Lalu tatkala purnama yang menanda bergantinya hari di perhitungan Qomariyah itu bergulir ke Jumuah, sebaik-baik hari dalam kepercayaan Islam yang dipeluknya erat, ia pun pergi dalam perjalanan panjang menuju Ilahi.
JAKARTA— Sebenarnya semua telah tunai pada 8 Februari itu. Tak ada lagi jabatan yang meminta pertanggungjawaban, dan tentu tidak pula ada utang piutang berupa pinjaman uang. Barangkali mungkin ada sedikit utang budi di sepanjang 77 tahun usianya berkelana di bumi. Tetapi bukankah leluhur kita pun sudah lama sepakat,”utang budi, hanya bisa dibawa mati”?
Bahkan, pada 8 Februari itu ia masih menunaikan ‘kewajiban’ untuk menghibur istri yang ia cintai, Hj Maria Suwullan Djajawisastra. Ia hadir bersama istri untuk merayakan ultah ke-50 pernikahan mereka. Pernikahan emas, kata orang, yang menjadi bukti abadinya kasih-cinta keduanya, dalam begitu terbatasnya usia manusia.
Tampaknya detik demi detik kehadirannya saat itu pun, sebenarnya harus dibayar dengan rajaman rasa nyeri. Leukemia yang dideritanya sejak delapan bulan lalu di hari besarnya itu tak mau berkompromi. Hari itu pula, usai perayaan, Abdullah Himendra Wargahadibrata dilarikan ke rumah sakit.
Lalu pada Rabu (12/2), berita-berita mulai beredar di grup-grup Whats’Up. Tentang beliau yang tak pernah tersadar sejak dilarikan ke rumah sakit Santo Boromeus itu.
“…kondisi Prof Himendra (mantan Rektor UNPAD) sdh buruk..sdh pakai ventilator.. dan sdh multi organ failure. Kemarin cuci darah.. dan skrg seluruh organ sdh tdk bisa berfungsi. Mohon doanya agar diberikan yg terbaik..”, demikian satu dari beberapa versi postingan yang tersebar di banyak grup WA itu.
Tatkala Kamis (13/2) malam saya menemukan kabar beliau telah berpulang, barulah saat itu saya mengerti bahwa Allah benar-benar memberikan yang terbaik buat almarhum Pak Himendra. Sengaja Allah menutup memorinya pada saat suka cita merayakan kasih sayang di 50 tahun pernikahan, bersama istri, anak-anak dan cucu, teman-teman seangkatan dan para junior, orang-orang terbaik yang ia kenal semasa menunaikan amanah kehidupan.
Tak cukup dengan itu, Allah pun memilih waktu untuk mematri kebaikan di hati kita semua yang ditinggalkan. Dimintanya hamba-Nya itu bersabar menunggu, agar kepulangannya membawa banyak ibrah. Lalu tatkala purnama yang menanda bergantinya hari di perhitungan Qomariyah itu bergulir ke Jumuah, sebaik-baik hari dalam kepercayaan Islam yang dipeluknya erat, ia pun pergi dalam perjalanan panjang menuju Ilahi.
Bukan pada rembang petang tatkala orang-orang masih bersicepat pulang. Tetapi manakala malam mulai tegak, nyaris di tengah. Saat doa-doa dari mereka yang pasrah diri mulai naik merayap ke langit. Tatkala syair-syair Barzanzi dan Simtudduror yang selesai dilantunkan para santri dan membawa harap dan cinta kepada Allah dan Muhammad Sang Rasul itu tengah membumbung menuju Arsy. Seolah ia ingin jiwanya membumbung berkendaraan sekian juta doa, harap dan pernyataan kasih dalam syair-syair Barzanzi itu. Sekian banyak doa di antaranya pasti dipanjatkan mereka yang pernah menjadi para mahasiswanya di UNPAD, yang kini tersebar di berbagai belahan bumi.
***
Saya tahu almarhum Pak Himendra segera setelah saya menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi UNPAD pada 1990. Saat itu beliau menjabat Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan. Tetapi baru dua tahun kemudian, pertengahan 1992, saya mengenalnya secara pribadi. Itu pun dimulai dengan kejadian yang kurang mengenakkan.
