Jernih.co

Wawancara khusus dengan Akmal Nasery Basral, Penulis: “Korban Propaganda Lebih Mengerikan Dibanding Korban Perang”

Kelaparan massal yang membunuh tujuh juta warga Ukraina di tahun 1930-an (Holodomor), selalu disangkal rezim Sovyet di bawah Stalin. Waktu yang membuat kenyataan itu terkuak.

Dalam soal propaganda, Rusia yang lama terendam budaya Komunis adalah ahlinya sejak lama. Pada 1930-an saja, di tengah kelaparan massal yang dibuatnya di Ukraina, Stalin bisa menutupi fakta. Ia bahkan mampu memelihara wartawan The New York Times, Walter Duranty, yang dalam keterbatasan orang mencari pembanding saat itu, meraih Pulitzer untuk tulisannya soal Uni Sovyet.  

JERNIH—“Selalu ada dua sisi dari mata uang,” kata penulis novel, Akmal Nasery Basral, menjawab pertanyaan pembuka saya soal hiruk pikuk propaganda, senyampang bombardir serangan dan korban-korban yang jatuh di tengah invasi Rusia ke Ukraina.

Dalam kasus invasi Rusia ke Ukraina, kata Akmal, satu sisi adalah beragam pertempuran, kehancuran serta penderitaan yang terjadi. Di sisi lain adalah merebaknya misinformasi dan disinformasi tentang apa yang terjadi dalam invasi tersebut.

Misinformasi terjadi karena kesalahan yang wajar, tanpa tendensi, kata Akmal, mantan redaktur rubrik internasional di Majalah Tempo itu, sebagai redaktur rubrik Internasional.Tetapi sebaliknya, disinformasi adalah kesalahan informasi yang disengaja, mungkin berupa pemutarbalikan informasi, penggorengan isu dll, agar publik mendapatkan pemahaman yang berbeda dari informasi yang sebenarnya terjadi.

“Dalam bahasa yang mudah, disinformasi ini kita sebut propaganda,” kata Akmal, penulis 24 buku dan novel sejarah, antara lain “Sang Pencerah”, “Presiden Prawiranegara” dan dwilogi kisah hidup Buya Hamka itu.

Akmal Nasery Basral, penulis 24 buku dan mantan redaktur internasional majalah Gatra dan TEMPO

Menurut Akmal, publik seharusnya menyadari bahwa dalam peperangan, propaganda senantiasa dilakukan. Misalnya, saat Perang Teluk I di tahun 1990-an, saat Irak menyerbu Kuawit, dikatakan bahwa prajurits Irak mendatangi RS bersalin yang ada. Mereka mengambil bayi-bayi yang baru lahir dan membanting-bantingnya. Informasi tersebut merebak, sampai menjadi isu penting dalam politik AS. Akhirnya AS pun ikut-ikutan dengan masuk menyerang Irak di Kuwait. Berita itu kemudian ternyata palsu.

Hal yang sama terjadi menjelang invasi Amerika ke Irak. Merebak kabar bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal (WMD). Dengan justifikasi yang ternyata bohong ipula, AS menyerang Irak, membuat kondisi sosial, kekayaan dan warisan negeri itu, kini hancur.

Begitu pula yang terjadi saat ini dengan merebaknya propaganda media. Tentu, kata Akmal, tak hanya Rusia yang melakukannya. Ukraina pun tampaknya melakukannya pula. Hanya skala propaganda yang dilakukan Rusia ini jauh lebih massif, dan itu masuk akal mengingat kekuatan dana yang mereka miliki yang jauh lebih besar dibanding Ukraina.

Akmal, yang selama menjadi wartawan rubrik internasional di Majalah Gatra dan Majalah Tempo telah meliput berbagai negara itu kemudian merinci beberapa hal mengindikasikan propaganda Rusia atau pendukungnya.

