Site icon Jernih.co

Tanam Butun di Desa Bunton, Cara Doni Tangkal Tsunami

Tsunami yang terjadi tahun 2006, datang dari arah barat, menyusul pusat gempa yang berada di dekat Pangandaran. Karena itu, Cilacap terlatif terlindungi karena ada barrier Nusakambangan. Jika tidak ada Pulau Nusakambangan, dipastikan jumlah korban akan jauh lebih besar.

JERNIH– Debur ombak laut menghantam dinding pasir Pantai Cemara Sewu, di pesisir selatan Kabupaten Cilacap. Dekat dari bibir pantai, terdapat rerimbunan cemara udang, menawarkan sejuknya semilir angin laut di saat terik menyengat.

Tak jauh dari hutan cemara, terdapat tanggul beton. Hantaman ombak yang mengenai tanggul, mendatangkan efek suara dan semburan air yang dahsyat. Sedangkan, di sisi kiri dan kanan tanggul, batas pantai menjorok ke darat terkikis abrasi.

Kontur Pantai Cemara Sewu yang berada di Desa Bunton, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap ini memang janggal. Pegunungan pasir yang rimbun oleh pohon cemara di sisi lain, dan cekungan pasir di sisi yang lain lagi. Bahkan di tanah yang rendah, lebih rendah dari permukaan air laut.

Usut-punya-usut, lokasi itu adalah bekas penambangan pasir besi yang tidak direklamasi. Penggali membiarkan begitu saja, termasuk tidak peduli ketika abrasi Samudera Hindia menggerogoti daratan. Yang ditinggalkan penambangan pasir besi adalah jejak pemerkosaan lingkungan.

Jika ada yang gusar dengan keadaan itu, dialah Kepala BNPB, Letjen TNI Dr (HC) Doni Monardo. Dan hari Rabu (28/4/2021) pagi, Doni dan rombongan mengunjungi Cemara Sewu untuk melakukan aksi mitigasi vegetasi melalui aksi penanaman pohon. Ada tiga jenis pohon yang dicanangkan sebagai tanaman vegetasi di Pantai Cemara Sewu: Butun, Palaka, dan Pule.

Total bibit pohon tercatat lebih dari 5.000 batang. Seperti dalam kegiatan penanaman pohon di tempat-tempat lain sebelumnya, Doni selalu menekankan, pentingnya perawatan pasca tanam.

“Bukan berapa jumlah pohon ditanam, tetapi berapa jumlah pohon yang berhasil hidup. Karena itu, saya minta Pak Bupati mengkoordinasikan jajarannya memastikan pohon-pohon yang kita tanam hari ini, akan hidup,” ujar Doni kepada Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji, yang turut serta dalam kegiatan pagi itu. Bupati Tatto menyahut, “Siap, Jenderal.”

“Tiga jenis pohon yang saya bawa hari ini adalah pohon-pohon istimewa,” tambah Doni. Pohon pule, adalah salah satu jenis pohon yang sangat bagus untuk vegetasi. Sedangkan, pohon palaka, merupakan pohon endemik Maluku yang terbilang langka.

“Bibit palaka itu saya datangkan dari Pulau Seram, Maluku, melalui perjalanan panjang, melewati jalan darat, menyeberang selat, lalu pindah ke kapal untuk dibawa ke Jakarta. Hari ini, bibit palaka sudah ada di Cilacap. Tolong nanti sampaikan ke Pak Gubernur (Ganjar Pranowo), bahwa saya sudah memenuhi janji saya hari ini,” tambah mantan Danjen Kopassus itu.

Butun Ujung Kulon

Akan halnya pohon Butun atau pohon Ketapang Laut. “Untuk jenis pohon yang satu ini, saya mendatangkan seorang pejuang lingkungan kelahiran Timor Timur, yang sudah 22 tahun bermukim di Ujungkulon, Provinsi Banten. Saudara Ramli Idris, saya persilakan,” kata Doni mempersilakan Ramli bicara.

Lelaki dengan tinggi 175 cm berkulit legam itu pun berdiri. Usai melempar salam, ia mengajak hadirin menyahut pekik konservasi. “Kalau saya serukan Salam Konservasi, mohon hadirin menyambut dengan pekikan ‘Lestari Desaku’,” ujar Ramli, disusul pekikan salam konservasi dengan kepalan tinggi ke langit. Hadirin pun menyambut antusias.

“Kebetulan saya guru. Maka saya membuka sekolah alam. Murid-murid selama pandemi, bersama-sama melakukan aktivitas pembibitan pohon butun. Butun mungkin ada di daerah lain, tapi butun Ujungkulon kualitasnya super. Saya diperintah Jenderal (Doni Monardo) membawa bibit butun ke Cilacap. Maka saya bawa dua-ribu lebih bibit butun. Kalau ada yang mati, bilang saja nanti saya ganti. Target kami, tahun ini bisa menyediakan 50.000 bibit pohon butun,”ujar Ramli, disusul tepuk tangan hadirin.

Lelaki kelahiran Los Palos, Timor Leste, 14 Mei 1971 itu mengukuhkan kecintaan dan kepeduliannya pada alam dan lingkungan dengan membentuk KAIPKA (Komunitas Aktivis Insan Peduli Konservasi Alam) pada tahun 2001. Dengan basis lingkungan pula ia menggalang aktivitas Sekolah Berwawasan Pendidikan Konservasi, Sekolah Siaga Bencana (SSB), dan Sekolah Ramah Anak.

Dari pengalamannya menggeluti aktivitas lingkungan itu pula, Ramli menggarisbawahi pesan Doni Monardo kepada Bupati Cilacap, terkait perawatan bibit pohon usai ditanam. “Kalau boleh usul, Danramil ditunjuk sebagai penanggungjawab program vegetasi ini. Siapa pun Danramil-nya,” ujar Ramli, disambut tepuk tangan tanda setuju dari hadirin.

