Abdul Ajid, petani kacang koro di Sumedang ini bilang, koperasi-koperasi yang biasa menyuplai kebutuhan bahan baku pengrajin tempe enggan menerima kacang koro sebab tak ada uang pelicinnya, dan sulit mencari celah ceperan berupa rupiah.[]
JERNIH-Dua hari lalu, dikabarkan kalau salah satu biang kerok melonjaknya harga kedelai lantaran peternakan Babi di Cina, menjadikan kedelai sebagai pakan utamanya. Hal ini, dikatakan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi. Akibatnya, harga kedelai yang tadinya ada di angka 12 dollar AS per gantang, melonjak tajam jadi 18 dollar AS tiap gantangnya.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan bilang, dengan kebijakan reformasi peternakan babi di Cina yang lebih modern, setelah tertular demam dari babi Afrika pada 2018 hingga 2019, Cina memborong produk kedelai dari Amerika Serikat juga Amerika Latin. Jadilah Indonesia gigit jari sebab jumlah pasokan menurun, sedangkan kebutuhan di dalam negeri tetap tinggi dalam rangka produksi tahu dan tempe.
Oke bilang, awalnya Cina memasok kebutuhan kedelai untuk pakan babi dari Argentina dan Brazil. Namun karena ada badai El Nino, Tiongkok beralih mengambil suplay dari AS, sementara Indonesia juga menggantungkan diri dari pasokan negeri Paman Sam.
Jadilah harga melonjak, sebab masih mengacu pada hukum ekonomi standar. Sedangkan kebutuhan dalam negeri, 90 persennya dipasok dari kegiatan impor, plus biaya pengiriman yang juga ikut naik hingga empat kali lipat sejak pandemi berlangsung.
Mengutip pertanian.go.id, pakan babi yang baik adalah campuran bungkil kedelai dan jagung kuning untuk memastikan tingkat asam amino yang seimbang. Ini, berutujuan mendongkrak berat badan hewan itu.
Bungkil kedelai sendiri, merupakan bahan yang tersisa setelah kedelai diolah dan diambil minyaknya. Para ilmuwan sepakat, kalau benda ini merupakan sumber protein yang baik bagi ternak. Kandungannya, mencapai 44 hingga 51 persen dan dinilai teramat bagus sebab keseimbangan asam amino di dalamnya cukup lengkap dan tinggi.
Ada beberapa jenis kedelai yang biasa dipakai masyarakat Indonesia untuk diolah menjadi panganan. Pertama, kedelai hitam yang difermentasi dan ditambah gula merah hingga warnanya hitam pekat dan kental, lantas menjadi kecap. Kedua, kedelai putih yang difermentasi setelah direbus kemudian ditambahkan ragi hingga menjadi tempe. Selain itu, kedelai jenis ini juga diolah menjadi tahu.
Dalam pengelolaan berbagai produk turunan dari kacang kedelain ini, tentu menyisakan residu atau ampas yang dikenal sebagai bungkil kedelai. Ampas inilah yang kemudian biasa dipakai peternak di Indonesia sebagai pakan peliharaan seperti ayam pedaging, petelur, bebek, sapi, kambing dan kerbau.
Bahkan, di masa lalu di tahun 1990-an hingga awal tahun 2000-an, ampas tahu dan tempe tak cuma dipakai sebagai pakan ternak saja. Di tangan pengrajin dari Jawa, dia diolah menjadi panganan lain bernama oncom.
Kacang Koro
Beberapa waktu lalu, seorang petani di Sumedang, Jawa Barat, memperkenalkan kacang koro sebagai alternatif bahan baku pembuatan tempe.
Kacang ini, memiliki masa tanam yang pendek dan bisa dipanen berkali-kali. Sangat berbeda dengan cuma sekali panen dan harus dibabat tanamannya, kemudian ditanami pohon yang baru.
Kandungan protein kacang koro pun, tak terlalu berbeda dengan kacang kedelai. Sehingga, tempe kacang koro sangat potensial menjadi alternatif tempe kedelai. Namun, kenapa penggunaannya tak populer di tanah air?
Abdul Ajid, petani kacang koro di Sumedang ini bilang, koperasi-koperasi yang biasa menyuplai kebutuhan bahan baku pengrajin tempe enggan menerima kacang koro sebab tak ada uang pelicinnya, dan sulit mencari celah ceperan darinya berupa rupiah.
Dari situ dia bilang, sulit menjadikan kacang koro sebagai alternatif jitu terhadap kebutuhan bahan baku pembuatan tempe.[]