Jernih.co

ISIS, Cerita Tersisa dari Para Istri Mereka

Dengan begitu banyak anak-anak di kamp Hawl dan Roj, generasi ekstremis baru berpotensi untuk tumbuh. “Saya pernah melihat seorang anak memenggal kepala boneka,” kata Polman memperingatkan

HAWL—Bisa jadi, perang tak selalu menghasilkan pemenang. Tetapi yang pasti, perang selalu menyisakan duka mendalam, kisah nyeri dan sakit hati.

Seorang wartawan ABC News Australia, James Longman, datang ke Irak dan Suriah, berbicara dengan banyak sisa-sisa kombatan ISIS. Terutama dengan istri-istri mereka. Di bawah ini petikannya:

Di sudut barat laut Irak yang dingin, Magboula Bajo masih tak memiliki tempat menetap. Dia seorang Yazidi, suku yang pada saat perang mulai berlangsung di sana diperbudak dan disiksa oleh para relawan ISIS.

Sebagian pengisi kamp tawanan eks ISIS. Sebagian di antaranya WNI

Magboula diseret dari rumahnya, ditawan sebagai budak selama dua tahun. “Mereka membunuh semua orang di depan mata kami: ayah saya, paman, saudara kami, paman ayah saya,” kata Magboula, mengenang. Menurut dia, para kombatan ISIS menutup mata anak-anak muda Yazidi, mengikat tangan mereka sebelumnya membawa semua ke tepi sungai. “Kami mendengar tembakan, kami yakin mereka ditembak.”

Magboula merasa seperti dia telah dilupakan dunia. Teman, kerabatnya hingga kini masih tinggal di kamp-kamp pengungsi yang membeku, menunggu hidup mereka kembali dimulai setelah jatuhnya ISIS. Para korban ISIS belum menemukan kedamaian, dan banyak dari mereka yang bergabung dengan ISIS pun belum diadili.

Ketika James Longman dari ABC News menunggu di luar tendanya, ia mendengar aksen Amerika Utara yang berbeda dari Kimberly Polman, perempuan AS-Kanada yang bergabung dengan ISIS lima tahun lalu.  James Longman bisa mendengarnya tertawa dan mempersiapkan dirinya untuk berbicara. “Saya tidak tahu kalian akan datang!”

James Longman berada di kamp Roj di timur laut Suriah, di mana sekitar 2.000 perempuan ISIS Eropa Barat dan anak-anak mereka ditahan.

Polman berbagi tenda dengan Shamima Begum, warga Inggris berusia 20 tahun yang bergabung dengan ISIS ketika dia baru berusia 15 tahun. Di sebelah mereka adalah Hoda Mothana, yang tinggal bersama putranya yang berusia dua tahun, Adam. Ketiganya berusaha untuk kembali ke negara asalnya. Permum dan Mothana telah ditolak, sementara Polman masih dalam ketidakpastian dengan keputusan yang akan diambil otoritas Kanada dan AS.

Seorang dari ribuan anak orang tua eks ISIS: beberapa pemerintah bekas negara mereka hanya bisa dengan gampang menolak kepulangan, tak mau berpikir sedikit pun sesuatu yang solutif

Roj adalah kamp yang jauh lebih baik daripada Hawl, di mana lebih dari 65.000 orang tinggal dalam kondisi yang seringkali mengerikan. Di Hawl, seluruh wilayah tidak dapat digunakan untuk badan pemberi bantuan karena radikalisme ISIS begitu mengakar, secara efektif membentuk kota kecil ISIS di mana lebih dari setengah penduduknya adalah anak-anak.

Di Roj, radikalisasi masih menjadi masalah, tetapi mungkin masih lebih mudah dikelola karena skala yang lebih kecil. Kedua kubu memiliki masalah utama bagi masyarakat Kurdi, yang telah ditinggalkan bersama penyiksa mereka sendiri, sementara komunitas internasional berusaha keras untuk menemukan solusi.

Di dalam tenda, James Longman terkejut menemukan lampu peri dan hati tergantung dari kait tenda. “Kami sedang mempersiapkan hari Valentine,” ujar Polman yang tersenyum.

James Longman segera menyadari upaya Polman untuk tampak “normal”, dan (yang terpenting) berbeda dari perempuan lain di kamp tersebut. “Kami membuat kue malam ini, dan beberapa perempuan lain datang untuk minum kopi. Anda harus mencoba untuk tetap waras,” kata Polman.

Longman merasa itu sebuah kode yang artinya kira-kira,” Saya seperti Anda, dapatkah Anda percaya?’”

