Syekh Ali Ash-Shabuni juga dikenal bukan hanya karena ulama dan ahli tafsir terkemuka, melainkan karena sifat wara’ yang dimilikinya. Wara’ memiliki arti kehati-hatian seorang shaleh untuk menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan perkara syubhat. Lain dengan ulama shu’ yang banyak bertebar di muka bumi dan mencari nafkah dari keulamaannya, Ash-Shabuni mengabdikan hidupnya buat agama.
JERNIH—Pada hari ini, Jumat (19/3) yang penuh berkah, mufassir kenamaan asal Suriah, Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, telah meninggal dunia. Kabar tentang hal itu merabak di sekian banyak platform media social, khususnya al-Jazeera Suriah.
Syekh Ali As-Shabuni dikenal luas di dunia Muslim, terutama di kalangan mereka yang peduli akan peradaban Islam. Beliau banyak menulis karya dari berbagai bidang keilmuan, antara lain tafsir, hadis, dan lainnya. Dalam bidang tafsir terutama, karya beliau yang banyak dikenal masyarakat Indonesia “Shafwat al-Tafasir”, “Rawai’ al-Bayan fi Tafsir al-Ahkam” dan “al-Tibyan fi ‘Ulum al-Quran”.
![](https://jernih.co/wp-content/uploads/ali-ashubuni.jpg)
Meski lahir di kota Aleppo, Suriah, pada 1930—beberapa kalangan meyakini tahun 1928–Syekh Ali Ash-Shabuni wafat di kota Yalova, Turki dalam usia 91 tahun. Dalam laman As-Souria.net yang antara lain memberitakannya, disertakan pula kabar dari akun twitter Syekh Muhammad Basyir Haddad yang mengkonfirmasi berita kepulangan almarhum. Beberapa laman lain juga mengabarkan berita duka ini seperti islamsyria.com dan watanserb.com.
Syekh Ali benar-benar mengabdikan hidupnya untuk agama dan dakwah. Beliau pernah beberapa kali mengunjungi Indonesia, salah satu kunjungannya adalah pada sekitar tahun 2013 dan berkeliling ke sejumlah wilayah di Indonesia, mengunjungi berbagai pesantren.
Ulama yang wara’
Syekh Ali Ash-Shabuni juga banyak dikenal bukan hanya karena ulama dan ahli tafsir terkemuka, melainkan karena sifat wara’ yang dimilikinya. Wara’ memiliki arti kehati-hatian seorang shaleh atau menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Dalam kamus munawir wara’ artinya menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perkara syubhat. Lain dengan ulama shu’ yang banyak bertebar di muka bumi dan mencari nafkah dari keulamaannya, Ash-Shabuni mengabdikan hidupnya buat agama.
Ash-Shabuni dibesarkan di tengah-tengah keluarga terpelajar. Ayahnya, Syekh Jamil, merupakan salah seorang ulama senior di Aleppo. Ia memperoleh pendidikan dasar dan formal mengenai bahasa Arab, ilmu waris dan ilmu-ilmu agama di bawah bimbingan langsung sang ayah.
Sejak usia kanak-kanak, ia sudah memperlihatkan bakat dan kecerdasan dalam menyerap berbagai ilmu agama. Di usianya yang masih belia, ia telah berhasil menghafal seluruh juz dalam Alquran.
Selain menimba ilmu kepada sang ayah, Ash-Shabuni juga pernah berguru kepada sejumlah ulama terkemuka di Aleppo.
Di antara ulama-ulama Aleppo yang pernah menjadi gurunya adalah Syekh Muhammad Najib Sirajuddin, Syekh Ahmad Al-Shama, Syekh Muhammad Sa’id Al-Idlibi, Syekh Muhammad Raghib al-Tabbakh, dan Syekh Muhammad Najib Khayatah. Untuk menambah pengetahuannya, ia juga kerap mengikuti kajian-kajian para ulama lainnya yang biasa diselenggarakan di berbagai masjid.
Setelah menamatkan pendidikan dasar, Ash-Shabuni melanjutkan pendidikan formalnya di sekolah milik pemerintah, Madrasah Al-Tijariyya. Di sini ia hanya mengenyam pendidikan selama satu tahun. Kemudian ia meneruskan pendidikan di sekolah khusus syariah, Khasrawiyya, yang berada di Aleppo.
Saat bersekolah di Khasrawiyya, ia tidak hanya mempelajari bidang ilmu-ilmu Islam, tetapi juga mata pelajaran umum. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan di Khasrawiyya dan lulus tahun 1949. Atas beasiswa dari Departemen Wakaf Suriah, ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar, Mesir, hingga selesai strata satu dari Fakultas Syariah pada tahun 1952. Dua tahun berikutnya, di universitas yang sama, ia memperoleh gelar magister pada konsentrasi peradilan Syariah (Qudha asy-Syariyyah). Studinya di Mesir merupakan beasiswa dari Departemen Wakaf Suria.
Selepas dari Mesir, al-Shabuni kembali ke kota kelahirannya, beliau mengajar di berbagai sekolah menengah atas yang ada di Aleppo. Pekerjaan sebagai guru sekolah menengah atas ini ia lakoni selama delapan tahun, dari tahun 1955 hingga 1962. Setelah itu, ia mendapatkan tawaran untuk mengajar di Fakultas Syariah Universitas Umm al-Qura dan Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz. Kedua universitas ini berada di Kota Makkah.
Ia menghabiskan waktu dengan kesibukannya mengajar di dua perguruan tinggi ini selama 28 tahun. Karena prestasi akademik dan kemampuannya dalam menulis, saat menjadi dosen di Universitas Umm al-Qura, Syaikh ali al-Shabuni pernah menyandang jabatan Dekan Fakultas Syariah. Ia juga dipercaya untuk mengepalai Pusat Kajian Akademik dan Pelestarian Warisan Islam. Hingga kini, ia tercatat sebagai guru besar Ilmu Tafsir pada Fakultas Ilmu Pendidikan Islam Universitas King Abdul Aziz.
Syekh Ali al-Shabuni ditetapkan sebagai Tokoh Muslim Dunia 2007 oleh DIQA.
Di samping mengajar di kedua universitas itu, Syaikh Ali al-Shabuni juga kerap memberikan kuliah terbuka bagi masyarakat umum yang bertempat di Masjidil Haram. Kuliah umum serupa mengenai tafsir juga digelar di salah satu masjid di Kota Jeddah. Kegiatan ini berlangsung selama sekitar delapan tahun.
Belakangan, almarhum mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk menulis dan melakukan penelitian. Salah satu karyanya yang terkenal adalah “Shafwah al-Tafaasir”. Kitab tafsir Al-Qur’an ini merupakan salah satu tafsir terbaik, karena luasnya pengetahuan yang dimiliki sang pengarang. Selain dikenal sebagai hafiz Al-Qur’an, Al-Shabuni juga memahami dasar-dasar ilmu tafsir, guru besar ilmu syariah, dan ketokohannya sebagai seorang intelektual Muslim.
Kepergian Ash-Shabuni benar-benar membuat Bumi kehilangan salah satu cahayanya. [ ]