Saat itu teman-teman Pemuda Mahasiswa Islam Bandung (PMIB)—forum silaturahmi yang dibangun para aktivis mahasiswa dan pemuda Bandung dari HMI, berbagai lembaga dakwah atau masjid kampus, senat-senat mahasiswa (BEM kalau saat ini), sedang melakukan rally demo dari kampus ke kampus menolak judi Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Pagi itu, saat UNPAD kebagian giliran, acara digelar di Lapangan Parkir Utara (LPU). Waktu persiapan, mulai dari begadang membikin sekian banyak poster, spanduk dan pamflet sejak malam, hingga mempersiapkan sound system pinjaman usai subuh, semua lancar.
Persoalan baru datang tatkala demo dimulai sekitar pukul 08.30-an. Beberapa kali suara Indra Hardi Kangiden (alm) yang saat itu menjadi juru kompor untuk mengumpulkan dan mengagitasi massa, hanya bergema pada radius 20-an meter di sekitarnya. Sound mati! Padahal dengan daya listrik sekitar 5000 watt, suara yang dihasilkannya menggelegar, terdengar jelas hingga ke Kampus Fikom dan Kedokteran Gigi di Sekeloa. Tadi pagi saat tes suara, wajah Indra sumringah berseri-seri, barangkali membayangkan betapa suaranya menggelegar waktu memompa semangat para demonstran.
Sebagai ‘penghuni tetap’ Masjid UNPAD yang mengenal setiap sudut kampus Dipati Ukur, sayalah memang yang semalam berinisiatif mencarikan lubang stop kontak, ‘colokan’ tempat daya listrik untuk sound-system akan diambil. Karena itu saya pula yang segera lari ke sana, memeriksa. Benar saja, kabel itu tak lagi tersambung ke stop-kontak. Ada orang yang menariknya keluar, memutuskan aliran listrik yang tentu saja membuat sound-system mati. Untung, karena kabel panjang itu jelas milik penyewaan, orang itu hanya mencabutnya, tidak memotongnya.
Tak terlihat ada orang yang bisa saya tanya. Karena itu dengan segera saya ‘colokkan’ saja kabel tersebut. Dalam perjalanan menuju Lapangan Parkir Utara kembali ke kerumunan demo, saya mendengar suara Indra sudah kembali bergaung, mengajak orang-orang yang berada di seputaran lapangan untuk segera bergabung.
Baru saja sekitar 10 menit, peserta aksi pun baru datang dalam kelompok-kelompok kecil 2-3 orang, masuk dan bergabung dengan yang lain duduk di lapangan, sound system kembali mati.
“Wan, urus sampai tuntas. Jagain, agar nggak putus-nyambung begini,” kata Suhirman, senior saya, mahasiswa Antropologi FISIP 1986, saat ini pengajar di ITB. Saya mengangguk dan segera berlari.
Sesampai di lokasi stop-kontak, benar, kabel itu tak lagi tersambung ke lubang listrik. Hanya, kali ini ada terlihat ada beberapa orang hilir mudik. Dari seragam yang dikenakan, mereka tampaknya petugas kebersihan, petugas maintenance dan pegawai administrasi UNPAD. Lokasi stop-kontak yang dipakai memang berada di loby Gedung Pembantu Rektor, yang merupakan persimpangan koridor menuju tiga fakultas yang ada di Kampus Dipati Ukur saat itu: Fakultas Sastra, Fakultas Hukum dan Fakultas Ekonomi. Saya perhatikan, orang-orang itu diam tak acuh, bahkan saat saya datang dengan berlari ke sana sekali pun! Jelas, saya curiga salah seorang di antara merekalah pelakunya.
“Woi, ngapain cabut-cabut stop-kontak segala? Bukan listrik kalian ini. Siapa sih yang kegatelan main cabut?” teriak saya dalam Bahasa Sunda. Tak ada yang menjawab. Bahkan tak ada yang menoleh sama sekali. Saya ulangi teriakan saya, tetap dalam Bahasa Sunda.