“Sebenarnya, saya tidak bisa percaya,” tulis Longman. Tenda itu tidak seperti tenda lainnya yang pernah saya lihat di Suriah. Sementara Magboula berurusan dengan kondisi hidup yang dingin, lembab, kotor (seringkali sempit dengan banyak orang) Polman dan Begum seperti hidup di penjara dengan keamanan minimum.

Mereka memiliki TV satelit, pemanas, dan listrik. Polman telah merajut bantal untuk perempuan-perempuan lain dengan gambar bendera negara mereka, dan sebuah papan tulis bertuliskan, “Pertama, Saya Minum Kopi, Lalu Saya Melakukan Segalanya.” James Longman merasa seperti berada di ruang duduk biasa di AS atau Inggris.

Longman menulis, Polman percaya diri dan banyak bicara. Dia menyalahkan keputusannya untuk datang ke Suriah pada 2015 pada seorang suami yang dia temui di online manakala dia sangat rentan.

“Dia adalah manusia yang benar-benar bersemangat, sangat hidup, sangat berpengetahuan, sangat santai,”ujar Polman tentang suaminya itu. “Tentu saja tidak seperti yang Anda harapkan jika Anda memikirkan kata ‘teroris’. Dia sama sekali tidak menyulut ketakutan pada Anda. Kenyataannya adalah, saya berada di titik yang sangat rendah dan saya mungkin seharusnya hidup lebih dekat dengan keluarga saya. Seharusnya saya memiliki sistem pendukung yang berbeda,” kata Polman, bertutur panjang.

Dia mengatakan, dia tidak melihat propaganda mengerikan yang dirilis pada saat itu. Dan dia mengatakan, dia bepergian sebelum beberapa serangan teror yang lebih brutal di Eropa terjadi, seperti di Bataclan atau serangan truk di Nice.

Namun ini sering merupakan pengulangan dari mereka yang bergabung dengan ISIS. Dia perempuan yang cerdas, dan telah berusaha merasionalisasi situasinya, tentu untuk meyakinkan orang lain. Dia tidak percaya dia atau perempuan lain, Mothana, Begum, dan sembilan atau lebih lainnya dari Jerman dan Belanda, sama seperti mayoritas istri ISIS di kamp tersebut.

“Beberapa dari mereka merayakan kematian Baghdadi, karena dia tidak cukup radikal untuk mereka,”ujar Begum, merujuk pada Abu Bakar al-Baghdadi, yang terbunuh dalam serangan Oktober lalu.

Polman mengatakan dia yakin mereka dalam bahaya. “Ada banyak pisau dapur di sini,” kata dia.

Masalah radikalisasi jelas merupakan masalah yang serius, dan dengan begitu banyak anak-anak di kamp Hol dan Roj, generasi ekstremis baru berpotensi untuk tumbuh. “Saya pernah melihat seorang anak memenggal kepala boneka,” kata Polman memperingatkan.

Baik Polman maupun Begum berulang kali menyebut ISIS sebagai “mereka”. “Orang-orang di negara kalian,” kata Longman,” Akan melihat Anda sebagai ISIS. Anda bergabung dengan kelompok ini, Anda meninggalkan negara Anda. Mungkin ini adalah hukuman yang pantas Anda terima.”

Polman menolak itu. “Itu cara berpikir yang sangat berbahaya,” ujar Polman. Menurut dia, orang-orang ini  (ISIS) juga memenjarakan saya. Mereka juga mencoba membunuh saya. Anda harus sadar bahwa kami semua punya cerita yang berbeda.”

Namun James Longman mengerti bahwa mereka tidak terlalu memikirkan perempuan seperti Magboula, dan kisah hidupnya yang lebih berat. “Bagaimana menurut perasaan Anda sebagai Yazidi?” Longman bertanya.

Menurut Magboula, ISIS mendirikan pasar untuk menjual gadis-gadis Yazidi di Raqqa. Mereka sebut Girls Bazaar. “Jadi siapa pun yang membutuhkan seorang gadis, dia bisa pergi ke sana dan membeli,” kata dia. Magboula bercerita bahwa setiap gadis memiliki gambar dan namanya di leher pada saat diperjualbelikan di pasar. Harga mereka juga ditulis. Bahkan beberapa gadis tidak dijual, namun disewakan hanya untuk satu hari.

Dia menganggap para istri ISIS juga bertanggung jawab, meskipun perempuan ISIS barat yang ditemui Longman menyangkal mengetahui hal itu. “Mereka tetap saja orang ISIS. Mereka istrinya,”kata Magboula.

