Depth

Islam Telah Masuk Indonesia Sejak Abad Ketujuh Masehi

Kuatnya bukti sejarah keislamanan Barus terlihat dari keberadaan makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, pada abad ke-7. Di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin, wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriyah, menguatkan adanya komunitas Muslim pada masa itu. Jadi, kemungkinan besar Islam datang langsung dari Tanah Arab.

JERNIH—Barangkali, benar saja bila dikatakan bahwa kerajaan Islam yang pertama kali berdiri di Nusantara adalah Samudera Pasai, yang terletak di kota Lhokseumawe, Aceh, saat ini. Kerajaan  yang didirikan Nazimuddin al-Kamil, seorang laksamana dari Mesir itu kemudian mengangkat Marah Silu sebagai pemimpin pertama, dengan gelar Sultan Malik Al-Saleh.

Tetapi sejatinya, pada abad-7 Masehi pun agama Islam telah ada di Barus, kota tua yang terletak di pesisir Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Barus menjadi pintu masuk Islam di Indonesia, jauh lebih tua dari sejarah Wali Songo, penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-14. Bukti-bukti keislaman Barus inilah yang membuat sebagian sejarawan skeptis terhadap pendapat yang kemudian dipopularkan bahwa Islam datang pertama kali ke Nusantara lewat para pedagang Parsi dan Gujarat (India).   

Kuatnya bukti sejarah keislamanan Barus terlihat dari keberadaan makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus, pada abad ke-7. Di batu nisannya tertulis Syekh Rukunuddin, wafat tahun 672 Masehi atau 48 Hijriyah, menguatkan adanya komunitas Muslim pada masa itu. Jadi, kemungkinan besar Islam datang langsung dari Tanah Arab.

Barus berjarak 290 kilometer dari Kota Medan. Jika ditempuh melalui jalur darat memakan waktu sekitar tujuh jam perjalanan. Dari Kota Sibolga, butuh waktu perjalanan darat sekitar dua jam. Barus merupakan tempat bersejarah dan saat ini menjadi salah satu tujuan wisata religi di Sumatera Utara.

Padahal, Barus banyak menyimpan benda-benda kuno bersejarah seperti perhiasan, mata uang dari emas dan perak, prasasti dan fragmen arca. Selain itu, terdapat makam para auliya dan ulama penebar Islam di Indonesia abad ke-7. Di antaranya Makam Papan Tinggi, Makam Mahligai, Makam Syekh Mahdun, Makam Syekh Ibrahim Syah, Makam Tuan Ambar, Makam Tuan Syekh Badan Batu.

Posisi Barus yang terletak di pinggir Pantai Barat Pulau Sumatera dan berhadapan langsung dengan lautan lepas Samudra Hindia membuatnya dikenal oleh dunia pada abad ke-7. Apalagi berkat hasil hutannya, yakni kamper, kemenyan dan emas, Barus menjadi kota yang kerap dikunjungi banyak saudagar-saudagar di seluruh dunia.

Nama Barus juga muncul dalam sejarah peradaban Melayu lewat Hamzah Fansyuri, penyair sufi terkenal yang lama bermukim di Kerajaan Aceh. Barus juga dikenal dengan nama Pancur, kemudian diubah ke dalam bahasa Arab menjadi Fansur.

Dalam “Barus Seribu Tahun yang Lalu”, yang ditulis arkeolog Prancis, Claude Guillot, disebutkan, Barus termasuk dalam golongan kota-kota kuno yang terkenal di seluruh Asia sejak abad ke-6 Masehi.

Pada bab terakhir buku itu disebutkan, ada sebuah tempat di perbukitan Barus yang oleh masyarakat setempat diberi perhatian khusus. Makam terpencil yang ditandai dengan dua batu nisan vertikal ini dipercaya sebagai makam seorang wali.

Yang dimaksud adalah makam “Papan Tinggi” yang memang berada di atas bukit setinggi 215 meter di atas permukaan laut. Untuk menuju makam itu harus melewati 730 anak tangga. Konon di makam ini, ada sebuah guci yang airnya terus ada meskipun musim kemarau. Namun belakangan guci itu pecah karena tidak terawat.

Dari sisi bahasa, hampir di setiap batu nisan utama bertuliskan bahasa Arab. Hal ini sangat jarang ditemukan, bukan hanya di Barus tetapi di seluruh Nusantara pada umumnya.

Lebih detil, Claude Guillot juga menguraikan Barus dalam dalam buku “Lobu Tua: Sejarah Awal Barus”. Buku itu merupakan usaha memecahkan rahasia sejarah Barus sudah dilakukan sejak hampir satu setengah abad lalu, khususnya dalam bidang epigrafi dan pembahasan sumber-sumber tertulis. Namun, penelitian yang mendalam di lapangan baru mulai dilakukan pada akhir tahun 1980-an atas usaha Pusat Penelitian Akeologi Nasional .

