Bambang menilai, justru dalam kondisi seperti ini pemerintah gelagapan dan tidak memiliki instrumen layaknya Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) di bidang pangan, yang seharusnya mampu bergerak cepat mengatasi naik turun harga. Beberapa tindakan operasi pasar yang dilakukan pemerintah daerah atau kementerian terkait, justru bergerak seperti memadamkan api yang telah membesar.
JERNIH–Ibu Runta, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di daerah pinggiran Jakarta, kesal dengan terus melonjaknya beberapa harga bahan pokok yang terjadi di Jakarta belakangan ini. Dari telur, minyak goreng dan cabe rawit merah. Ia berharap pemerintah segera mengambil langkah cepat untuk menstabilkan harga. Mengingat kondisi saat ini masih dalam pengaruh pandemi Covid, pendapatan yang diterima belum cukup stabil untuk memenuhi kebutuhan hidup.
“Bayangkan harga telur yang biasanya Rp 18 – 21 ribu saat ini di kisaran Rp 35 ribu, minyak goreng dari Rp 45 ribu per dua liter sebelumnya Rp 23 – 25 ribu per dua liter; dan cabe rawit merah Rp 100 ribu perkilo sebelumnya Rp 40-55 ribu perkilo. Tolong dong pemerintah segera menstabilkan harga. Kami di sini sangat terdampak. Covid-19 belum Pselesai pendapatan suami dari driver online belum stabil,”kata dia.
Sekretaris Dewan Pengarah Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT), Bambang Sutrisno, menilai kejadian melonjaknya harga tersebut sering berulang. Ia menilai, pemerintah seharusnya seharusnya responsif dalam melihat pergerakan harga.
Bambang menunjuk harga telur ayam sebagai contoh. Naik turunnya harga telur, kata dia, jika diperhatikan dari awal tahun 2021 periode Januari-Februari, harganya di tingkat peternak di kisaran Rp16.000-Rp17.000 per kilogram, berdasarkan data Asosiasi Peternak Layer Nasional. Harga mengalami kenaikan, hingga saat ini harga telur di Jakarta per 27 Desember menembus Rp 31.021 per kg.
Bambang menilai, justru dalam kondisi seperti ini pemerintah gelagapan dan tidak memiliki instrumen layaknya Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) di bidang pangan, yang seharusnya mampu bergerak cepat mengatasi naik turun harga. Beberapa tindakan operasi pasar yang dilakukan pemerintah daerah atau kementerian terkait, justru bergerak seperti memadamkan api yang telah membesar. Psikologi pasar terlanjur terjun bebas.
Yang lebih strategis, kata Bambang, sepertinya pada jangka panjang pun pemerintah belum terlihat punya niat untuk memperkuat kemandirian pangan.
Sementara itu, menanggapi harga telur dan sejumlah bahan pokok yang terus meroket, praktisi ekonomi pertanian Andri Sembiring, mengatakan hal itu bukan saja terkait supplay-demand atau terkait meningkatnya biaya produksi di petani. Lebih dari itu, kata dia, secara substansi diperlukan keberanian dalam menentukan arah politik pertanian Indonesia atas liberalisasi sektor pertanian.
“Kita mau tidak mau harus jujur mengakui, pascaliberalisasi ekonomi, industri pertanian Indonesia secara struktural belum banyak berubah. Kita masih tergantung dari komponen-komponen utama proses industri pertanian, mulai dari bibit, pupuk, alat-alat pertanian, teknologi, obat-obatan untuk hama dan penyakit tanaman, modal kerja, bantuan tenaga ahli sampai dengan produk akhir,”kata Andri.
Lebih lanjut, alumnus IPB itu menambahkan, tanpa arah perubahan struktural, di waktu yang akan datang tidak saja telur, negeri ini akan lebih sering lagi mendengar kerapuhan dari harga daging, bawang putih, bawang merah, cabai, kedelai, jagung, beras hingga bahan pangan lain. [ ]