“Tong gogorokan siah, Darmawan! Yeuh, di Dieu nu nyabut stop kontak mah. Rek naon Maneh? Jangan teriak-teriak, Darmawan! Saya yang mencabut, mau apa?” Sebuah suara tak kalah keras menggelegar di belakang saya.
Ah, dasar kebanyakan menonton film kungfu di Bioskop Artha, dekat Simpang Lima Bandung saat itu, karena kaget saya kontan berbalik sambil memasang kuda-kuda. Sret! Entah karena ketularan kaget, pengaruh insting, atau mungkin sebagaimana pemegang sabuk hitam karate lainnya, lelaki tinggi besar yang kini berhadapan dengan saya itu pun tanpa ba-bu langsung merespons dengan memasang kuda-kuda begitu tegarnya. Dalam kaget, saya segera merasa rikuh berada dalam kondisi siap tempur menghadapi Pak Himendra, pembantu rektor III saya sendiri!
Pak Himendra yang pertama kali menurunkan tangannya. “Asup! Masuk!” katanya, berbalik memasuki ruang kerjanya, ruang PR III. Langkah saya terasa gontai saat mengikuti.
Di dalam, awalnya jelas, saya dimarahi. Saya diam, merasa tak perlu berargumen dalam kondisi begitu. Tetapi lima menit kemudian yang ada tinggal sekian banyak alasan, semacam apologi mengapa ia melarang. “Da maneh mah pan hejo keneh, can nyaho persoalan teh bulat-beulit ka ditu ka dieu. Kamu kan masih hijau, tak akan pernah tahu betapa persoalan itu berjalin kelindan satu lembaga dengan lembaga lain, dengan kepentingan lain,” kata Pak Himendra.
Baru saya menjawab, justru kalau saya yang masih muda terlalu banyak pertimbangan, tak akan pernah ada perubahan apa pun di masyarakat. “Semua seperti Bapak, menjadikan semua kekhawatiran menjadi factor-faktor utama,” kata saya.
Mungkin selama 10 menit berikutnya kami masih saling bercakap. Saya katakan, setelah hari itu giliran UNPAD masih sekian hari atau pekan lagi di muka. Mungkin pula rally demo itu tak lagi ada kalau para penggerak demo anti-SDSB ditangkapi. “Jadi, kami akan sangat berterima kasih bila Bapak memberi izin dengan membiarkan kami memakai listrik UNPAD.” Lama beliau diam, memandang saya tepat di mata, seolah ingin menakar kebenaran ucapan saya.
“Heug,” kata dia akhirnya. “Tapi tong aya naon-naon nya. Ya, sudahlah. Hanya jangan sampai terjadi apa-apa.” Saya merasa harus menjabat tangannya karena begitu suka cita. Telapak tangan saya dengan mudah berada di genggamannya yang kuat. Saya merasa, bila ada sedikit saja rasa buruk di hatinya, mudah saja bagi beliau untuk meremukkan tangan saya yang loyo tak pernah push-up itu.
Sejak itulah saya kenal Pak Himendra lebih dekat. Apalagi beberapa kali Syaiful Rahman, ketua Senat Mahasiswa FE Unpad waktu itu, membawa serta saya manakala datang ke ruang beliau, dalam kapasitasnya sebagai koordinator Presidium Senat Mahasiswa UNPAD. Karena Masjid Unpad tempat saya tinggal itu berada di antara rumah beliau dengan Gedung Rektorat, seringkali Pak Himendra memergoki saya masih membersihkan halaman atau lantai masjid dalam perjalanan beliau ke kantor. Saat itulah, setidaknya kami saling menyapa.
Belakangan, mungkin karena tahu kondisi ekonomi saya selama kuliah, beberapa kali saya dipanggilnya ke ruangannya, hanya untuk memberikan bantuan dana. “Tidak banyak, namun gunakan dengan baik ya,” selalu kalimat itu yang diucapkannya saat membantu.
