Dedi melihat para pelanggannya banyak yang memilih membawa baksonya pulang untuk dinikmati di rumah. Hal yang mungkin dianggap wajar dan biasa itu menjadi lain di mata Dedi yang cermat.
JERNIH— Tampaknya, tak banyak orang yang bisa mengalahkan pesona dan rayuan bakso, dan sebagai bapak, Dedi Setiawan menyadari hal itu. Kesadaran itu yang membuatnya memilih mengalah dan mencari cara lain agar anaknya bebas dari sisi negatif makan bakso sembarangan.
Ya, anak-anak Dedi menyukai bakso lebih dari rata-rata orang banyak. Setidaknya, ‘camilan’ itu yang akan mereka pilih manakala senarai opsi jajanan diberikan. Sementara, sebagai seorang ayah yang baik, Dedi ingin memastikan apa pun yang dikonsumsi putra-putrinya aman. Tentu dari segala aspek.
“Awalnya saya ingin agar bakso yang dikonsumsi anak-anak saya itu bikinan sendiri. Jadi saya tahu pasti bahannya, pengolahannya, semua!” kata Dedi saat penulis ajak ngobrol, dua-tiga hari lalu. Rasa tanggung jawab untuk memberikan yang terbaik, terutama rasa, membuat Dedi sampai harus melakukan survey langsung, mengunjungi satu demi satu gerai dan warung bakso yang dibilang orang enak, dan mencoba mencicipinya. Persoalannya, ternyata menemukan warung bakso yang enak tak sesulit menemukan pengelola warung bakso enak yang mau berbagi pengetahuan dalam membuat makanan tersebut.
“Itu yang membuat survey saya bablas sampai Solo,” kata Dedi. Apalagi, bakso memang seolah tak bisa dipisahkan dari keberadaan kota di Jawa Tengah itu. Di kota itu pula Dedi menemukan jodoh, bertemu dengan pemilik warung yang bersedia mengajarinya membuat bakso hingga dianggap mahir.
Pulang ke Bekasi, Dedi pun segera mempraktikkan ilmu barunya. Komentar anak-anaknya, sebagai responden dan pelahap pertama produk bikinannya itu, membesarkan hati Dedi. Setelah dihitung-hitung, Dedi merasa akan lebih baik bila produk yang ia bikin tidak semata untuk kebutuhan anak-anak dan keluarganya. Ia terpikir sekalian saja menjual produknya ke masyarakat.
“Dari sana saya terpikir untuk membuka warung bakso,” kata Dedi. Begitu menemukan lokasi bagus di wilayah Pagelaran, Bogor, Dedi pun segera membuka bisnisnya pada 2004. “Kecil, dan sengaja pakai gerobak agar kalau harus mobile, hal itu bisa dilakukan,” kata pria yang sempat menekuni hobi mengoleksi motor-motor tua tersebut.
Tidak hanya di Bogor. Di pertengahan era 2000-an itu Dedi juga membuka ‘Bakso Kampung Merdeka’. Lokasinya di sebuah food court di Jalan Merdeka, Bandung, tepat di samping Toko Kue ‘Soes Merdeka’.
Seiring waktu, Dedi melihat para pelanggannya banyak yang memilih membawa baksonya pulang untuk dinikmati di rumah. Hal yang mungkin dianggap wajar dan biasa itu menjadi lain di mata Dedi yang cermat. “Di kepala saya terbersit ide untuk menjual bakso ‘mentahan’ saja, yang bisa dimakan bersama keluarga di rumah dengan kuah pilihan masing-masing,” kata Dedi.
Mulailah Dedi menyeriusi idenya itu. Gerai baksonya tetap berjalan, tetapi fokusnya sudah mulai pada bakso kemasan yang lebih mudah dijual dan memiliki jangkauan penjualan lebih luas. Dipelajarinya urusan yang berkaitan dengan pengemasan produk, hingga pemilihan merek. Akhirnya, pada 2013 mulailah Dedi fokus pada penjualan bakso kemasan yang diberinya merek “Bakso Kapten”.
“Itu diambil dari panggilan akrab untuk saya di komunitas motor tua. Di sana saya dipanggil ‘Pak Kapten’,” kata Dedi.
Karena penikmat bakso begitu beragam, dari berbagai kalangan social-ekonomi serta usia, Dedi sengaja mengambil pangsa pasar ‘premium’. Satu kemasan isi 16 butir bakso seberat sekitar 270 gram dijualnya antara Rp 55 ribu untuk bakso orisinal, dan Rp 60 ribu untuk bakso urat dan bakso keju.
Begitu era digital datang dengan gencar, ‘Bakso Kapten’ kian menemukan masa-masa optimalnya. “Kami langsung bermitra dengan aplikasi-aplikasi, terutama Gojek dan Grab,” kata Dedi. “Itu sudah empat tahun lalu.” Dengan makin mudahnya urusan pengantaran, produk ‘Bakso Kapten’ kini sudah merambah kota-kota di Jawa Tengah, bahkan Surabaya dan Bali.
“Padahal, kami belum lagi melakukan gembar-gembor dengan beriklan, misalnya,” kata Dedi. Beberapa kali ia dikejutkan kedatangan konsumen yang ingin melihat langsung proses pembuatan ‘Bakso Kapten’ di lokasi pabriknya di Bekasi. Alih-alih menolak, Dedi justru senang. Baginya, itu berarti produk industri rumahannya mendapatkan pengakuan dari konsumen secara langsung. Belakangan ‘Bakso Kapten’ memperluas usaha dengan juga memproduksi dimsum dan kopi.
Namun demikian, bakso tetap menjadi primadona usaha Dedi. Dari bakso saja, Dedi mengaku mengantongi omset hingga Rp 40 juta sebulan. Itu pun setelah pandemi Covid-19 menyerang. “Ada, lah…” kata Dedi, tertawa, mengelak saat ditanya omset sebelum datangnya Covid-19.
Yang jelas, kepeduliannya akan jajanan putra-putrinya itu kini berbuah penghasilan yang lebih dari lumayan. Bila penasaran ingin menikmati rasa khas yang diperoleh dari perjuangan dan survey ‘Pak Kapten’, pesan saja melalui alamat ini: Bakso Kapten, Komplek Jatibening Indah, Jalan Jawa Blok A no 8M, Jatibening-Pondok Gede, Bekasi. Atau pada no WA 087808780806. [ ]