Jernih.co

Ketika Drone Perang Diproduksi Rakyat di Rumah-rumah

Perang di Ukraina bukan hanya mengubah strategi militer global, tetapi juga hidup orang-orang biasa. Ini karena membuat drone bisa dilakukan seorang penjual bunga dengan harga tak sampai Rp 10 juta.

JERNIH –  Konflik yang berlangsung di Ukraina kerap disebut sebagai “perang drone pertama di dunia.” Penggunaan drone di medan perang meningkat drastis, memicu pertumbuhan pesat industri drone militer, baik di Ukraina maupun di berbagai belahan dunia.

Sebelum invasi Rusia, Kseniia Kalmus adalah seorang seniman bunga yang memiliki toko bunga di Kyiv dan kerap keliling Eropa memamerkan karyanya. Kini, hidupnya berubah total—ia membuat drone untuk melawan Rusia.

“Itu keputusan yang jelas bagi saya,” ujarnya kepada. “Saya ingin membantu negara dan militer kami.”

Ketika perang dimulai pada Februari 2022, Kalmus awalnya menggalang dana untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi tentara Ukraina. Namun seiring waktu, ia menyadari hampir semua permintaan dari garis depan beralih ke drone FPV.

Maka ia pun memutuskan untuk memproduksi drone sendiri. Kini, bersama para relawan, ia membuat ratusan drone kecil setiap bulan—quadcopter sederhana yang biasanya dipakai untuk fotografi, tetapi berubah menjadi senjata mematikan ketika dipasangi bom kecil.

Sebelum perang, hanya segelintir perusahaan di Ukraina yang memproduksi drone. Kini jumlahnya mencapai ratusan. Ukraina mengklaim bahwa sekitar 75% kerugian militer Rusia berasal dari serangan drone, bukan peluru atau artileri konvensional.

Stacie Pettyjohn, direktur program pertahanan di Center for a New American Security, menyebut konflik ini sebagai tonggak sejarah, “Ini adalah perang pertama yang sepenuhnya menggunakan drone.”

Drone telah menjadi senjata utama Ukraina. Bahkan memicu UMKM membuat drone. Ada yang dibuat di apartemen, garasi, hingga toko rumahan. Tak hanya di Ukraina, drone juga semakin dominan di konflik lain seperti di Timur Tengah, Myanmar, dan Sudan.

Gelombang penggunaan drone memicu lonjakan permintaan global. Perusahaan-perusahaan besar seperti Lockheed Martin dan Boeing ikut memperhatikan perkembangan ini. Produsen drone lebih kecil pun ikut meroket; saham AeroVironment di AS meningkat lebih dari empat kali lipat sejak invasi Rusia ke Ukraina.

Di Eropa, perusahaan seperti Tekever (Portugal) dan Stark (Jerman) mengalami pertumbuhan pesat. Inggris bahkan mengalokasikan 4,5 miliar pounds (sekitar Rp 99 triliun) untuk memperkuat teknologi drone militernya.

“Drone adalah masa depan peperangan,” kata Mike Armstrong dari Stark. Sistem tradisional—tank, artileri—tetap penting, namun inovasi drone berkembang sangat cepat dan tak akan hilang dalam waktu dekat.

Penangkal Drone

Di balik penggunaan drone yang agresif, muncul industri penangkal drone. Negara-negara Barat mulai mengembangkan sistem anti-drone untuk melindungi infrastruktur vital. Contohnya, pemerintah Belgia harus menutup sementara Bandara Brussels setelah ada penampakan drone yang mencurigakan.

Salah satu pemain besar di sektor ini adalah DroneShield dari Australia. CEO-nya, Oleg Vornik, menjelaskan, “Kami membuat perangkat keras dan perangkat lunak yang dapat mendeteksi dan menjatuhkan drone kecil dengan aman.”

Saham DroneShield melonjak 15 kali lipat sejak 2022. Mereka memasok Ukraina serta negara-negara Asia Pasifik, Kolombia, dan Meksiko.

Perusahaan rintisan seperti Munin Dynamics juga mengembangkan sistem anti-drone portabel yang bisa dibawa setiap prajurit di medan perang.

Para ahli memprediksi perkembangan terbesar berikutnya adalah integrasi kecerdasan buatan. Saat ini, banyak drone masih dikendalikan manusia dan memiliki jangkauan terbatas. Namun ke depan satu operator bisa mengendalikan sekelompok drone. Drone akan semakin otonom dan mampu berkolaborasi tanpa arahan manusia.

Inovasi ini akan mengubah wajah peperangan modern. Bagaimana tidak jika drone mampu menggantikan alutsista lain sekaligus berbiaya lebih murah.

Drone tempur menjadi begitu populer dalam perang modern karena memiliki kombinasi keunggulan yang sulit ditandingi oleh sistem senjata tradisional. Biayanya sangat rendah—hanya beberapa juta rupiah per unit—namun efektivitasnya tinggi, bahkan mampu menghancurkan tank atau kendaraan lapis baja yang nilainya mencapai miliaran.

Selain itu, drone jenis ini mudah diproduksi secara massal, bahkan dari garasi rumah oleh kelompok relawan atau teknisi rumahan. Risiko bagi operator pun jauh lebih kecil karena drone dikendalikan dari jarak jauh, sehingga tidak perlu menempatkan pilot langsung di medan perang.

Keunggulan lainnya adalah ukurannya yang kecil, gerakannya cepat, dan manuvernya lincah, membuat drone sulit dideteksi maupun dicegat oleh sistem pertahanan lawan.

Untuk membuat drone tempur kelas FPV, diperlukan sejumlah komponen utama yang bekerja secara terpadu. Bagian mekanik seperti frame, motor, dan propeller menjadi struktur dasar yang memungkinkan drone bergerak stabil dan lincah. Di dalamnya, komponen elektronik seperti flight controller (FC), electronic speed controller (ESC), kamera FPV, dan video transmitter (VTX) berfungsi sebagai sistem kendali, navigasi, serta pengiriman gambar real-time kepada operator.

Baterai berperan sebagai sumber daya utama yang menentukan durasi dan kekuatan penerbangan, sementara sistem kontrol jarak jauh memastikan drone dapat diarahkan secara presisi dari posisi yang aman. Semua ini harus dioperasikan oleh operator terlatih yang memahami teknik manuver FPV dan kondisi medan.

Menariknya, seluruh kebutuhan tersebut dapat dirakit dengan biaya sekitar Rp 4–10 juta per unit, sehingga bahkan negara kecil sekalipun mampu membangun kemampuan tempur udara yang efektif tanpa memerlukan anggaran militer besar. Sebagaimana terbukti di Ukraina, drone FPV telah mengubah tatanan peperangan global, menunjukkan bagaimana teknologi murah mampu menjadi kekuatan strategis yang sangat berpengaruh.(*)

BACA JUGA: Rusia Buka Sekolah Drone untuk Anak-Anak

Exit mobile version