Bantuan beliau yang tak akan pernah saya lupakan datang manakala urusan ‘politik’ dibawa-bawa ke dalam lingkup kecil kemahasiswaan di FE UNPAD. Saat itu, 1994, saya terpilih menjadi ketua Senat Mahasiswa FE (SMFE) UNPAD. Hanya berselang sebulan, belum lagi saya dilantik secara resmi, saya terpilih sebagai koordinator Presidium Senat Mahasiswa UNPAD, menggantikan Syaiful.
Awalnya saya tidak segera menanyakan hal itu kepada Pembantu Dekan III FE Unpad saat itu, Bambang Wahyudi, salah seorang ketua Golkar dan konon pejabat di Bakin, lembaga intelijen negara saat itu. Saya pikir, yang punya hak dan kewajiban melaporkan hasil pemilihan adalah ketua Badan Perwakilan Mahasiswa, yang membentuk panita pemilihan saat itu, bukan kandidat terpilih. Hanya ketika sudah sekitar empat bulan terjadi kevakuman di kepengurusan Senat Mahasiswa FE, yang tentu terasa pada kegiatan kemahasiswaan, saya datangi Pak Bambang di kantor PD III. “Nanti malam saja, ke rumah,” kata beliau.
Tadinya malam itu saya pikir akan menjadi saat keluarnya keputusan yang membolehkan saya memimpin SMFE. Justru yang terjadi lain. Setelah basa-basi sekitar dua menit, Pak Bambang justru meminta saya mengundurkan diri! Meski sempat kaget, saya katakan tidak mungkin saya mengundurkan diri. “Saya memilih menerima bila Bapak mengumumkan fakultas tak bisa melantik saya, apa pun alasannya,” kata saya. Malam itu, kami tak mencapai kesepakatan apa pun. Saya sendiri esok harinya segera mengumpulkan jajaran kepengurusan yang saya susun bersama teman-teman, mengundang ketua sebelumnya, Syaiful Rahman, dan membuka masalah apa adanya.
“Saya memilih kita jalan terus menggerakkan aktivitas kemahasiswaan di Senat. Tentu ada konsekuensinya, tapi apa sih di dunia ini yang tak berisiko?” kata saya berseloroh.
Perlu hampir dua bulan kemudian hingga saya dipanggil Pak Bambang dan beliau menyatakan sudah tak ada persoalan. “Nggak usah pakai acara lantik-lantikan ya,” kata dia. Saya mengiyakan. Saya tahu, bukan tak ada banyak orang yang terus ‘bergerak’ membuat ‘izin’ itu datang. Mungkin ada pihak yang keberatan bila saya—seorang mahasiswa nakal yang kerap berdemo mempermasalahkan ini-itu, memegang amanah sebagai ketua SMFE dan koordinator Presidium SM UNPAD. Pihak ini mungkin meminta bantuan Pak Bambang dan diiyakan. Sementara, meski hanya mendengar samar-samar dari berbagai sumber, tak kurang pula yang meminta agar saya dibiarkan memegang amanah sebagai hasil pemilihan umum yang demokratis. Di pihak ini saya mendengar banyak nama, termasuk Kang Yuddi Chrisnandi, Kang Erik Satria Wardhana dan tentu saja, Pak Himendra.
Mungkin pertimbangan suasana politik saat itu pula yang membuat Pak Himendra meminta saya ikut Latihan Bela Negara Tingkat Nasional, tahun itu juga. Saya ikuti, bahkan setelah dua pekan dari sebulan penuh waktu pelatihan, saya merasa punya kans besar untuk menjadi yang terbaik. Sayang, sebuah peristiwa yang bagi saya tidak fair, membuat saya mengambil keputusan hengkang dari pelatihan itu di pekan ketiga. Saya langsung berangkat dari Cibubur ke Yogya, tempat kawan-kawan aktivis kampus saat itu tengah berkumpul di Kaliurang dalam sebuah acara nasional. Anies Baswedan saat itu menjadi penggagas acara.