Misalnya, di pekan-pekan pertama invasi, beredar video yang menggambarkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menyerah. Ternyata semua itu hanya deep fake. Dalam video 68 detik itu Zelensky mengatakan bahwa masa jabatannya sebagai presiden tidaklah mudah.

“Sudah waktunya untuk menghadapi kebenaran,” kata Zelensky di klip yang dimanipulasi itu. “Dan tak ada hasilnya. Tidak ada lagi masa depan, setidaknya untuk saya.” Lalu di video palsu itu presiden berusia 44 tahun itu menyuruh warganya menyerah. “Sekarang saya mengambil keputusan sulit lain untuk mengucapkan selamat tinggal kepada Anda,” lanjut klip itu. “Saya menyarankan Anda untuk meletakkan senjata dan kembali ke keluarga. Anda seharusnya tidak mati dalam perang ini.”

Profesor Hany Farid dari Universitas California-Berkeley, AS, yang mempelajari video tersebut mengatakan video palsu itu bisa menjadi awal perang dunia maya antara Rusia dengan Ukraina.

Tidak hanya itu, beredar petikan video yang memperlihatkan kekejian dari apa yang disebut video itu sebagai “tentara Ukraina” kepada seorang Muslim Chechnya yang tengah membaca Quran. Disebut-sebut itu terjadi manakala terjadi serangan Ukraina ke Chechnya. Meskipun ada anakronisme dalam cerita versi video tersebut—Ukraina tak pernah menyerang Chechnya, Rusia yang melakukannya karena negara Chechnya yang mayoritas Muslim menyatakan merdeka pada 1992—belakangan ternyata itu pun sebuah hoaks.

Lebih jauh, petikan video itu berasal dari cuplikan sebuah film Prancis produksi 2014, “The Search”, yang disutradarai Michel Hazanavicius . Film itu mengisahkan “garis depan invasi Rusia ke Chechnya” selama tahun-tahun pertama Perang Chechnya Kedua (1999-2009). “The Search” terpilih untuk bersaing memperebutkan Palme d’Or di bagian kompetisi utama di Festival Film Cannes 2014.

Aktor yang memerankan kekejian tersebut memang aktor Ukraina, yang dipilih karena memiliki bahasa serta raut wajah yang mirip dengan orang Rusia. Aktor Rusia sendiri rata-rata menolak memerankan kekejian tentara mereka dalam perang itu.

Akmal juga menunjuk video yang diunggah kalangan Pro-Putin, yang menyebutkan adanya disinformasi mengenai korban-korban invasi Rusia melalui sebuah video korban dalam kantung mayat. Tiba-tiba salah satu ‘mayat’ di kantung itu keluar dan bangun. Bagi kalangan pro-Putin, itu menjadi salah satu bukti kebohongan dari apa yang mereja sebut “propaganda Ukraina”.

Ternyata, melalui penelusuran altnews.in, video yang disebarkan itu merupakan fabrikasi informasi. Sejatinya video tersebut adalah video para aktivis “Friday for Future” yang tengah melakukan demonstrasi menentang kebijakan iklim di Wina, Austria. Video itu awalnya dipajang di Instagram jurnalis Austria, Marvin Bergauer.

Pada video itu memang ada aktivis yang pura-pura mati dalam demo itu, tiba-tiba bangkit. Mungkin karena pantatnya gatal.

Ada lagi kebohongan kalangan pro-Rusia yang tak kalah menarik. Ada cerita, lengkap dengan video bahwa para warga Ukraina yang mempertahankan negara mereka itu menjadikan para mahasiswa luar negeri—terutama disebutkan dari India—sebagai tameng hidup. Kenyataannya investigasi jurnalis Palki Sharma dari The World is One News (WION), saluran berita multinasional berbahasa Inggris India yang berkantor pusat di New Delhi, menegaskan semua itu bohong belaka.

“Tak ada penyanderaan itu,” kata Sharma, dilengkapi dengan berbagai pernyataan para mahasiswa India yang disebut-sebut disandera tersebut. “Kami ini korban propaganda Rusia,” kata salah seorang mahasiswa itu.

