Site icon Jernih.co

New Normal; Pergeseran Empat Pola Hidup Manusia

JAKARTA – Agnes Monica Muljoto yang kini lebih akrab disapa Agnez Mo mengaku merasa beruntung ketika terjadi pandemi virus Corona. Kebetulan ketika terjadi PSBB di Indonesia maupun lockdown di Amerika, ia tengah tinggal di tanah air.

“Selama ini saya jarang banget ada di Indonesia,” ujarnya. Begitu PSBB, sepenuh waktu ia habiskan di negeri sendiri. Di rumah. Ia bilang jadi lebih banyak waktu dihabiskan bersama keluarga.

“Kalau saya masih di Amerika, mungkin saya tak bisa kembali ke Indonesia,” lanjutnya. Kendati di rumah saja, Agnez masih ikut kegiatan seperti konser bersama para musisi Indonesia secara online.

Luis Suarez sebelum La Liga diliburkan pada 11 Maret 2020 dalam kondisi cedera. Di pertandingan “terakhir” yang digelar pada 8 Maret, antara Barcelona melawan Real Sociedad, Suarez tak merumput.

Selama tiga bulan di rumah, ia pulihkan cedera. “Virus Corona membantu saya untuk memulihkan diri,” akunya.

Proses pemulihan cedera  itu ia lakukan sendiri dengan panduan dari pelatih fitness El Barca. Cukup lewat video yang dikirim Juanjo, si pelatih fitness, Suarez mengikuti petunjuk hingga pulih. Belakangan pebola asal Uruguay itu sudah berlatih bersama Messi dkk.

Kantar Indonesia melakukan riset kebiasaan masyarakat Indonesia selama #dirumahaja. Hasilnya, sebanyak 80 persen warga baik di kota besar maupun kota kecil memilih tinggal di rumah.

Rumah menjadi pusat kegiatan dari berbagai aktivitas selain laiknya aktivitas rumahan. Mulai bekerja, bermain hingga belajar. Persis seperti yang dialami Agnez yang “menghentikan” sebentar karir dan mengisi dengan interaksi kualitatif di rumah. Atau Suarez yang bangkit habis-habisan dari cedera agar segera fit dan tendang bola lagi.

Maka, menurut Inventure Knowledge, sebuah perusahaan penelitian di Indonesia, pola ini menjadi dasar dari perubahan segala perilaku manusia maupun efek yang ditimbulkannya seperti bisnis dan urusan lainnya.

Rumusnya ada empat pola. Selain pola hidup stay at home tadi, juga pola interaksi digital atau virtual. Contohnya adalah aktivitas membeli makanan, pakaian dan keperluan lainya sudah dilakukan secara online. Mata rantai transaksi manusia bergeser (shifting) lewat smartphone ke mesin, dan sebaliknya dari mesin ke smartphone.

Sample lain yang lebih dahsyat adalah terjadi pada pola pertemuan. Video call menanjak, bahkan sesuatu yang tidak perlu dilakukan lewat video call, kini jadi perlu. Bukan tidak mungkin kelak muncul zoom generation menggantikan IG gen, YouTube gen, dan sejenisnya.

Ini lah yang membuat value Zoom naik 0,5 persen, sedangkan hampir semua perusahaan IT jeblok satu hingga dua digit.

Proses pendidikan ikut go digital. Belajar di rumah bagi sebagian warga di kota besar dilakukan dengan cara tatap muka virtual.

Belakangan muncul pula apa yang disebut dengan ativitas virtual social. Aktivitas ini dilakukan secara virtual melalui fasilitas video call dan dilakukan secara bersama-sama. Umpamanya melakukan yoga bersama, fitness bareng-bareng, dan bentuk kegiatan yang memungkinkan dilakukan tanpa harus bepergian.

Selain Go Virtual, masih menurut Inventure Knowledge, pola konsumsi manusia ikut bergeser. Dari yang tadinya untuk kebutuhan aktualisasi diri menjadi kebutuhan dasar.

Konsep piramida Maslow sekarang justru dipenuhi di lapis bawah (bottom pyramid), di mana kebutuhan makan, kesehatan dan keamanan adalah faktor yang jauh lebih penting dipenuhi.

Kebutuhan akan hidup sehat itu juga dimaknai tumbuhnya kesadaran akan mengkonsumsi vitamin hingga jamu. Lagi-lagi temuan baru oleh Kantar Indonesia menyebutkan sebanyak 65 persen warga Indonesia belakangan gemar menyeruput jamu.

Jamu kemasan kini ada di mana-mana. Hand sanitizer dan masker tak lagi lebih banyak demand daripada supply. Tetapi sebaliknya. Wardah yang produsen kosmetik tiba-tiba kini punya produk hand sanitizer.

Pergeseran pola hidup manusia terakhir adalah kian munculnya rasa empati. Bentuknya adalah solidaritas sosial yang tumbuh. Orang-orang semakin merasa perlu saling membantu.

Anda bisa melihat belakangan ini gerakan pengumpulan dana, penghimpunan barang kiat digelar oleh banyak pihak.

Lantas, apakah empati hanya diterjemahkan sebagai sebuah gerakan moralitas?

Rasanya tidak. Perusahaan akan menggunakan semangat ini menjadi sebuah bentuk kampanye bisnis atau pun brand. Dalam konteks branding, akan banyak perusahaan yang ber-shifting dari reputable brand menjadi emphaty brand.

Reputasi sudah cukup dibangun dan tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini. Maka, muncullah perusahaan-perusahaan yang menganggap dirinya sangat peduli kondisi sosoial dan ekonomi.

Jadi tidak hanya dimaknai sebagai sebuah kegiatan tanggungjawab sosial, melainkan tanggungjawab ekonomi (baca; bisnis).  

Kesimpulannya, pandemi ini telah mengubah pola hidup manusia. Manusia yang hidup di era kehidupan baru (new normal). Maka arus bisnis pun melaju ke sana. (*)

Exit mobile version