Persona

Ari Betot Anak Muda Jadi Petani dengan Smart Farming

Smart Farming menawarkan teknologi yang cocok atau kalangan mudah. Jika teknologi ini bisa diterapkan, petani cukup menyentuh layar hape saja.

JERHIH – Sebagai negara agraria sekaligus maritim, entah apa jadinya jika tak ada lagi yang mau mengayunkan cangkul atau mandi lumpur di sawah. Sebab dianggap tak menjanjikan bahkan jauh dari kata menarik, generasi muda Indonesia memang enggan melangkahkan kakinya ke areal pertanian.

Sebab jauh dari kata berkembang secara ekonomi, budaya juga teknologi, muda-mudi pedesaan lebih memilih langkahkan kaki ke kota besar. Biar cuma jadi kuli bangunan, rasanya itu masih jauh lebih baik.

Berdasar riset Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2020 yang kemudian disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat saja, ditemukan fakta bahwa dari seluruh petani di tanah Sunda, sebanyak 36,30 persen ada di rentang usia 45 hingga 49 tahun. Sementara umur 30 sampai 44 tahun, cuma 24,6 persen. Sisanya, kerja di kota besar atau menjadi TKI di luar negeri.

Sementara itu, masih berdasar hasil riset Sakernas, hampir seluruhnya mengenyam pendidikan cuma sebatas Sekolah Dasar. Bayangkan, angkanya sebanyak 81,32 persen.

Pada 2019, LIPI pernah mempublikasikan hasil penelitiannya. Diumumkan, kalau menurunnya minat muda-mudi lantaran profesi petani tak menguntunggkan apalagi membanggakan. Akibatnya, dunia pertanian terancam cuma diisi generasi tua.

Soal ini, rupanya menjadi perhatian Asep, petani teh di kawasan Margawindu, Sumedang, Jawa Barat, yang usianya tak lagi muda. Dia bersama kawan-kawannya, tengah mempersiapkan generasi berikut yang mau turun ke kebun.

Asep memang sempat kesulitan mencari jalan dalam melaksanakan upaya tersebut. Selain terkendala status pengelolaan lahan secara hukum, dia melihat bahwa profesi petani memang merupakan pekerjaan yang melelahkan. Makanya, bisa jadi hasil riset Sakernas dan LIPI tadi, benar-benar terjadi.

Beruntung Asep tak sendirian. Tadi pagi, Selasa (21/12), ada empat orang PNS dari Dinas Pertanian Kabupaten Sumedang, menyambangi areal perkebunan tempat dia beraktifitas.

Pembelot

Ari Darmawan, salah satu petugas penyuluhan tersebut, menawarkan sebuah teknologi tepat guna yang bisa meringankan pekerjaan Asep, kemudian secara otomatis menarik minat muda-mudi setempat agar mau melanjutkan pekerjaan sebagai petani.

Smart Farming, begitu kata Ari menjelaskan teknologi yang ditawarkannya. Dia bilang, jika teknologi ini bisa diterapkan, petani cukup menyentuh layar hape saja. Pekerjaan seperti menyiram dan mengusir hama burung yang sering hinggap di areal persawahan, bisa dikerjakan cukup dengan sekali sentuh.

Ari memamerkan prototype yang dibuatnya. Alat yang baru dibuat dalam bentuk miniatur itu, jika diproduksi secara mandiri, cuma seharga Rp 100 ribu. Sementara peralatan teknis seperti dinamo penggerak dan pipa paralon atau selang air, harganya disesuaikan dengan kebutuhan beban kerja.

Perangkat yang disodorkan Ari, terdiri dari sebuah prosessor yang menjadi otak, empat buah relay, satu unit dinamo kecil dan sebuah alat sensor kondisi tanah.

Dia mencontohkan, jika alat ini diperuntukkan sebagai alat penyiram dan penjaga kelembaban tanah, maka secara otomatis sensor bekerja.

Ketika tanah kering, mesin secara otomatis melakukan penyiraman. Sementara jika tanah sudah basah, dia bakal berhenti dengan sendirinya.

Apa yang disodorkan Ari, menurutnya sejalan dengan konsep Smart Farming yang tengah digagas pemerintah. Hanya saja, dia melakukan “pembelotan’ sedikit.

Dia bilang, pada sosialisasi dan pelatihan yang pernah dia ikuti, pemerintah sebenarnya mengarahkan agar para petani menyewa alat ini pada sebuah perusahaan swasta.

“Saya ga sampai hati mengarahkan petani menyewa alat ini. Makanya saya tawarkan, bikin sendiri saja. Saya siap kok mendampingi dalam proses pembuatannya,” kata dia.

Sebab katanya, jika para petani menyewa, harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 120 juta pertahun untuk areal tanam seluas 25 x 10 meter. Artinya, ada beban pengeluaran sebesar Rp 12 juta perbulan cuma untuk alat ini saja.

“Bagaimana bisa untung, kalau harus sewa semahal itu?” kata dia lagi.

Sudah jadi rahasia umum, kalau dalam mata rantai perdagangan, petani sering kali buntung. Ketika musim tanam, harga pupuk dan benih naik. Tapi di masa panen, harga malah anjlok.

Memang, teknologi smart farming dimaksudkan guna memudahkan pekerjaan petani. Tapi jika harga sering melorot, bagaimana mungkin bisa untung. Makanya, Asep dan kawan-kawan, selain menerima apa yang ditawarkan Ari, juga tengah membangun mata rantai distribusi baru.

Bayangkan, jika dia menjual ke pabrik, hasil produksi teh yang dikeloalnya cuma seharga Rp 1.500 perkilo. Sedangkan kalau dijual langsung ke konsumen, bisa Rp 15 ribu sekilo. Lompat 10 kali lipat.

Bahkan, bisa jadi juga kalau alat yang ditawarkan Ari malah diproduksi secara mandiri oleh kelompok Asep dan dijual ke petani lain dengan harga sangat terjangkau. Tentu, ini menjadi potensi ekonomi baru yang sudah pasti melibatkan muda-mudi penggemar gadget, hingga mau turun ke dunia pertanian meski Cuma dengan jempol.[]

Back to top button