Provinsi, hingga nasional. Setiap pemenang membawa serta keunikan lokal, dan pada akhirnya kita bisa memiliki “Piala Kuliner Nusantara”—ajang nasional bergengsi yang membanggakan para chef lokal dari dapur rakyat.
Contohnya, Festival Aci di Garut bukan hanya ajang pamer cireng dan cilok. Tapi juga membuka kategori kompetisi: Best Texture, Most Creative Plating, Best Fusion Aci, hingga Storytelling Terbaik di Balik Makanan. Juri terdiri dari chef profesional, jurnalis makanan, budayawan, dan pelaku UMKM.
Kompetisi Sebagai Jalan Inovasi
Dalam dunia kuliner internasional, kompetisi menjadi laboratorium kreatif. Ajang seperti Bocuse d’Or di Prancis atau S. Pellegrino Young Chef Competition telah melahirkan banyak pendekatan baru dalam memasak, plating, hingga filosofi makanan. Banyak hidangan ikonik dunia lahir dari semangat kompetisi.
Kita juga bisa meniru semangat ini. Misalnya, dalam lomba membuat olahan oncom, para peserta diminta tidak hanya membuat versi klasik seperti tutug atau comro, tapi menciptakan sesuatu yang baru: oncom ravioli, oncom cheesecake, atau bahkan oncom latte (dengan fermentasi diproses ulang sebagai sirup gurih).
Tentu inovasi tidak berarti meninggalkan akar budaya. Justru ia menjadi cara memperluas akar itu hingga ke ranah baru. Inilah yang disebut sebagai cultural evolution through culinary innovation—evolusi budaya melalui inovasi rasa.
Etika, Tradisi, dan Kompetisi yang Fair
Namun dalam setiap kompetisi, prinsip etika harus dijaga. Kompetisi bukan tentang saling menjatuhkan, tapi tentang saling mengangkat. Penilaian harus dilakukan dengan adil, tidak bias selera atau status sosial. Juri tidak boleh sekadar melihat dari plating modern, tapi juga harus menghargai rasa autentik dan cerita di baliknya.
Tradisi juga tidak boleh ditinggalkan. Kompetisi justru bisa menjadi ruang edukasi bagi masyarakat untuk kembali mengenal makanan-makanan yang mulai punah. Bayangkan jika ada kategori khusus: Makanan Tradisional Terlupakan. Di sini peserta menyajikan kembali makanan langka seperti jalabria, gurandil, ketuk lindri, atau nasi goreng daun mengkudu—dan menjelaskan sejarahnya.
Setiap kompetisi bisa menjadi ruang cultural revival—kebangkitan rasa yang sempat dilupakan.
Spirit Lintas Agama dan Peradaban
Menariknya, semangat berlomba dalam kebaikan juga tertanam dalam teks suci berbagai agama. Dalam Al-Quran disebutkan:
“Fastabiqul khairat” – Berlomba-lombalah dalam kebaikan. (Q.S. Al-Baqarah: 148)
Dalam Weda:
“Orang yang bersemangat dan tekun, akan berhasil dan hidup dalam kemakmuran. Para dewa tidak akan menolong orang yang malas.” (Ṛgveda VII.32.9)
Dan dalam Injil:
“Kamu telah berlomba dengan baik. Siapakah yang menghalangi kamu, sehingga kamu tidak menaati kebenaran?” (Galatia 5:7)
Semua teks ini menekankan bahwa persaingan sehat, kerja keras, dan pencarian mutu tertinggi adalah nilai spiritual yang mendalam. Maka kompetisi kuliner tidak hanya sebagai ajang show-off, tapi justru bentuk spiritualitas yang membumi: menumbuhkan etos kerja, ketekunan, dan kreativitas demi kemaslahatan rasa bersama.
Mengapa Kompetisi Harus Berkelanjutan?
Kompetisi yang hanya digelar satu kali tidak akan membentuk ekosistem. Yang dibutuhkan adalah kesinambungan: program berjenjang, platform dokumentasi digital, pelibatan media, dan integrasi dengan industri. Kompetisi harus membuka jalan ke inkubator usaha kuliner, akses ke pelatihan, pendampingan branding, hingga koneksi ke pasar ekspor.
Jika dilakukan dengan konsisten, kompetisi bisa menjadi gastronomic accelerator—penggerak pertumbuhan ekonomi berbasis rasa.
