Konon, suatu pagi warga sudah mendapati masjid mereka berpindah ke area yang dipaksakan Belanda untuk mereka tempati, lengkap dengan segala pernak-pernik di dalamnya.
JERNIH—Barangkali belum tentu valid jika kita menyebutnya masjid tertua yang pernah dibangun di Tanah Nusantara. Tetapi Masjid Wapauwe tak pelak merupakan masjid tertua di seluruh Indonesia yang hingga hari ini masih kokoh menyangka rukuk dan sujud orang-orang yang mendirikan shalat di dalamnya.
Masjid yang dibangun di lereng Gunung Wawane, Maluku Utara, itu dibangun pada 1414 Masehi. Masjid itu kokoh berdiri pada wilayah dengan banyak peninggalan purbakala. Hanya 150 meter ke utara masjid, pernah berdiri gereja tua peninggalan Portugis dan Belanda, namun hancur karena konflik agama yang meletus di Ambon pada 1999 lalu. Bertetangga dengan lokasi gereja itu kokoh berdiri Benteng New Amsterdam, peninggalan Belanda yang dibangun Portugis sebagai loji.
Awalnya, karena dibangun Pernada Jamilu– keturunan Kesultanan Islam Jailolo dari Moloku Kie Raha (Maluku Utara)–di Lereng Gunung Wawane, masjid ini bernama Masjid Wawane. Perdana Jamilu datang ke tanah Hitu sekitar 1400 Masehi untuk menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk lima ‘negeri’—perkampungan besar–di sekitar Gunung Wawane, yakni Assen, Wawane, Atetu, Tehala dan Nukuhaly.
Sejatinya, Perdana Jamilu tidak mendirikan masjid itu di tempatnya berdiri saat ini. Saat para kolonialis Belanda datang ke Tanah Hitu pada 1580—menyusul Portugis yang telah singgah pada 1512—mereka dianggap banyak mendatangkan gangguan kepada penduduk. Masjid pun pindah pada 1614, ke Kampung Tehala yang jaraknya sekitar enam km sebelah timur perkampungan Wawane.
Ada kesengajaan saat penulis menuliskan “masjid pun pindah” bukan “dipindahkan”. Konon berpindahnya masjid terjadi secara gaib, tanpa melibatkan warga setempat. Konon, ketika masyarakat Tehala, Atetu dan Nukuhaly itu turun dari gunung sebagaimana paksaan Belanda, Masjid Wapauwe masih berada di dataran Tehala. Namun pada suatu pagi, ketika masyarakat terbangun dari tidur mereka, masjid itu sudah berada di tengah-tengah pemukiman penduduk di tanah baru yang mereka huni, dengan segala pernak-pernik lengkap, tanpa ada yang kurang.
“Menurut kepercayaan kami, masyarakat Kaitetu, masjid ini berpindah secara gaib,” kata seorang warga Kaitetu, Ain Nukuhaly.
Di tanah sekitar masjid kini berdiri, sejak dulu banyak tumbuh pohon mangga hutan atau mangga berabu, yang dalam bahasa Kaitetu disebut Wapa. Fakta tersebut membuat masjid itu kemudian berganti nama menjadi Masjid Wapauwe, atau masjid yang didirikan di bawah pohon Wapa alias Mangga Berabu. Yang mengherankan, konon, di masa lalu ketika masjid dinaungi keteduhan pohon mangga hutan, justru tak pernah ada selembar pun daun Wapa jatuh ke atap masjid.
Akhirnya, dengan segala akal bulus dan siasat licik, pada 1646 Belanda menguasai seluruh Tanah Hitu. Segera mereka memaksa penduduk dari daerah-daerah pegunungan untuk turun, hidup di dataran yang lebih rendah.
Tahun itu pula Belanda menetapkan berdirinya Negeri Kaitetu sebagai kawasan reservasi penduduk gunung yang dipaksan turun tersebut.
Mushaf tua
Di masjid tersebut hingga kini tersimpan mushaf Alquran yang konon termasuk tertua di Indonesia. Ada mushaf Imam Muhammad Arikulapessy yang selesai ditulis tangan tahun 1550, dibuat tanpa iluminasi hiasan pinggiran halaman. Mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis 1590, tanpa hiasan pinggir dan ditulis tangan pada kertas buatan Eropa.
Kedua penulis mushaf tersebut adalah imam-imam Masjid Wapauwe. Imam Muhammad Arikulapessy adalah imam pertama, sementara Imam Nur Cahya adalah cucunya. Selain Alquran, karya Imam Nur Cahya lainnya adalah tulisan tangan yang memuat seluruh isi “Kitab Barzanzi” sebagaimana ditulis Imam Ja’far bin Hassan Al-Barzanji, penulis kitab termasyhur berisikan puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW tersebut. Ada pula naskah kumpulan khotbah seperti Naskah Khutbah Jumat Pertama Ramadhan 1661 M, Kalender Islam tahun 1400 M, sebuah falaqiah serta berbagai manuskrip Islam lain yang umurnya sudah ratusan tahun.
Semua peninggalan itu merupakan pusaka Marga Hatuwe yang masih tersimpan dengan baik di Rumah Pusaka Hatuwe, yang dirawat Abdul Rachim Hatuwe, keturunan ke-12 Imam Muhammad Arikulapessy.
Pada 1997, agar kembali ke bentuk semula, atap masjid yang pernah diganti dengan seng kembali diganti dengan atap nipah. Atap nipah itu diganti setiap lima tahun. Meski pernah direnovasi berkali-kali, masjid tersebut tetap dalam bentuk aslinya, karena tidak mengubah bentuk inti masjid.
Pada Maret 2008 lalu, masjid tersebut kembai direnovasi kembali. Struktur atap nipah mengalami penggantian. [ ]