Bahkan menurut Maghboula, para istri ISIS itu memperlakukan orang-orang Yazidi lebih buruk daripada suami mereka. Para perempuan ISIS itu, kata Magboula,  menahan gadis-gadis Yazidi agar suaminya memperkosa mereka dan menyiksanya. “Mereka adalah istri ISIS, dan patut dihukum juga.”

Hoda Mothana, yang lahir di New Jersey, AS, memiliki sekian banyak lapisan ekstra rumit dalam kisah hidupnya. Putranyalah, Adam yang berusia dua tyahun, yang kini membayar mahal dosa-dosa ibunya itu. Ayah bocah itu adalah kombatan ISIS yang dipaksakan untuk dinikahi Mothana. Suaminya itu meninggal dalam pertempuran. Sekarang Mothana ingin mengirim Adam kembali ke AS, kepada kelaurganya, tanpa dia.

“Maukah Anda meminta maaf padanya, ketika dia lebih tua?” tanya Longman. Mothana menjawab, hal itu tentu akan dia lakukan. Dia mengaku menyesal datang bergabung dengan ISIS, tetapi juga mengatakan bahwa jika tidak, dia tidak akan pernah memiliki putranya itu. “Dia tidak tahu bahwa anak-anak memiliki dua orang tua,”ujar Mothana. “Suatu hari, saya harus memberitahunya siapa ayahnya.”

Dengan ketiga perempuan itu Longman menemukan perasaan mereka sebagai korban. Longman mencoba menjelaskan siapa sebenarnya korban ISIS: keluarga yang hancur, perempuan yang diperkosa, dieksekusi atau diperbudak, atau ribuan lainnya yang kehilangan tempat tinggal.

Terpisah dari dunia luar, mereka hanya dapat merefleksikan waktu mereka di ISIS melalui pengalaman mereka sendiri. Mereka membenci apa yang telah terjadi. Hampir semuanya ingin keluar. Polman mengatakan dia diperkosa beberapa kali.

Yang tak tampak adalah bahwa mereka takt ahu seberapa besar dan dahsyat yang telah ISIS lakukan. Apalagi ada fakta bahwa kepergian mereka untuk bergabung dengan ISIS pun memberikan legitimasi bahwa kelompok tersebut harus membayar kejahatan yang telah dilakukan.

Mothana dan Begum masih sangat muda ketika mereka bergabung. Ada perasaan naif tentang mereka. Keduanya berbicara tentang “kebenaran” tentang waktu mereka di Suriah yang menurut mereka belum dipahami publik.

Polman lebih tua, dan tahu bagaimana menjelaskan kejahatannya. Dia mungkin seorang manipulator, atau benar-benar bertobat. Namun Longman mengaku tidak mengerti bagaimana seseorang yang begitu cerdas bisa terpikat dengan mudahnyan untuk pergi ke tempat seperti Suriah, menghadapi sekian banyak senjata yang moncongnya terarah. “Dia bilang, dia juga tidak mengerti,” tulis Longman.

Longman juga menemui seorang perempuan, Judy, administrator Kurdi yang bertanggung jawab atas kedua kubu—ISIS dan Yazidi, di kamp itu. Dia seorang muda dan mudah tersenyum, dan mengenal semua perempuan dengan nama depan mereka.

Kurdi adalah orang-orang yang paling menderita dari kegiatan teror ISIS. Untuk setiap orang Barat yang berbaris dalam pakaian oranye dan dieksekusi, 10 Kurdi lagi mengalami nasib yang sama ketika ISIS berada di puncak kekuasaannya. Longman bertanya kepadanya bagaimana perasaannya dalam menjaga para perempuan yang memberikan dukungan kepada kelompok teror itu.

“Sulit, karena kami pun sangat menderita,”jawab Judy. Namun, kata Judy, ia mengerti bahwa mereka juga manusia. Untuk itu, yang dia lakukan hanyalah melakukan pekerjaannya sebaik mungkin.

Longman melihat paradoks itu: negara-negara Barat sebagian besar cuci tangan atas isu-isu tersebut, karena opini publik sangat menentang apa pun yang tampak seperti pengampunan. Namun implikasi keamanan sangat besar, dan beban yang ditanggung oleh Kurdi bahkan lebih besar.

Di kamp, pelarian diperkirakan terjadi hampir setiap hari. Dan setiap radikalisasi yang mungkin menjadi masalah ketika ISIS akhirnya jatuh setahun yang lalu, bisa menjadi lebih dalam sekarang ini. [ABCNews]

Exit mobile version