JAKARTA—”Ci Vis Pacem, para bellum,” kata pemilik Hotel Continental sekaligus pengelola dunia bawah, Winston, dalam ‘John Wick: Chapter 3’. “Siapa yang ingin damai, bersiaplah berperang.”
Ia mengutip kalimat tua yang ditulis Flavius Vegetius Renatus dalam buku purba tentang strategi militer, ’Epitoma Rei Militaris’. Artinya, sejak lama orang sadar, orang harus punya daya agar tatanan perdamaian tidak dilanggar si Angkara.
Jadi wajar bila karena kehendak untuk tetap terpeliharanya perdamaian itu, setiap negara di dunia berlomba-lomba terlihat kuat dan siap bertempur. Tak kecuali Indonesia, tentu. Itulah yang membuat pengeluaran militer global meningkat ke rekor 1,8 triliun dolar AS pada 2018. Itu merupakan angka tertinggi sejak Perang Dingin.
Angka tersebut sekitar 75 persen lebih tinggi daripada tingkat terendah pasca-Perang Dingin tahun 1998. Peningkatan itu juga disumbang dua negara dengan belanja militer terbesar di dunia, yakni Amerika Serikat (41 persen) dan Cina (14 persen. Terakhir kali pengeluaran militer tercatat sebesar saat ini terjadi saat puncak Perang Dingin di era Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, akhir 1980-an.
Meningkatnya belanja militer itu berarti semakin banyak tentara yang dilengkapi perlengkapan lebih baik, lebih banyak kapal perang yang mondar-mandir di samudera, serta akan lebih banyak lagi jet tempur yang siap melemparkan bom pembunuh ke sekumpulan manusia di bawahnya.
Belanja perang dunia pernah anjlok manakala Uni Sovyet runtuh pada 1991. Selain pengeluaran militer kontan anjlok, konflik militer berskala besar pun seolah menghilang, sementara di lain pihak perekonomian dunia meroket naik. Pada 1998, pengeluaran militer global mencapai titik terendah sejak Perang Dingin.
Angka-angka belanja militer itu sendiri bersumber dari Stockholm International Peace Research Institute, sebuah lembaga think tank di Swedia yang telah mempublikasikan angka belanja global sejak tahun 1960-an.
CNBC pada Selasa (27/8) lalu menulis bahwa peningkatan belanja militer dari dua negara dengan belanja militer terbesar di dunia, Amerika Serikat (41 persen) dan Cina (14 persen), telah memainkan peran utama dalam mendorong pengeluaran militer tahun 2018 ke rerkor terbaru tersebut. Selama lebih dari dua dekade, investasi Cina di bidang militer telah meroketkan belanja militer global. Negara-negara di seluruh wilayah Asia-Pasifik juga ikut meningkatkan pengeluaran militer mereka, sejalan sikap Cina yang dianggap lebih ‘loba gaya’ seiring meningkatnya kemampuan militer mereka.
Hal lain yang membuat pengeluaran militer membengkak adalah kampanye War on Terror pasca-Serangan 11 September 2001. Saat itu AS dan sekutu-sekutunya seolah berlomba mengerahkan pasukan mereka ke Afghanistan dan Irak. Alhasil jumlah pengeluaran perang membengkak dan para industrialis perang pun bersorak. Mereka tak ubahnya burung pemakan bangkai yang kenyang karena semaraknya kematian. Hingga kemudian datang kelelahan dan bosan, di akhir masa jabatan pertama Presiden Barack Obama. Dengan ditariknya pasukan, pengeluaran militer pun kembali turun.
Hingga megaloman lain bernama Trump naik ke kekuasaan. Pada 2018, Amerika Serikat mulai kembali meningkatkan pengeluaran militer mereka. Beralih dari isu terorisme yang mulai membosankan, kepada isu kebangkitan Cina dan menguatnya kembali Beruang Merah Rusia.
Sebenarnya pengeluaran militer Rusia sendiri tidak ikut meningkat di 2018. Negara itu telah menyelesaikan modernisasi militer mereka yang mahal pada 2016. Semua yang mahal-mahal, seperti aneksasi Krimea oleh Presiden Rusia Vladimir Putin, destabilisasi Ukraina dan konon campur tangan pemilu AS, tak hanya merogoh dalam-dalam kocek Rusia. Hal itu juga telah ikut mendorong pengeluaran di negara-negara bekas Soviet seperti Polandia, Latvia, Lithuania, dan Rumania. [dsy ]