Pada saat bertemu pertama kali setelah pelatihan tersebut, Pak Himendra sempat menyesali keputusan saya. Namun beliau segera memahami, bahkan akhirnya mendukung, meski berseloroh. “Ya, memang harus begitu. Kudu pengkuh mun urang boga pamadegan. Harus berkeyakinan dan tegar mempertahankan pendirian.”
Saya masih berhubungan dengan beliau manakala waktu saya berkuliah usai. Saya katakan demikian karena saya memanfaatkan seluruh waktu yang dimungkinkan untuk menjadi mahasiswa, tujuh tahun. Pak Himendra bahkan mau bersusah payah datang ke Rancaekek, daerah di ujung timur Bandung, untuk menjadi wali nikah saya.
Seorang senior yang sezaman dalam pergerakan kemahasiswaan di Bandung, Widi Heriyanto, mengirim pesan WA, sehari setelah kepulangan Pak Himendra. Mahasiswa FIKOM 1987, aktivis PMIB sekaligus Komite Pergerakan Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia (KP-MURI) yang banyak bergerak di kasus-kasus tanah sepanjang 1980-1990-an itu menulis sebuah peristiwa yang berkaitan dengan Pak Himendra.
“Ketika teman-teman yang berdemonstrasi di Universitas Parahyangan, mengkritik pelanggaran HAM di Timor Timur, dibubarkan tentara dan beberapa teman Unpad ditahan, saya dapat tugas meloby Pak Himendra. Sebagai PR III, kami minta pertolongan beliau untuk menghubungi Komando Daerah Militer (Kodam) agar melepaskan mereka,” tulis Widi dalam pesan WA.
“Malam itu saya ke rumah beliau, ditemani Agung Handayanto, teman FIKOM. Di sana, saya mungkin salah omong, bilang bahwa tentara telah melanggar kebebasan akademik dengan masuk ke dalam kampus. Kontan beliau marah-marah. Beliau agak reda setelah saya memberanikan diri bilang bagaimana pun saya mahasiswanya, dan saat itu tamu di rumah beliau. Tapi tak urung kami berdua diusir pulang. Malam itu saya merasa gagal menjalankan misi.
Paginya, saat teman-teman menggelar demo di Lapangan Parkir Utara, menuntut Kodam membebaskan teman-teman UNPAD yang ditahan, Pak Himendra datang merampas toa (pengeras suara), dan berorasi membubarkan massa. Massa bubar digebah PR III mereka. Saya mendatangi beliau, meminta toa dikembalikan. Karena masih hafal dengan wajah saya semalam, toa diberikan baik-baik.
Baru setelah siang saya justru bertemu dengan teman-teman yang kemarin ditahan Kodam. Ternyata, meski mengusir kami, malam itu juga Pak Himendra menghubungi Kodam dan paginya teman-teman kita dibebaskan. Salut dan hormat kami pada beliau…”
***
Setelah menyelesaikan amanah sebagai Rektor UNPAD, kesibukan Pak Himendra banyak berkurang. Tetapi ia terus mengajar dan memberikan bimbingan. “Semenjak sakit radang lutut, 2018, mahasiswa bimbingan diminta almarhum datang ke rumah,” kata Ramdan Panigoro, kerabat almarhum di Masjid Al Jihad, Dipati Ukur, tempat jenazah Pak Himendra disemayamkan, Jumat (14/2) lalu.
Ada lagi jadwal tetap beliau setelah itu, berupaya untuk selalu berjamaah subuh di Masjid Al-Jihad, yang hanya berjaralk sekitar 200 meter dari rumahnya. Sekitar dua tahun lalu teman-teman alumni Fakultas Ekonomi sempat bertemu beliau manakala mengadakan acara mabit bersama di Masjid UNPAD. Saat itu Pak Himendra yang rutin berjamaah subuh, diminta untuk memberikan nasihat.
“Kamana si Darmawan?” kata Ridha Hassan Rosyid, teman saya satu angkatan di FE UNPAD, menirukan Pak Himendra. Kebetulan saat itu saya berhalangan, karena harus melakukan survei ke beberapa tempat di Sumatera Barat untuk menentukan lokasi pengambilan gambar sebuah film. Saya merasa sekoyong-konyong sejenis kehangatan singgah di hati mendengar itu.