Kemudian pada tahun 1995, berkat persetujuan Prof Dr Hasan M. Ambary (ketika itu menjabat sebagai kepala lembaga PPAN), bersama Ecole Francaise d’Ectreme-Orient diluncurkan sebuah program penelitian arkeologi di Barus, khususnya di Lobu Tua, tempat ditemukannya banyak benda-benda kuno. Dalam karya geografis Ptolemaeus tercatat lima pulau yang dinamakan “Barousai”, nama yang dikaitkan dengan Barus oleh para ahli sejarah.

Yang menarik, pada tahun 1995 di Desa Lobu Tua, daerah sekitar Barus, muncul sebuah spanduk bertuliskan “Dirgahayu ke-50 negaraku dan Dirgahayu ke-5000 desaku”. Saat itu, kepala desa Lobu Tua menjelaskan bahwa ulang tahun desa ini didasari perkiraan seorang ahli sejarah dari daerah tersebut.

Sejak abad ke-6 Masehi, kamper sudah dikenal di berbagai kawasan mulai dari negeri Cina hingga ke kawasan Laut Tengah. Nama Barus sudah lama muncul apabila diterima pendapat bahwa “Barousai” adalah Barus. Kemudian nama ini tercatat dalah sejarah Dinasti Liang, Raja Cina Selatan yang memerintah pada abad ke-6. Setelah itu Barus selalu disebut-sebut sampai sekarang dan kerap dihubungkan dengan kamper.

Pada abad ke-7, Barus kian tersohor hingga ke Eropa dan Timur Tengah karena menghasilkan kapur barus dan rempah-rempah. Masuknya Islam ke Nusantara diyakini melalui jalur perdagangan Barus ini. Jalur perdagangan ini dikenal sebagai jalur rempah karena para pedagang memiliki misi mencari rempah-rempah.

Claude Guillot memaparkan bukti-bukti bahwa sejak abad ke-6 Masehi Barus sudah menjadi kawasan perdagangan yang ramai. Pada akhir abad ke 7 yang juga merupakan abad pertama Hijriah, pedagang-pedagang Arab mulai menjejakkan kakinya di pelabuhan Barus.

Peninggalan Barus

Seorang pemerhati Barus yang lahir dan besar di kaki bukit Papan Tinggi, Putra Barus, dalam satu blognya “Negeri Barus” mengatakan sejak kecil sudah tertarik mendengar cerita tentang Barus yang diceritakan secara turun-temurun oleh orang tua. Menurutnya, peranan Barus sebenarnya begitu penting bagi Nusantara.

Barus adalah salah satu tempat yang sangat berperan dalam awal peradaban masuknya budaya Batak, lahirnya agama Batak Parmalim, masuknya agama Kristen, masuknya Agama Islam hingga perbauran budaya Melayu. Akan tetapi mengenai hal itu tidak banyak yang tahu karena Barus kini hanya sebuah wilayah yang tertinggal dan terpencil di pesisir Tapanuli Tengah.

Kalau melihat beberapa peninggalan dan keberadaan Makam Papan Tinggi, di lokasi ini terdapat makam terpanjang dan mempunyai batu nisan yang besar dan tinggi. Konon panjang makam itu diperkirakan sekitar tujuh meter lebih.

Di batu nisan yang terbuat dari batu cadas tertulis nama Syekh Mahmud Fil Hadratul Maut (Yaman) yang ditahrikhkan pada 34 Hijriyah sampai 44 Hijriyah yang pada masa itu adalah kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khattab. Selain makam panjang, di dalam lokasi Makam Papan Tinggi itu juga terdapat lima makam lain yang menurut cerita adalah makam keturunannya.

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, banyak utusan khalifah dan saudagar Arab,  terutama dari Yaman, melakukan ekspansi ke Asia. Kala itu Barus menjadi tempat singgah karena daerahnya berhadapan langsung dengan samudera lepas. Para saudagar dari Arab, Yordan, Yaman, Persia dan Hindia juga banyak melakukan pelayaran ke daerah ini untuk kepentingan bisnis rempah-rempah dan pembelian kapur barus.

Sedangkan para ulama yang merupakan utusan Khalifah menginjakkan kaki ke Barus untuk menebarkan agama. Tak heran jika di kawasan Barus terdapat banyak makam ulama. Salah satunya adalah Makam Papan Tinggi.

Selain Makam Papan Tinggi, di Barus juga terdapat lebih dari 200 makam yang terletak di atas perbukitan Desa Dakka, Kecamatan Barus. Makam ini disebut Makam Mahligai dengan batu nisan yang besar dan kecil. Di lokasi itu, terdapat salah satu makam Tuan Syekh Rukunuddin, wafat tahun 672 Masehi atau tahun 48 Hijiriyah. Syekh Rukunuddin wafat, konon, dalam usia 102 tahun. [ ]

Back to top button