Klitah-klitih yang dimaknai sebagai berjalan bolak-balik, atau mondar-mandir, agak membingungkan. Sama sekali tak ada unsur negatif di dalam kata itu.
JERNIH- Klitih, sedang menjadi topik pembicaraan hangat para warga dunia maya, hingga membuat wajah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta beserta jajaran Kepolisian setempat, coreng-moreng akibat aksi kekerasan remaja tersebut.
Bagaimana tidak, predikat sebagai Kota Pelajar dengan kekayaan budayanya, digeser begitu saja oleh klitih. Tentu, ini menjadi PR besar bagi pemerintah dan Kepolisian di sana, termasuk seluruh lapisan warganya.
Sebenarnya, Klitih bukan barang baru. Dia sudah ada sejak tahun 1990-an dan sama seperti saat ini, membuat resah masyarakat baik setempat atau yang hendak melancong ke sana.
Dari arsip Harian Kompas pada 7 Juli 1993, Kepolisian setempat sudah memetakan keberadaan geng remaja di Yogyakarta. Polisi mengklaim, sudah mengantongi informasi terkait kelompok-kelompok tersebut.
Entah bagaimana selanjutnya penanganan klitih saat itu. Yang jelas, pemberitaannya mereda seiring waktu berjalan. Kemudian, pada awal tahun 2000-an, fenomena tawuran yang menjangkiti kota-kota besar macam Jakarta, juga mewabah di Yogyakarta sampai walikota setempat saat itu, Herry Zudianto mencak-mencak.
Dia mengancam, siapa pun yang terlibat tawuran bakal dipulangkan ke orang tua, bahkan dipecat dari status sebagai pelajar. Sebagian kalangan menilai himbauan itu berhasil mengurangi kekerasan oleh remaja berstatus pelajar. Alhasil, geng-geng pelajar lain yang masih berhasrat mencari keributan, kesulitan mencari musuh. Dari sinilah klitih mulai eksis.
Dalam kamus Bahasa Jawa SA Mangunsuwito, kata klitih tak berdiri sendiri. Dia merupakan kata ulang yakni, klitah-klitih yang dimaknai sebagai berjalan bolak-balik agak kebingungan. Atau dalam bahasa populernya, mondar-mandir. Sama sekali tak ada unsur negatif di dalam kata itu.
Sementara Pranowo, pakar bahasa Jawa sekaligus guru besar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, mengartikan kata klitah-klitih serupa dengan keluyuran tanpa arah yang jelas.
Waktu berjalan, zaman berubah, perilaku pun ikut-ikutan berubah. Klitah-klitih kemudian dipenggal menjadi klitih saja lantaran dipinjam guna menunjuk ke aksi keliling kota secara acak, dengan tujuan mencari musuh dari kalangan apa saja.
Para remaja dengan semangat darah mudanya, menuju ke arah negatif. Geng-geng terbentuk dan rutin klitah-klitih . Di tengah jalan, mereka melakukan aksi kejahatan terhadap siapa saja yang kebetulan sedang bernasib sial.
Bisa dibilang, aksi kejahatan tersebut dilakukan tanpa motif jelas. Mereka tak mengincar harta benda korban. Tujuannya hanya sebagai bentuk eksistensi di jalanan hingga mendapatkan nama besar sebagai jagoan bernyali besar.
Ahmad Fuadi dalam Faktor-faktor Determinasi Perilaku Klitih (2019), menyebutkan, ada beberapa faktor yang memicu klitih. Di antaranya, latar belakang keluarga yang broken home, hubungan dengan kelompok juga lingkungannya, serta karakter individu.
Salah satu narasumber yang diwawancarai dalam penelitian tersebut mengatakan, semenjak kepergian ayahnya, dia hanya tinggal bertiga dengan ibunya. Kemudian, menjauhi keluarga dan dekat dengan orang lain.
Makanya, dia lebih sering berada di luar rumah bersama teman-temannya ketimbang menghabiskan waktu bersama keluarga.
Namanya remaja, tentu darah muda masih berkobar-kobar. Seperti kata Rhoma Irama : “Darah muda darahnya para remaja. Yang selalu merasa bangga tak mau mengalah. Masa muda, masa yang berapi-api. Yang maunya menang sendiri walau salah tak peduli.”
Mereka berkelompok, sebagian di antaranya pernah mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Di sisi lain, sudah barang tentu membutuhkan pengakuan dari teman sebayanya, meskipun dari hal-hal negatif.
Pengakuan semakin mungkin didapat, dan nama besar bakal berkibar di dalam kelompoknya ketika subjek berhasil melukai orang lain di jalanan. Belum lagi, menurut Ahmad Fuadi, lingkungan justru melakukan pembiaran ketika remaja bebas melakukan apa saja.
Ada banyak subjek penelitian yang ditemui Ahmad Fuadi dan kawan-kawan, sulit mengendalikan emosi, mudah tersinggung ketika diganggu orang lain dan cenderung agresif. Makanya, klitih menjadi sarana pelampiasan amarah lantaran memang ada masalah di rumah, ditambah balas dendam sebab sudah diganggu orang lain.
