Site icon Jernih.co

Masa Pandemi Covid-19, Tingkat KDRT Malah Melonjak

Ilustrasi

Jakarta – Fakta mengerikan yang harus dihadapi pada masa karantina mandiri saat ini adalah adanya tren peningkatan angka kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan dan anak yang terjadi secara global. Termasuk di Indonesia.

Di Tunisia terdapat peningkatan laporan kekerasan terhadap perempuan sebanyak 5 kali lipat setelah 5 hari diberlakukannya isolasi diri. Peningkatan kekerasan dalam rumah tangga sebesar 40‐50% juga terjadi di Spanyol semenjak diberlakukannya isolasi mandiri, begitu juga di Katalan (Spanyol), terjadi peningkatan hingga 20%.

Ketua Dewan Pengurus International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Dian Kartikasari yang juga Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) 2009-2020 menyatakan bahwa masa isolasi mandiri sangat berpotensi menciptakan peluang konflik dalam rumah tangga.

“Asesmen yang dilakukan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) di 111 komunitas menemukan, adanya 86 kasus kekerasan yang terjadi. Menurutnya, jumlah ini bisa jauh lebih besar karena fenomena kekerasan dalam rumah tangga seperti gunung es yang hanya tampak kecil di permukaan,” ujar Dian, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (18/4/2020).

Dian menyampaikan bahwa kasus kekerasan yang dialami perempuan saat ini sangat beragam mulai dari kekerasan fisik, psikis dan seksual. Salah satu kasus kekerasan yang dialami oleh perempuan kepala keluarga di masa pandemi ini adalah percobaan perkosaan saat berlangsung penyemprotan desinfektan.

Perempuan kepala keluarga sudah seharusnya mendapat perhatian lebih di masa pembatasan sosial. “Usaha promotif dengan memaknai pembatasan sosial sebagai hal yang positif, usaha preventif, responsif dan rehabilitatif menjadi penting dalam memperbaiki keadaan,” tuturnya.  

Sementara Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan mengatakan, sebelum terjadi pandemi, sepanjang 2019 terdapat 75,4% atau 11.105 kasus kekerasan di ranah privat dari jumlah total 14.719 kasus kekerasan terhadap perempuan. “Pembatasan sosial yang dilakukan pemerintah telah berimbas pada terbatasnya layanan seperti penutupan Rumah Singgah maupun Rumah Aman, yang menyebabkan korban tidak tahu harus berlindung ke mana,” katanya.

Selama masa pandemi, pendampingan terhadap korban kekerasan terus dilakukan oleh Komnas Perempuan secara online. Laporan kekerasan terhadap perempuan akan ditindaklanjuti berdasarkan kebutuhan korban. Jika terkait dengan penanganan kasus litigasi, Komnas Perempuan akan memberi rujukan ke LBH APIK dan jika korban membutuhkan pemulihan psikologis maka akan dirujuk ke Yayasan Pulih.

Ami juga meminta pemerintah untuk tetap memastikan akses layanan inklusif dalam pendampingan terhadap perempuan korban kekerasan. Penyebaran informasi berperspektif gender juga diperlukan untuk memastikan adanya pembagian kerja setara antara laki-laki dan perempuan di ranah domestik, khususnya selama masa pembatasan sosial.

Kepala Pusat Riset Gender SKSG Universitas Indonesia, Iklilah Muzayyanah mengungkapkan, bahwa bencana pandemi Covid-19 menjadi salah satu pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga. Dampak pandemi terhadap perekonomian, seperti terjadinya pemutusan hubungan kerja atau pemotongan upah kerap kali menjadi pemicu awal terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

Lebih lanjut Iklilah menyampaikan bahwa akar permasalahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan di ranah privat maupun publik. “Cara pandang seperti ini akan menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja jika ada pemicunya. Hari ini, COVID-19 adalah pemicunya” lanjut Iklilah. [*]

Exit mobile version