Dari Piring ke Panggung Dunia
Kompetisi adalah jalan untuk menjadikan rasa lokal sebagai kebanggaan global. Ia adalah cara untuk merangsang daya cipta, melestarikan warisan, dan menyatukan rasa dengan prestasi. Di tangan generasi muda, dan dengan dukungan ekosistem pentahelix, kompetisi gastronomi bisa menjadi suluh peradaban yang tak kalah dari panggung sains atau olahraga.
Karena di balik setiap lomba rasa, tersimpan harapan: bahwa kita tidak hanya makan untuk hidup, tetapi juga hidup untuk menciptakan rasa yang layak dikenang.
MENJAGA RASA, MERAWAT PERADABAN
Gastronomi adalah ekspresi budaya yang paling membumi dan paling mudah diakses. Ia menyentuh kehidupan setiap manusia—setiap hari, dalam setiap gigitannya. Di Tanah Priangan, makanan bukan sekadar sarana bertahan hidup. Ia adalah karya budaya, sumber makna, dan cermin dari cara hidup yang berpijak pada keselarasan antara manusia, alam, dan rasa.
Sepanjang esai ini, kita telah menyusuri berbagai lapisan yang menyusun narasi gastronomi Pasundan: dari geologi yang melahirkan lanskap vulkanik subur, hingga bahan pangan lokal yang ditanam dan diolah dengan kearifan. Kita telah menyaksikan bagaimana dapur menjadi ruang transmisi budaya antar generasi, bagaimana aci, oncom, dan singkong menjadi tokoh utama dalam orkestra rasa rakyat, dan bagaimana festival serta kompetisi dapat menjadi panggung tempat rasa dan kreativitas dilestarikan sekaligus dipacu.
Tapi semua ini hanya akan menjadi cerita tanpa kelanjutan jika tidak ada yang menjaga rasa tersebut dengan sungguh-sungguh. Maka tugas kita sekarang bukan hanya untuk mengenang, tapi juga untuk menghidupkan. Bukan hanya melestarikan rasa lama, tapi juga mencipta rasa baru dengan jiwa lama yang tak pernah lekang.
Rasa yang Tak Sekadar di Lidah
Dalam banyak budaya, makanan dianggap sebagai bahasa. Ia berbicara tanpa kata. Dalam satu piring nasi timbel lengkap dengan sambal dadak, lalapan, dan tahu goreng, kita bisa mendengar bisikan nilai-nilai: kesederhanaan, kebersamaan, dan penghargaan terhadap alam. Begitu pula dalam kudapan seperti peuyeum, gurandil, atau cireng isi yang dijajakan oleh pedagang kaki lima—semua memuat kisah hidup, ekonomi rakyat, dan kecerdasan lokal dalam mengolah sumber daya.
Namun kini, rasa itu perlahan mulai tergantikan oleh makanan cepat saji yang netral, mudah dicerna, tapi hampa makna. Lidah anak-anak muda kita mulai lebih familiar dengan cheeseburger, sushi instan, atau ramen pedas kemasan, dibandingkan dengan seblak tradisional yang dimasak dengan rempah utuh atau urab sayur yang diulek dengan tangan. Apakah itu salah? Tidak sepenuhnya. Dunia memang berubah. Tapi rasa lokal yang sarat sejarah dan nilai, tetap harus dijaga agar tidak lenyap di arus global.
Kita butuh pendekatan baru yang tidak sekadar melestarikan secara pasif, tetapi melibatkan masyarakat dalam bentuk aktif: eksplorasi ulang, edukasi rasa, dan adaptasi kuliner agar bisa hadir di meja-meja modern tanpa kehilangan jiwanya.
Mengangkat yang Terlupakan
Seiring modernitas yang merangsek, banyak makanan tradisional Sunda yang pelan-pelan hilang dari peredaran. Nama-nama seperti jalabria, ketuk lindri, ongol-ongol, atau peuyeum sampeu mungkin masih terdengar di sebagian kecil komunitas, tapi di banyak tempat, mereka sudah tak lagi dikenal bahkan oleh generasi muda Sunda sendiri.
Di sinilah peran dokumentasi dan revitalisasi menjadi penting. Gastronomi bukan hanya urusan dapur atau restoran. Ia adalah bagian dari warisan budaya takbenda yang harus dicatat, diarsipkan, dan diajarkan. Lembaga pendidikan, media, komunitas, hingga pemerintah daerah perlu bekerjasama membangun basis data makanan tradisional yang hilang, menggali ulang resep-resep dari para sesepuh, dan menyebarkannya dalam bentuk yang menarik bagi generasi digital.