Setahun sebelumnya, pada 2016, manakala saya harus menjalani serangkaian persidangan kasus penerbitan Tabloid ‘Obor Rakyat’, saya sempat datang ke Bandung dan lewat ke Jalan Imam Bonjol. Waktu itu pagi, sekitar setengah jam usai subuh. Saya berbelok memasuki pekarangan rumah Pak Himendra, manakala melihat gerbang halaman terbuka. Setelah bertemu kami mengobrol lama, menikmati teh panas dan beberapa penganan yang disediakan.
“Sing sabar, jalani saja apa yang kamu yakini. Insya Allah, semua persoalan bisa selesai dengan sabar. Tong poho shalat. Jangan lupa shalat,” kata beliau. “Sorry ya, meski Bapak tahu dari dulu maneh mah nyantri, setidaknya tidur pun di masjid.”
Saat dua tahun kemudian saya mulai menjalani hukuman dan ‘nyantri’ di Cipinang, beberapa teman dari Bandung, di antaranya Syaiful, datang bezoek sambil menyampaikan salam dari Pak Himendra. Saya terharu, sungguh. Sayangnya, manakala bebas, beberapa kali menengok anak-anak, waktu terasa begitu terbatas. Datang siang ini, sebentar bertemu anak-anak, besoknya sudah harus harus kembali. Alhasil, beberapa kali ke Bandung dalam setahun ini belum pernah bisa mengunjungi beliau di Imam Bonjol.
Namun kabar tentang beliau tetap mengalir, kebanyakan dari cerita teman-teman yang tak sengaja berkumpul dalam aneka pertemuan. Dua tahun lalu, 2018, saya membaca sebuah unggahan di Facebook. Alhamdulillah, ternyata Pak Himendra telah menjelma seorang pejuang subuh—Muslim yang senantiasa berupaya untuk menegakkan shalat subuh tepat waktu dalam jamaah.
Seorang mahasiswa dan marbot Masjid Al-Jihad UNPAD—artinya penerus saya, Hanif Arrazi, bercerita tentang begitu malunya ia saat dibangunkan seorang jamaah yang sudah tua usia, manakala tertidur lelap di mihrab. Apalagi ternyata jamaah tersebut adalah Pak Himendra, guru besar dan mantan rektor di kampusnya.
“…saya terbangun pas azan usai dikumandangkan. Yang azan adalah jamaah. Dan yang bangunin saya juga jamaah. Yang lebih malu buat saya adalah ada jamaah spesial di shaf depan. Ada profesor yang juga mantan rektor kampus ini…”
Saat itu, tulis Hanif kemudian, kondisi Pak Himendra telah mulai rapuh. “Perlu pakai tongkat atau payung buat berjalan, dan shalat pun harus duduk di kursi,” tulisnya. Ia memang salah mengira rumah Pak Himendra jauh, hingga perlu memakai mobil dan disopiri. Padahal yang terjadi adalah begitu kuatnya tekad Pak Himendra untuk berjamaah subuh, sehingga dalam kondisi sulit karena sakit pun ia datang, meski harus bermobil dan dengan bantuan kursi.
Menurut Hanif, biasanya Pak Himendra datang sekitar 20-30 menit sebelum adzan berkumandang, yang memberinya banyak waktu untuk melakukan shalat sunnah dan dzikir berpanjang-panjang.
Tahun itu Hanif bahkan sempat mengambil foto dengan telepon selulernya, mengabadikan Pak Himendra yang datang jauh lebih awal sebelum jamaah lain hadir. Foto yang saya pinjam di sini.
***
Tetapi barangkali bukan seorang pemimpin manakala manusia tak punya cerita lain tentang dirinya. Demikian pula Pak Himendra. Sebagaimana Widi, seorang senior lain juga mengirimi saya cerita tentang Pak Himendra. Dia angkatan di atas saya, kuliah di Antropologi Unpad. Agar ada asma, kita sebut saja Gepeng untuk penanda.
