Jakarta – Perlakuan pemerintah yang mengistimewakan pengemudi ojek online (Ojol) menimbulkan kecemburuan bagi pengemudi angkutan umum lainnya. Pandemi Covid-19 telah berdampak pada semua sektor transportasi.
“Dalam UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Ojol bukan termasuk angkutan umum. Sebaiknya pemerintah dan BUMN bertindak adil terhadap seluruh pelaku angkutan umum,” ungkap Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), dalam keterangannya, Rabu (15/4/2020).
Ia menilai perhatian pemerintah dan BUMN terlalu berlebihan terhadap pengemudi ojek online. Ia mencontohkan, Selasa (14/4/2020) PT Pertamina (Persero), mengeluarkan kebijakan kepada para pelaku angkutan berbasis daring khususnya ojol berupa pemberian cash back sebesar 50 persen untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM) non subsidi.
“Kami menyayangkan kebijakan ini, pasalnya pemerintah, sekalipun melalui BUMN, dalam mengambil kebijakan sektor transportasi harus berlaku adil, tidak memihak hanya kepada kelompok tertentu,” katanya.
Kebijakan seperti ini, lanjutnya, berpotensi menimbulkan kecemburuan pada pengusaha jasa angkutan lainnya, seperti misalnya angkutan kota (angkot), taksi, ataupun bus-bus angkutan antar kota dalam Provinsi (AKDP) maupun angkutan antar kota antar Provinsi (AKAP), bus pariwisata, angkutan antar jemput antar provinsi (AJAP) atau travel, bajaj, becak motor, bentor (becak nempel motor), ojek pangkalan (opang) dan sudah pasti juga para pelaku usaha jasa angkutan barang/logistik.
Dia menerangkan jika ditarik ke belakang bahwa dibalik operasional ojek daring ada perusahaan aplikasi yang sudah menyandang status sebagai perusahaan rintisan unicorn dengan nilai triliunan rupiah. “Tapi mengapa para pengemudi ojek daring, yang notabene sebagai mitra kurang diperhatikan oleh pemilik aplikator tersebut. Bahkan, kemudian pemerintah memberikan sesuatu yang istimewa kepada mereka,” ujarnya.
Sebelumnya Organda DKI Jakarta mengungkapkan, operator angkutan umum hanya bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan apabila pemerintah tidak memberikan bantuan insentif terhadap bisnisnya.
“Operator transportasi, terutama yang tidak mendapat subsidi dari pemerintah, butuh bantuan dan hanya dapat bertahan hingga tiga bulan ke depan,” kata Ketua DPC Organda DKI Jakarta Shafruhan Sinungan, Selasa (14/4/2020).
Dia menambahkan angkutan umum yang dimaksud adalah selain dari Transjakarta, Moda Raya Terpadu (MRT), Lintas Rel Terpadu (LRT), dan Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek.
Pihaknya menjelaskan bisnis angkutan umum sudah hancur, bus pariwisata sudah 100 persen tidak ada yang beroperasi karena tidak ada tur maupun orang bepergian. Bus antarkota antarprovinsi (AKAP), bus angkutan dalam kota, hingga rental mengalami penurunan jumlah penumpang hingga 90 persen. [*]