Kian menjadi ‘wajar’nya hoaks dalam berita propaganda Rusia itu yang tampaknya membuat para jurnalis Rusia sendiri kian muak. Beberapa hari lalu, editor berita Channel One TV Rusia, Marina Ovsyannikova, memprotes perang dengan cara merentangkan poster pernyataan menolak perang di belakang presenter berita yang tengah mengudara. “Stop Perang! Hentikan semua kebohongan ini!” tulisnya.

Sejak Kamis (17/3) ia keluar dari pekerjaannya, dan membayar denda sebesar Rp 4,13 juta. Tetapi ancaman lainnya berupa pemidanaan dengan hukuman 15 tahun penjara masih membayanginya dengan kuat, sesuai aturan baru di Rusia saat ini.

Penulis saat mengunjungi Monumen Holodomor di Kyiv, Ukraina, januari 2020

Pemerintah Prancis menawarinya suaka, namun ibu dua anak kecil itu menolak. “Saya tidak ingin meninggalkan negara kami. Saya seorang patriot, anak saya terlebih lagi. Kami tidak ingin pergi dengan cara apa pun, kami tidak ingin pergi ke mana pun,” ucapnya. Selain marina, banyak lagi jurnalis TV Rusia yang berlomba mengajukan resign karena tekanan untuk memanipulasi berita.

Sekali lagi Akmal menekankan, bukan tak mungkin Ukraina pun melakukan hal serupa. Hanya faktanya, belum ada yang secara luas membuka kebohongan konten-konten yang bisa dianggap pro-Ukraina itu. “Apalagi beban moralnya lebih berat di Rusia. Dia yang memulai semua penderitaan ini,” kata Akmal.

Akmal juga mengingatkan bahwa propaganda Rusia seperti itu bisa dirujuk ke tahun-tahun awal 1930-an, saat Rusia—waktu itu masih sebuah negara luas bernama Uni Sovyet—memberlakukan aturan baru soal pertanian. Tanah-tanah rakyat dianggap sebagai bagian dari usaha kolektif negara, dan para petani akan mendapatkan hak sesuai kontribusi mereka yang dinilai pemerintah. Begitu pula dengan tanah-tanah pertanian di Ukraina.

Setiap tahun, Ukraina yang merupakan tanah Sovyet paling subur, memberikan seluruh hasil pertanian mereka buat kemajuan ekonomi Uni Sovyet. Parahnya, target setoran untuk Ukraina itu setiap tahun bertambah, hingga terakhirnya ditetapkan sebesar 5.696 miliar kilogram gandum per tahun. Sebuah target yang mustahil, bahkan bagi wilayah sesubur Ukraina. Akhirnya rakyat Ukraina yang saat itu sembilan dari 10 warganya merupakan petani, menolak.

Stalin membalas penolakan rakyat Ukraina tersebut dengan keji. Persediaan makanan rakyat Ukraina, bahkan yang ada di tempat penyimpanan di rumah, diambil paksa. Sementara, saat itu musim dingin tiba. Dunia pun mencatat kekejian tak berhati terjadi. Kelaparan merebak di mana-mana. Saat 2006 peristiwa itu dikaji-ulang, banyak angka korban bermunculan.  

“Namun yang banyak ditulis adalah tujuh juta, atau sehari sekitar 25 ribu warga Ukraina meninggal,” kata Akmal. Jumlah yang mengalahkan angka holocaust Yahudi kalau memang angkanya di kisaran enam juta.

“Itu sebabnya, banyak yang menyepakati peristiwa Holodomor (mati karena lapar) itu sebagai genosida yang dilakukan Uni Sovyet terhadap rakyat Ukraina,”kata Akmal.  

