Site icon Jernih.co

Ditanya Gaji Guru Honorer, Menteri Tjahjo: yang Punya Uang Bukan Kami

JAKARTA – Membludaknya jumlah tenaga honorer di daerah khususnya tenaga pengajar alias guru, membuat Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Tjahjo Kumolo tampak kesal, sebab pemerintah daerah hanya merekrut tanpa mau menggaji.

“Ada yang sedang kami koordinasikan, karena kewenangan Kemenpan RB tidak bisa sendiri memutuskan. Dia diangkat karena melibatkan Kementerian Keuangan dan daerah yang mengusulkan tenaga honorer daerah. Tapi sekarang daerah tidak mau bayar,” ujarnya di Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Tjahjo mengatakan, pihaknya kesulitan mengangkat tenaga honorer untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Karena itu, para guru honorer dimasukkan pada kategori Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Namun, beberapa di antaranya ada yang tidak memenuhi persyaratan, termasuk yang sudah digaji sesuai upah minimum regional (UMR) daerah masing-masing.

Menurut Tjahjo, Pemerintah Daerah (Pemda) meminta pemerintah pusat membayar gaji honorer. Padahal yang mengangkat adalah Pemda.

“Problemnya daerah tidak mau. Minta pusat yang bayar, yang punya uang kan bukan kami. Kami hanya mengatur proses ujiannya,” katanya.

Ia menegaskan, Undang-Undang menyangkut guru yang sebelumnya dibebankan kabupaten atau kota, saat ini telah menjadi tanggung jawab provinsi. Oleh karena itu, perlu penataan birokrasi dengan pemangkasan eselon.

“Banyaknya inovasi, keberanian dengan membuat aturan yang simpel,” kata Tjahjo.

Sebelumnya, Ketua Forum Honorer K2 Indonesia (FHK2I) DKI Jakarta, Nurbaiti, mengaku prihatin dengan nasib para honorer yang mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Padahal, guru honorer yang telah mengabdi sekian lama, berkeinginan kuat untuk diangkat menjadi PNS.

“Kami belum bisa tersenyum karena status kami belum jelas, apakah diangkat menjadi PNS atau lainnya,” kata di Jakarta, Minggu (24/11/2019).

Ia menjelaskan, pada seleksi CPNS 2019, para guru honorer harus bersaing dengan calon guru muda dan banyak yang tidak bisa ikut karena kendala usia. Meski pemerintah telah memberikan solusi yakni melalui perekrutan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun hingga kini tak ada kejelasan.

“Tahap satu yang direkrut pada Februari 2009 belum jelas nasibnya. Ada yang dinyatakan lulus, tapi belum diterbitkan Nomor Induk Pegawai (NIP) karena Perpres yang mengatur PPPK belum ditandatangani Presiden (Jokowi),” katanya.

“Besar harapan kami Bapak Presiden dan pemerintah mengabulkan keinginan kami untuk menjadi PNS,” Nurbaiti melanjutkan.

Menurutnya, para guru honorer tak hanya mencari kesejahteraan dengan gaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP). Namun kejelasan status, karena saat ini antarpemerintah seolah saling lempar tanggungjawab.

“Daerah mengatakan pusat (punya bertanggung jawab), pusat mengatakan daerah,” kata dia.

Awal Oktober 2019 lalu, Muhadjir Effendy yang saat itu masih menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), menjelaskan pihaknya bakal memperjuangan gaji guru honorer minimal setara dengan Upah Minimum Regional (UMR).

“Kami terus memperjuangkan gaji guru honorer, agar tidak ada yang Rp150.000 atau Rp500.000 per bulan. Paling tidak setara dengan UMR untuk yang nol tahun,” ujarnya.

Oleh karena itu, ia meminta Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud yang dipimpin Supriano saat itu, membentuk tim dalam menyusun tata kelola guru.

Seharusnya, lanjut Muhadjir, tidak ada lagi guru honorer. Sebab begitu guru pensiun maka harus diangkat. Meski, pihaknya ternyata tak punya kekuasaan 100 persen terhadap kebijakan tersebut.

“Kemendikbud tidak punya kekuasaan 100 persen, karena guru punya daerah,” katanya.

Sementara Dirjen GTK Kemendikbud, Supriano, mengatakan pihaknya minta kedisiplinan terhadap pengangkatan guru honorer. Berharap kepala sekolah menghentikan pengangkatan untuk sementara.

“Usahakan guru honorer ini jadi CPNS, kalau tidak PPPK,” ujarnya.

Ia menjelaskan, dari dapodik cut off 2017 guru honorer jumlahnya 735.825. Setelah dilakukan sensus ke lapangan, sekitar 32.000 dikeluarkan. Angka tersebut berubah, pada Desember 2018 sebanyak 41.000 lagi dikeluarkan.

“Ada yang mengajar cuma dua jam itu dimasukkan guru honorer. Kami sedang menyempurnakan datanya. Ada 32.000 kita keluarkan namanya karena tidak ada orangnya, tapi ada tambahan 41.000,” ujar dia. [Fan]

Exit mobile version