Menurut Ramli, perlu waktu tiga tahun untuk merawat pohon butun. “Jika nanti sudah umur tujuh tahun, pohon butun sudah berbuah. Dan itu artinya, bisa menjamin kelangsungan pembibitan butun di sini. Jadi untuk vegetasi di daerah-daerah lain di pesisir Cilacap, tidak perlu lagi didatangkan dari Ujungkulon, tapi cukup dari pantai Cemara Sewu ini,”kata Ramli yang bernama asli Ildefonso itu.

Tsunami dan Sumarni

Dalam kesempatan itu, Doni Monardo juga meminta satu orang saksi hidup perisiwa tsunami yang melanda Cilacap tahun 2006. Seperti diketahui, pada 17 Juli 2006, terjadi tsunami di pesisir pantai selatan Jawa bagian tengah pasca Gempa 7,7 SR di Pengandaran. Tsunami sepanjang 200 km garis pantai itu menewaskan lebih dari 600 orang, termasuk di Cilacap. Ketinggian ombak berkisar antara tiga meter hingga 18 meter.

Alhasil, bersaksilah Sudin, saksi mata yang kebetulan saat ini menjabat Kepala Desa Bunton, tempat acara penanaman pohon berlangsung. “Saya adalah saksi mata. Betapa ketika peristiwa itu terjadi, orang-orang panik bukan kepalang. Tidak ada yang meneriakkan kata tsunami. Maklumlah, orang-orang kampung sini tidak ada yang tahu tsunami, tahunya Sumarni…,” ujar Sudin, disusul gerr hadirin.

Yang terjadi ketika itu, anak-anak yang sedang bermain di pantai, berlarian ke arah kampung sambil meneriakkan kalimat, “Banyune ngalor… banyune ngalor…., yang artinya airnya (mengarah) ke utara. Makna lain, air laut akan menerjang kampung. Kejadian itu sore sekitar jam empat, saya sedang di rumah. Saya pun melihat ke arah laut, gelombang tinggi datang begitu cepat menabrak apa saja yang ada di depannya,” kata Sudin.

Ia mengaku, sebelum ada anak-anak berteriak-teriak “banyune ngalor”, Sudin dan kebanyakan warga lain tenang-tenang saja di rumah. “Tapi saya memang sempat mendengar seperti bunyi ledakan sebelum tsunami datang. Ternyata di kemudian hari saya tahu, rupanya itu bunyi dump truck milik penambang pasir besi yang dihantam tsunami,” kisahnya.

Sudin bahkan masih sempat menyaksikan seorang korban yang terjebak di dalam kabin dump truck terguling-guling dibawa gelombang. Sopir itu diketahui meninggal seketika. “Total korban di desa kami 12 orang, dan kebanyakan para pekerja tambang pasir,” tambahnya.

Selain korban jiwa, Sudin juga menyebutkan banyaknya ternak, utamanya sapi terdampak. Ia menggambarkan, banyak sapi melayang-layang di atas tsunami. “Sapi-sapi umumnya dalam keadaan terikat lehernya ke patok kayu. Nah, saking kuatnya patok, sapi tidak tercerabut dari patoknya, jadinya mengambang diterjang air laut,” tutur Sudin seraya menambahkan, “Sejak itu saya percaya, tsunami itu benar-benar ada.”

Barrier Nusakambangan

Sebelum menutup sambutan, Doni sempat meminta Dr Abdul Muhari, Plt Direktur Pemetaan dan Risiko Bencana BNPB untuk memberi gambaran mengenai tsunami, khususnya yang terjadi tahun 2006 di Cilacap. Tujuannya tidak untuk menakut-nakuti masyarakat, tetapi justru untuk menjaga kewaspadaan, bahwa gempa bumi dan tsunami pasti bakal terjadi (lagi). Hanya saja, belum ada teknologi yang bisa memberi tahu secara persis kapan waktu kejadiannya. Karenanya, pencegahan, pencegahan, dan pencegahan menjadi hal mutlak guna mengurangi risko bencana.

Abdul Muhari mengisahkan, saat tsunami terjadi sedang berada di Jepang. Ia pun diminta pemerintah segera pulang dan melakukan penelitian di wilayah terdampak. “Kami survei mulai dari Pangandaran, Cilacap, termasuk Nusakambangan dan pantai Cemara Sewu tempat kita beracara hari ini, hingga ke Kebumen,” ujarnya.

Tsunami yang terjadi tahun 2006, datang dari arah barat, menyusul pusat gempa yang berada di dekat Pangandaran. Karena itu, Cilacap terlatif terlindungi karena ada barrier Nusakambangan. Jika tidak ada Pulau Nusakambangan, dipastikan jumlah korban akan jauh lebih besar.

Nah, yang perlu diwaspadai, kata Muhari, jika sewaktu-waktu tsunami datang dari arah timur, maka Nusakambangan tidak akan cukup melindungi warga Cilacap yang berpenduduk hampir 2,2 juta jiwa. Karenanya, mitigasi berbentuk vegetasi seperti yang dilakukan di Pantai Cemara Sewu hari itu adalah kegiatan yang sangat penting.

Seperti dikemukakan Doni Monardo,  “Kita tidak mungkin pindah ke bulan atau planet lain. Selain itu, kita juga tidak boleh egois, sebab bumi yang kita pijak adalah milik generasi anak-cucu kita. Jadi, menanam pohon hari ini, kita dedikasikan bagi anak-cucu kita. Begitu, Doni mewanti-wanti.

–Dalam perjalanan dari Cilacap menuju Cirebon menjelang buka puasa, 28 April 2021

[Eggi Massadiah]

Exit mobile version