Potensi Wisata di Masa Klitih
Pandemi yang tak juga usai, sudah barang tentu mempengaruhi pendapatan Yogyakarta sebagai salah satu tujuan wisata di Indonesia. Selama 16 bulan sejak Corona pertama kali menghantam hingga agustus 2020 saja, kerugian di sektor wisata diperkirakan mencapai Rp 10 triliyun.
Angka itu, merupakan perhitungan omset bisnis anggota Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Daerah Istimewa Yogyakarta. Jika sektor lain dilibatkan seperti UMKM hingga transportasi dilibatkan, perkiraan bisa mencapai RP 25 triliyun.
Memang, belum ada data yang menunjukkan berapa banyak kerugian sektor wisata di Yogyakarta akibat klitih. Tapi sebagai salah satu primadona tujuan jalan-jalan, sangat memungkinkan kalau aksi kejahatan jalan tersebut membawa imbas kerugian ekonomi.
“Misal ada orang ingin jalan-jalan di Jogja, tapi saat muncul berita klitih, bisa saja membatalkan,” kata Kabidhumas Polda DIY Kombes Pol Yulianto.
Dampak dari maraknya klitih juga bisa mempengaruhi institusi pendidikan. Yulianto bilang, orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di Yogyakarta, bisa saja mengurungkan niatnya. Akibatnya, tak hanya satu atau dua aspek saja yang terimbas. Dan tentu membuat situasi DIY tidak kondusif.
Penanganan
Aksi kejahatan jalanan dengan remaja sebagai pelaku utamanya, bukan cuma di Yogyakarta saja. Kalau di sana dikenal dengan sebutan klitih, di Jakarta dikenal sebagai geng motor atau begal.
Bedanya, klitih tanpa motif ekonomi, Begal justru menjadi ladang mencari uang termasuk juga eksistensi sebagai jagoan. Setelah uang didapat, ya digunakan untuk foya-foya.
Wakapolda DIY Brigjen Pol R Slamet Santoso, mengakui kalau klitih tak bisa hanya diselesaikan dengan penegakkan hukum. Sepanjang 2021 saja, berdasar catatannya, ada 58 kasus dengan jumlah pelaku sebanyak 102 orang. Sebanyak 80 orang di antaranya, berstatus pelajar dan sisanya pengangguran.
Terkait fenomena yang menjangkiri Yogyakarta tersebut, Polisi sudah melakukan analisa dan evaluasi yang kesimpulannya adalah diperlukan upaya pencegahan selain tindakan hukum.
Pencegahan tersebut, bisa berupa pembinaan dan penyuluhan ke desa-desa yang teridentifikasi sebagai tempat tinggal para pelaku. Makanya, kunci penanganan klitih sebenarnya ada di tangan para orang tua yang berperan sebagai penekan munculnya kasus kejahatan jalanan seperti ini.
Para pelaku klitih mayoritas menggunakan sepeda motor. yang jadi pertanyaan adalah, dari mana sepeda motor itu didapat?
Slamet bilang, inilah salah satu pintu masuk lahirnya klitih lantaran tak sedikit orang tua yang memfasilitasi putra-putrinya yang belum cukup umur dengan membelikan sepeda motor.
“Belum cukup umur tapi dibelikan sepeda motor, itu bahaya,” kata Slamet.
Selanjutnya, Dinas Pendidikan dan Dinas Sosial di Kabupaten/ kota juga perlu berperan aktif memberi penyuluhan kepada para siswa dan harus berkelanjutan. Mengingat, para pelajar yang masuk ke DIY berasal dari berbagai daerah.
Sementara Polisi sendiri, bakal menggelar patroli berskala besar mulai dari level Polda hingga Polsek guna memastikan jalanan aman dari klitih. Dan, berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum serta Dinas Komunikasi dan Informatika, memastikan seluruh ruas jalan mendapat lampu penerangan juga CCTV.
Saat Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X masih kecil, ada lembaga khusus bernama Prayuwana yang menangani anak nakal. Terutama, jika orang tuanya sudah kewalahan.
Prayuwana, terletak di Alun-alun Kidul dan Tlogo Putri Kaliurang. Jika orang tua dari si anak tak mampu lagi mendidik, diserahkan pada provinsi untuk kemudian dibina dan dididik.
“Saya tidak tahu apakah kondisi sekarang masih (bisa diberlakukan atau tidak),” kata Sri Sultan seperti diberitakan BacaJogja.
Seirama denga Wakapolda DIY, GKR Hemas, Ratu Kraton Yogyakarta mengusulkan agar para pelaku klitih diberikan tempat pendidikan yang lebih. Pendidikan tersebut, untuk mengembalikan jati diri secara bertahap.
Ini juga untuk memberi pemahaman kepada para orang tua bahwa tanggung jawab terhadap klitih bukan hanya berada di pundak Pemerintah Daerah, tapi persoalan ini menjadi kewajiban besama antara Polisi, KPAI, LPA dan para orang tua.
Lalu, setelah persoalan berhasil dipetakan dan formula penyelesaian, kira-kira kapan Yogyakarta dan daerah-daerah lainnya di tanah air terbebas dari Klitih ?[Dari berbagai sumber]