Misalnya, lomba konten TikTok atau Instagram yang menantang pengguna muda membuat ulang makanan khas nenek mereka. Atau program TV dan YouTube lokal yang mengangkat “Rasa-Rasa yang Hampir Hilang”—menghadirkan chef muda bersama nenek juru masak dari desa. Makanan bisa viral, tapi bagaimana agar yang viral juga mendidik dan memperkaya?
Gastronomi Sunda dan Masa Depan Indonesia
Gastronomi Sunda bukan sekadar urusan lokal. Ia adalah bagian dari wajah Indonesia di mata dunia. Dalam era ketika makanan telah menjadi bagian dari diplomasi budaya—atau culinary diplomacy—Indonesia harus mampu tampil tidak hanya dengan rendang dan sate, tetapi juga dengan ragam rasa dari berbagai daerah, termasuk dari jantung Tanah Pasundan.
Bayangkan suatu hari, nasi tutug oncom menjadi menu eksklusif di restoran fine dining di Tokyo. Atau cilok tampil dalam bentuk fusion di New York, lengkap dengan saus khas Sunda yang dipadukan dengan gaya plating kontemporer. Itu bukan angan-angan. Itu bisa terjadi, jika kita memiliki strategi yang tepat dalam mendesain ulang narasi rasa.
Untuk itu, kita butuh regenerasi rasa. Chef muda Sunda harus mendapat akses pelatihan dan eksposur internasional, pelaku UMKM harus dibekali dengan pemahaman branding dan food styling, dan pemerintah daerah harus mengubah cara pandang dari “makanan rakyat” menjadi “produk budaya bernilai tinggi”.
Rasa sebagai Etos, Bukan Sekadar Produk
Di balik makanan Sunda, tersembunyi etos hidup. Kesederhanaan dalam tampilan, namun kaya dalam rasa. Keberanian memanfaatkan bahan “sisa” seperti oncom atau sampeu, dan menjadikannya hidangan utama. Ketekunan dalam mengolah bumbu tanpa shortcut. Semua ini adalah bentuk dari kerja budaya yang layak dihormati dan diwariskan.
Maka, kita jangan pernah melihat makanan hanya sebagai produk ekonomi. Ia adalah hasil dari kerja budaya, spiritualitas, dan sosial. Ia adalah cara masyarakat merawat identitas dan menjaga kelangsungan hidup. Dari sini, kita bisa belajar banyak: bahwa rasa tidak datang tiba-tiba. Ia diciptakan, diwariskan, dan dijaga dengan cinta dan kesadaran penuh.
Ajakan untuk Bertindak
Sekarang, mari kita bertanya pada diri sendiri:
- Sudahkah kita mengenalkan rasa kampung halaman pada anak-anak kita?
- Sudahkah kita membeli dari pedagang kecil yang menjual kue tradisional di pojok pasar?
- Sudahkah kita membuat kembali makanan yang dulu kita makan di masa kecil, dan membaginya pada generasi baru?
Jika belum, inilah saatnya. Karena rasa tidak hidup di museum. Ia hidup di dapur. Di tangan ibu kita. Di pasar tradisional. Di warung pinggir jalan. Dan di hati orang-orang yang masih mau mencicipi dengan sepenuh jiwa.
Penutup dari Hati
Tanah Priangan adalah anugerah. Gunungnya menjaga, tanahnya subur, dan masyarakatnya menyimpan ribuan rasa yang belum semuanya kita kenal. Dari aci hingga oncom, dari sambal dadak hingga kue tradisi, setiap suapan menyimpan sejarah, setiap aroma menyimpan ingatan.
Mari kita jaga rasa ini. Mari kita rawat dengan semangat.
Karena saat kita menjaga rasa, kita sedang menjaga bangsa.
Saat kita menciptakan rasa baru dari bahan lama, kita sedang menulis bab baru dalam buku besar peradaban.
Di tengah dunia yang terus berubah cepat, rasa adalah jangkar. Ia mengingatkan kita pada siapa kita sebenarnya. Dan di Tanah Priangan, rasa itu masih ada—menunggu untuk dihidupkan kembali. Oleh kita. Sekarang.
(DAF/IR)
Doddi Ahmad Fauji, sastrawan cum wartawan, peneliti tata kelola sampah hayati dan maggot BSF.