“Paling tidak, ini bisa menggambarkan di mana posisi Pak Himendra di tengah peralihan rejim kekuasaan di Indonesia,” tulis Gepeng. Bagi Gepeng yang mengaku dirugikan kebijakan almarhum semasa menjadi PR III, Pak Himendra telah “…mematikan rintisan orang unuk mengejar cita-cita, hanya karena alasan kekuasaan.”
Gepeng bercerita, dia adalah salah seorang mahasiswa yang menerima beasiswa Ikatan Dinas dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K). Saat menerima beasiswa, Gepeng sudah menjadi calon PNS yang siap menjadi dosen begitu lulus kuliah.
“Tetapi UNPAD di masa Pak Himendra menjadi Purek III membumihangus semua dokumen dan namaku dari daftar penerima beasiswa saat aku ‘lulus juga’ dari UNPAD,” tulis Gepeng. “Padahal aku sudah menerima beasiswa selama tiga tahun lebih.”
Menurut Gepeng, Pak Himendra termasuk salah satu pimpinan UNPAD yang memilih mengambil keputusan tersebut. “Akibatnya aku tidak bisa menjadi dosen di PTN mana saja, tidak hanya di Unpad,” tulis Gepeng. Ia memang telah berupaya tidak mendaftar untuk menjadi pengajar di UNPAD, melainkan Universitas Andalas (UNAND) dan kemudian UNHAS. Di UNAND, pengajuan Gepeng diterima, dan siap menjadi dosen. Tetapi hal itu membentur tembok manakala pihak UNAND meminta persetujuan UNPAD.
“Rektor pada saat itu, atas petunjuk Pak Himendra dan Pak Suroto (PD III FISIP saat itu), tidak mau mengeluarkan surat yang saya dan UNAND butuhkan. Akibatnya saya gagal menjadi dosen di UNAND. Begitu juga ketika saya mencoba di UNHAS Makassar.”
Setelah reformasi, tatkala Pak Himendra menjadi rektor, menurut Gepeng, dirinya pernah menemui Pak Himendra. Ia mencoba meminta almarhum meralat ‘keputusan politik UNPAD’ itu. “Beliau menolak dengan kalimat sederhana,” Itu kan masa lalu, lupakan saja,” tulis Gepeng. Ia menambahkan sebuah deskripsi yang saya keberatan menuliskan.
Di akhir pesan WA tersebut Gepeng menulis, saat kuliah dirinya memang menyadari pimpinan UNPAD (saat itu) tidak menyukai dirinya dan sejumlah aktivis lain. “Karena itu, meski saya sangat ingin mengajar di UNPAD, saya sadar dengan tidak mengajukan diri untuk menjadi dosen UNPAD. Saya mencoba ‘menyingkir’ ke Padang,” tulisnya. Gepeng mengakhiri pesan panjangnya itu dengan mendoakan almarhum.
***
Ini adalah obituari terlama yang saya pernah saya tulis. Bukan pada saat pengerjaan, melainkan manakala ‘berperang’ di dalam untuk menuliskan. Hingga saya tersadarkan, manusia–ibarat mata uang, memiliki dua sisi. Bahkan pada mereka yang terlihat begitu dominan pada satu sisi. Selain itu, selalu saja ada sisi-sisi yang tersembunyi. Barangkali menuliskan kedua sisi itu dengan niat mendapatkan kebijaksanaan dan hikmah, bukanlah dosa tak berampun.
Jumat lalu, di Bogor hujan turun sepanjang waktu. Dari pagi, manakala waktu shalat Jumat, terus hingga sore hari. Saya yakin, sepanjang waktu itu, pada saat jenazah almarhum Pak Himendra dishalatkan, diperjalankan ke Cirebon dan dikebumikan, doa-doa dari para sahabat, rekan kerja, junior, para mahasiswanya dulu dan kini, senantiasa memanjat langit menuju Arsy. Bersama doa-doa itu pula, Pak Himendra menuju Ilahi.
Allahumaghfirlahu warhamhu waafihi wafuanhu…. [ ]