Rakyat Surabaya nggak kenal taktik banjir manusia, seperti diterapkan Nikita Kruschev di St Petersbrug saat menghadapi Nazi, atau dimainkan Vo Nguyen Giap saat mengalahkan Prancis di Dien Bien Phu, tapi mereka tahu apa yang harus dilakukan saat mengambil paksa senjata dari tangan serdadu Jepang.
Pada 1 Oktober 1945, seperti dituturkan Gilles Bertus dalam Soerabaja in de Vroege Revolutie, rakyat Surabaya — dan massa penduduk kampung di sekitar kota — menyerbu Gedung Don Bosco. Orang-orang Jepang di luar gedung menyerahkan senjata sukarela, tapi di markas Kampeitai sekitar 30 orang Jepang bertahan selama berjam-jam.
Mereka melepas tembakan ke arah massa, dengan harapan kerumunan orang mundur. Yang terjadi justru sebaliknya, semakin banyak korban tertembak membuat massa Surabaya kian ganas dan terus mendekati markas.
Pertempuran berakhir keesokan hari. Kampeitai yang lelah menekan pelatuk berhenti menembak. Tidak ada catatan berapa rakyat Surabaya dan orang Jepang yang tewas. Yang pasti korban di pihak rakyat Surabaya sangat banyak.
Taktik banjir manusia berjalan sukses. Rakyat Surabaya membawa pulang senjata jarahan berupa 19 ribu senapan, 1.000 senapan mesin, belasan artileri ringan, tank, kendaraan lapis baja, dan hampir 2.000 truk.
Senjata tidak disimpan di depot, tapi didistribusikan ke kelompok-kelompok perlawanan; KNID, BKR, PRI, dan lainnya. Sukses rakyat Surabaya merampas senjata Jepang diikuti aksi serupa di banyak kota; Malang, Solo, Yogyakarta, dan Semarang.
Namun, sukses rakyat Surabaya tidak terlepas dari keputusan Muhammad Jasin, komandan Pasukan Polisi Istimewa (PPI). Jasin dan PPI dilatih dan dipersenjatai Jepang. Ia belum menentukan sikap beberapa jam sebelum serbuan ke Gedung Don Bosco.
Keterlibatan PPI membuat Kampeitai mendapat perlawanan seimbang dalam baku tembak. Korban jatuh di pihak rakyat Surabaya mulai berkurang, sampai akhirnya Kampeitai menyerah akibat kelelahan.
Rakyat Surabaya berkuasa atas kotanya, dan melawan hebat saat Inggris berusaha menguasai.