Paris — Kata si empunya cerita, lelaki Prancis paling romantis. Data statistik sepanjang 2019 memperlihatkan 137 perempuan Prancis meninggal dibunuh pasangannya, dan ratusan lainnya hidup dalam ketakutan.
Marie-Alice Dibon salah satunya. Ia dibunuh Luciano Mereidda, lelaki yang tinggal bersamanya selama lebih lima tahun.
Jenasah Dibon ditemukan di dalam koper yang mengambang di Sungai Oise, di pinggiran Paris. Polisi tanpa kesulitan menangkan Mereidda.
Kematian Dibon memicu semangat sebuah kelompok advokasi untuk melacak apa yang terjadi pada masyarakat Prancis. Hasilnya, Dibon adalah satu dari 137 perempuan yang dibunuh pasangannya sepanjang 2019.
Tahun lalu, menurut kepolisian Prancis, 121 perempuan tewas mengerikan dibunuh pasangannya. Beberapa jenasah dibuang ke kali, dibiarkan membusuk di apartemen, atau dibuang ke tempat sepi.
Muncul banyak kritik kepada negara. Pemerintah Prancis dianggap gagal mengatasi krisis. Lainnya mengatakan Prancis punya masalah mysogini, atau kebencian terhadap perempuan. Pemerintah merespon dengan menggelar debat nasional tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Akhir pekan lalu, sekitar 35 ribu orang — mengenakan pakaian ungu — berbaris di jalan-jalan Paris untuk memprotes fenimisme dan KDRT. Ribuan aktivis dan keluarga korban menggelar aksi serupa di kota-kota lain.
Dibon menjadi pupuler. Namanya tertulis di tempat-tempat umum; terowongan, gedung, dan jembatan. Dibon adalah anggota kelompok feminis Collages Feminicides.
Kelompok ini mengkampanyekan pembunuhan terhadap perempuan disebabkan korban adalah perempuan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan pembunuhan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan oleh pasangan, tapi juga mantan pasangan.
Mantan pasangan, masih menurut WHO, sering melakukan pelecehan dan ancaman berkelanjutan. Berikutnya, pembunuhan.
Camille Lextray, aktivis yang melacak kematian Dibon, sampai pada kesimpulan orang Prancis masih berpikir perempuan adalah milik laki-laki. Marlene Schiappa, menteri kesetaraan gender Prancis, mengatakan budaya yang harus disalahkan.
“Masyarakat Prancis sangat seksis dan sulit berkembang,” katanya. “Saya berusaha memenangkan pertarungan budaya melawan seksisme dan kebencian terhadap perempuan, tapi sangat sulit.”
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengambil beberapa langkah untuk mengatasi masalah. PM Prancis Edouard Philippe mengatakan; “Wanita Prancis dimakamkan di bawah ketidak-pedulian kita.”
Philippe berjanji menganggarkan 5 juta euro untuk menciptakan 1.000 tempat akomodasi daurat untuk wanita korban KDRT. Dia mendorong penunjukan jaksa wilayah untuk menangani KDRT lebih cepat.
Lainnya adalah layanan pengaduan khusus untuk wanita yang terancam, dan penelepon pertamanya adalah wanita usia 57 tahun yang terancam dibunuh suaminya.
Yang menarik adalah dari 88 kasus pembunuhan perempuan yang menikah, atau percobaan pembunuhan terhadap pasangan atau mantan pasangan, diperburuk oleh kesalahan pihak kepolisian menangani pengaduan.
Julie Douib salah satunya. Ia dibunuh mantan pasangannya di rumahnya di Korsika, dengan dua tembakan, hanya beberapa hari setelah Douib melaporkan ancaman terhadap dirinya. Bukan sekali Douib melapor, tapi lima kali.
Lucien Douib, ayah Julie, mengatakan; “Mereka mendengarkan kami tapi tidak melakukan apa-apa. Jika polisi bertindak melindungi, putri saya selamat.”
Jadi, masihkan kita percaya bahwa lelaki Prancis paling romantis? Atau, lelaki Prancis membenci feminisme?