Site icon Jernih.co

Tudingan Luhut Soal Sawit Jatuh Karena Ukraina Dipertanyakan Komisi 6 DPR

Ilustrasi, tandan sawit segar

“Kalau Pak Luhut bilang itu karena Ukraina buka keran ekspor bunga matahari dan memangkas pajak ekspor, itu namanya buang badan dan tidak bertanggung jawab,” kata Deddy dalam keterangan yang tersebar di kalangan wartawan, Jumat (8/7). Anggota Komisi 6 dari Fraksi PDI Perjuangan itu berpendapat, anjloknya harga TBS sawit petani itu lebih sebagai akibat kerusakan rantai pasok terkait moratorium ekspor, mekanisme perizinan ekspor (PE) yang memakan waktu, kebijakan distribusi minyak goreng yang kacau, tingginya beban pungutan ekspor, serta flusing out.

JERNIH— Pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan (LBP) bahwa harga tandan sawit segar (tandan buah sawit/TBS) jatuh karena  dibukanya ekspor minyak biji matahari sekaligus pemangkasan pajak ekspor oleh negara yang tengah diserang Rusia itu, dipertanyakan anggota Komisi 6 DPR RI, Deddy Yevri Sitorus. Deddy meminta agar Menko Marves LBP tidak asal bikin pernyataan dan ‘buang badan’ soal anjloknya  harga TBS dan CPO.  

“Kalau Pak Luhut bilang itu karena Ukraina buka keran ekspor bunga matahari dan memangkas pajak ekspor, itu namanya buang badan dan tidak bertanggung jawab,” kata Deddy dalam keterangan yang tersebar di kalangan wartawan, Jumat (8/7). Anggota Komisi 6 dari Fraksi PDI Perjuangan itu berpendapat, anjloknya harga TBS sawit petani itu lebih sebagai akibat kerusakan rantai pasok terkait moratorium ekspor, mekanisme perizinan ekspor (PE) yang memakan waktu, kebijakan distribusi minyak goreng yang kacau, tingginya beban pungutan ekspor, serta flusing out.

Kekacauan itulah, menurut Deddy, yang menyebabkan harga TBS petani hancur dibawah kewajaran.

“Jadi jangan cari kambing hitam soal Ukraina sebab harga keekonomian TBS dan CPO itu ambruk karena kapasitas tangki yang overload sehingga tidak mampu menampung TBS dan siklus CPO-nya tidak bisa berjalan normal,”kata dia.

Deddy menyatakan, di bawah Luhut Panjaitan, pengelolaan CPO dan minyak goreng telah gagal total. Ekspor tertahan dan merugikan negara, perusahaan dirugikan karena kualitas CPO menurun dan petani kecil pun menjerit karena harga yang terjun bebas tak terkendali.

Ia bahkan menunjuk, di saat demand global menurun nyaris 30 persen, harga TBS dan CPO tetap rontok di bawah harga keekonomian. “Mengapa? Karena rantai pasok komoditas tersebut tersendat,”ujarnya.

Kondisi inilah, menurut dia, yang kemudian mendorong pasar global mencari jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan mereka akan minyak nabati. Dan itu didapat dari mulai mengalirnya minyak nabati selain sawit di dunia, salah satunya minyak bunga matahari dari Ukraina.

“Jadi masalahnya ada pada pengelolaan industri sawit di Indonesia yang carut marut, bukan semata-mata karena pengaruh global,” ujar anggota DPR RI dari daerah pemilihan Kalimantan Utara tersebut.

Karena itu, menurut Deddy, jalan keluarnya adalah memperbaiki mata rantai produk sawit, di mana jaminan pasokan dalam negeri terjaga, baik volume maupun harganya.

“Sudah saatnya kebijakan DMO dan DPO dievaluasi, pungutan yang berlebihan dikurangi, distribusi dan cadangan nasional dikendalikan dengan baik,”ujar Deddy. [ ]

Exit mobile version