Baca: https://jernih.co/potpourri/holodomor-saat-koak-gagak-pun-ikut-meratap/

Namun di 1930-an itu, manakala telepon selular belum lagi ada di tangan setiap orang tersebut, diktator Sovyet, Joseph Stalin, mudah saja membengkokkan informasi. Alih-alih jujur menyebutkan banyaknya sokongan gandum dari Ukraina, disebutnya rakyat Ukraina tidak disiplin dalam bekerja, hingga berujung pada kuantitas panen yang buruk.   

Stalin dalam kontrolnya menjalankan politik dua muka. Menuliskan kata ‘kelaparan’ adalah hal terlarang. Hukumannya bisa lima tahun kerja paksa di Gulag. Menyalahkan pihak berwenang, hukumannya mati.

Seorang wartawan, Gareth Jones, yang kehidupannya difilmkan dalam “Mr Jones” (2019)–sebuah film thriller biografi yang diluncurkan 2019–setelah berhasil mewawancarai Hitler, terbang ke Sovyet untuk mewawancarai Stalin. Pada sebuah kesempatan, ia lolos dari pengawalan para mata-mata dan tiba di Ukraina. Ia menemukan bukti Holodomor, termasuk desa-desa kosong, orang-orang kelaparan, kanibalisme dan pengumpulan bahan pangan yang dipaksakan di tengah kelaparan.

Ia sempat menuliskan laporannya di Inggris, meski mendapatkan berbagai kesulitan dan tekanan. Saat dirinya meliput Mongolia, ia terbunuh. Penghubungnya di Mongolia diam-diam terhubung dengan dinas rahasia Soviet, KGB.

Meski tidak senaas Jones, wartawan “The Christian Science Monitor”, William Henry Chamberlin, termasuk yang cuek dengan larangan masuk ke Ukraina dan menuliskan laporan bagi wartawan. Ia datang, sembunyi-sembunyi sebagaimana Jones, dan melaporkan bahwa kelaparan massal itu nyata. Untung, nasibnya baik meski senantiasa mendapatkan tekanan. Ia meninggal karena stroke, bukan dibunuh seorang spion.  

Akmal merinci, sementara kepada para penjilat berbaju jurnalis, Stalin benar-benar bowheer yang baik budi. Misalnya, dalam “Mr Jones” pula, terkuak betapa dekadennya wartawan The New York Times biro Moskow, Walter Duranty. Duranty, yang selalu menuliskan yang baik-baik saja tentang Sovyet, yang dalam film itu digambarkan nyaris setiap malam tenggelam dalam pesta-pesta orgy yang dibiayai Stalin.

Dalam dunia yang setiap negara masih bertutup tirai, Duranty mendapatkan Hadiah Pulitzer pada 1932. Belakangan, ia dikritik karena menutup-nutupi fakta adanya kelaparan massal pada 1933. Mulai 1990, suara-suara agar Dewan Pulitzer mencabut penghargaan dari Duranty mulai bergaung. Namun pada 2003 Dewan menolak, dengan alasan artikel yang mereka periksa dalam membuat penghargaan tersebut tidak mengandung “bukti yang jelas dan meyakinkan dari penipuan yang disengaja”.

Berkaitan dengan propaganda yang hiruk pikuk di tengah invasi Rusia, Akmal juga melihat meruyaknya berbagai contoh sesat pikir (fallacy) yang dibiarkan tumbuh, kalau pun tidak justru dibesar-besarkan agar fakta sejatinya kian kabur.

Mengenyampingkan beberapa contoh fabrikasi informasi lainnya yang ia berikan, menurut Akmal, sesungguhnya korban-korban propaganda jauh lebi mengerikan dibanding korban pertempurannya sendiri. Korban pertempuran, menurut Akmal, paling jauh adalah menemui kematian. Atau terluka dan cacat.

“Tetapi korban propaganda, ia akan meneruskan berita bohong yang didapatnya, kepada pihak yang lebih bingung dan kurang literasi, sehingga kebohongan itu bisa jadi akan tetap ada selama orang-orang tersebut belum membuka mata dan benak mereka,” kata Akmal. [dsy]

Exit mobile version