Tak diragukan lagi bahwa Bali adalah salah satu gudang seni dan budaya dunia. Sehingga nama Bali terkadang lebih dikenal dibandingkan Indonesia. Salah satu yang seni tradisi di Bali yang mendunia adalah Joged Bungbung. Kesenian bergenre tari pergaulan ini termasuk salah satu kesenian populer di Bali. Popularitas tarian dari Bali Utara ini melejit setelah mulai keluar dari makna asalnya yang sederhana. Dari tarian hiburan pelepas lelah sehabis panen raya, kebablasan menjadi tarian seronok nan erotis. sehingga Joged Bumbung kadang disebut juga joged porno.
Padahal, di awal perkembangannya joged bumbung mengutamakan nilai etika, estetika dan logika. Artinya diciptakan dengan penuh kesadaran mempertahankan norma-norma martabat adat istiadat yang ketat dalam kearifan lokal budaya Bali. Namun, karena Joged Bumbung sebagai tari pergaulan yang lahir dari masyarakat petani yang dinamis dan kreatif, sehingga memiliki ruang perkembangan yang luas.
Tari Joged Bumbung berpola pada gerak tarian legong dan kekebyaran yang lincah dan dinamis. Para penari leluasa mengembangkan improvisasi untuk berinteraksi ngajak ngibing penonton. Interaksi tarian yang berpasangan dengan mengandalkan improvisasi cenderung melahirkan gerakan-gerakan alamiah, bahkan terkesan tidak ada aturan yang mengikatnya. Untuk menghibur penonton, seorang penari Joged Bumbung selalu menampilkan gerakan yang lincah dan terbuka, genit dan menggoda.
Tarian Joged Bumbung pertama muncul di era tahun 1946 di Bali Utara. Tariannya diiringi gamelan gegrantangan, yaitu gamelan tingklik bambu berlaras salendro lima nada. Untuk memainkannya penabuh memakai dua panggul, yang kanan memainkan kekembangan (ornamentasi) sedangkan yang kiri memainkan melodi utama. Penamaan Bumbung sebagai nama jenis tarian joged sepertinya diambil dari alat musik yang dominan terbuat dari bambu. Sedangkan repertoir yang dimainkan diambil dari lagu-lagu rakyat, tabuh-tabuh gong kebyar, gegandrangan dan lagu-lagu pop.
Sedangkan istilah Joged merupakan tari tandak dan ranggeng. Berjoged dapat dikatakan sebagai tarian yang demonstratif, lincah tanpa cerita. Karena tanpa cerita dan semata-mata bersifat interaksi sosial maka melahirkan istilah ngibing yang merupakan ajakan penari kepada penonton untuk menari bersama-sama. Namun, sebelum ngibing, penari Joged Bumbung akan ngalembar yaitu menari sendiri sebagai tari pembukaan. Penari Joged Bumbung umumnya adalah wanita yang belum menikah, sehingga memiliki kelonggaran untuk berinteraksi dengan pria.
Karena ngibing atau joged itu bersifat ekspresif maka terkadang terjadi kontak tangan atau melakukan gerakan tari seperti bercinta. Dulu, gerakan penari wanita hanya menggunakan egolan kesamping kanan maupun kiri. Namun biasanya jika penari pria mencoba untuk menyentuh bagian-bagian terlarang dari penari, maka ia akan terkena pukulan kipas dari penari joged.
Seiring waktu Joged Bumbung semakin populer di Bali dan melahirkan banyaknya sanggar joged yang disebut seeka. Gejala Joged Bumbung bergeser ke arah tarian erotis dimulai pada 1997 ketika krisis moneter terjadi dan dilanjut dengan beberapa kali peristiwa Bom Bali yang berdampak luas pada perekonomian di Bali. Mengakibatkan para seeka atau sanggar Tari Joged Bumbung melakukan inovasi untuk mendongkrak pasar hiburan yang labil pada saat itu. Pengaruh Goyang Inul juga menjadi alasa lahirnya gerakan erotis di Joged Bumbung.
Demikian pula kesenjangan pendapatan pekerja seni Joged Bumbung antara Bali Utara yang didukung oleh destinasi wisata yang semarak dengan kondisi Bali selatan seperti Buleleng dan Singaraja yang sepi dari geliat wisata. Maka tidak heran jika dari Desa Sinabun Singaraja misalnya, muncul fenomena Joged Bumbung yang vulgar dan lebih erotis untuk mendapatkan pasar hiburan yang luas. Seolah muncul teori kompetitif bahwa semakin “panas” tariannya maka animo penonton semakin tinggi sehingga mendongkrak penghasilan para pekerja seninya.
Saat ini citra Joged Bumbung sedang diperbaiki agar tampil lebih sopan dengan mengedepankan etika dan norma adat budaya Bali. Penghargaan UNESCO di Namibia pada Desember 2015 telah menetapkan Joged Bumbung sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda bersama 8 tarian Bali lainnya. Mau tak mau prestise tersebut memicu kesadaran berbagai pihak, baik pemerintah dan masyarakat untuk membuat Joged Bumbung lebih sopan.
Pada akhirnya, kesadaran itu hanya menempatkan pekerja seni Joged Bumbung pada narasi formal saja : bertahan demi martabat budaya Bali di mata dunia ? atau tutup mata demi dapur tetap ngebul ? atau tetap demi kebebasan ekspresi semata ?. Kenyataannya Joged Bumbung sampai saat ini tetap eksis dan santuy tanpa beban.