Site icon Jernih.co

Ritual Kematian, Menari bersama Mayat di Madagaskar Dapat Memicu Covid-19

Orang-orang Malagasi Madagaskar memiliki tradisi kuno yang berkaitan dengan ritual kematian, yaitu menggelar Upacara Famadihana di musim dingin. Mereka akan bergembira, menari, bernyanyi dan bercerita dengan mayat yang dikeluarkan dari kuburnya.

Famadihana bermakna pergantian tulang, yaitu mengeluarkan mayat dari dalam kuburnya untuk diusung oleh keluarganya bersama warga lain yang juga mengarak mayat kerabatnya yang telah meninggal. Sambil mengusung mayat, mereka menari-nari.

Dalam budaya Malagasi di Madagaskar, Ritual Famadihana telah menjadi tradisi berabad-abad lamanya sebagai elemen penting untuk menjaga hubungan bagi mereka yang masih hidup dengan leluhurnya yang telah meninggal dan dihormati karena pengaruhnya masih terasa dalam kehidupan sehari-hari.

Ritual Famadihana diselenggarakan dalam dua hingga tujuh tahun sekali oleh setiap keluarga. Mereka akan menggali atau mengeluarkan leluhur atau kerabat mereka yang meninggal dari kuburnya.

Setelah dikeluarkan, mayat yang sudah menjadi tulang belulang akan dibungkus dengan sutra halus, disemprot dengan parfum atau anggur, kemudian dibawa keluar untuk dirayakan bersama keluarga atau kelompoknya.

Begitu pentingnya upacara Famadihana bagi orang-orang Malagasi sehingga mereka yang tinggal jauh dari tempat perayaan akan datang menghadirinya selama dua hari, walau harus berjalan kaki menempuh perjalanan sepanjang hari.

Ketika semua orang telah berkumpul, mayat-mayat dikeluarkan dengan hati-hati dari ruang kuburnya di bawah tanah dan dibungkus tikar lantai jerami.  Kemudian mayat-mayat tersebut diusung oleh sekelompok orang dan diletakan di atas permukaan tanah untuk dibersihkan dan didandani.

Pakaian kubur atau kain kafan lama yang menempel di tubuh mayat ditarik dengan hati hati dan diganti dengan pakaian sutra segar yang baru. Serpihan kain kafan bekas tersebut juga dipercaya memiliki tuah tertentu.

Biasanya, wanita yang sulit hamil, akan mengambil fragmen dari kafan tua leluhurnya dan menyimpannya di bawah kasur atau bahkan memakannya untuk memicu kehamilan.

Setelah mayat-mayat selesai diganti pakaiannya, maka pesta besar dimulai dan dimeriahkan dengan dengan musik, tarian, dan kegembiraan lainnya di antara penduduk desa. Ada kerinduan, romantika dan nostagia. Saat grup band memainkan musiknya, anggota keluarga menari dengan mayat yang telah didandani.

Sebagian orang menggunakan kesempatan itu untuk berdialog dan curhat menyampaikan kabar keluarga kepada orang yang meninggal  dan meminta berkahnya. Warga lainnya akan bertutur menceritakan kisah-kisah kehidupan mereka yang telah wafat.

Ketika festival berakhir, mayat-mayat itu harus dikembalikan ke dalam makam sebelum matahari pensiun di balik cakrawala. Mayat-mayat itu dikuburkan bersama bekal kubur berupa barang, seperti uang dan alkohol sebagai hadiah yang diletakan secara terbalik sebagai simbol berakhirnya siklus hidup dan mati.

Ketika makam ditutup, menjadi momen perpisahan yang penuh emosional, untuk kemudian bersua dalam perayaan berikutnya. Dan kemungkinan mereka yang hidup saat ini akan menjadi mayat yang dibangkitkan dari kubur di masa mendatang.

Profesor Maurice Bloch, antropolog yang telah mempelajari ritual di Madagaskar, mengatakan upacara itu adalah kesempatan untuk reuni keluarga. Menghadirkan kembali tulang belulang yang sudah mati merupakan simbol kebangkitan dan kebersamaan sebagai bentuk kecintaan.

Mereka yang masih hidup dapat mengajak orang yang telah meninggal untuk mengalami lagi sukacita kehidupan, walau hanya dalam bentuk tulang belulang.

Bagi pandangan orang-orang asing yang juga asing menyaksikan praktek ritual Famadihana akan menilai sebagai sebuah ritual yang menyeramkan atau mengerikan, namun bila memahami inti dari ritual tersebut tentu akan melihat bentuk pemujaan yang ekstrim namun dalam landasan cinta mendalam pada orang terkasih sejak masih hidup hingga sampai mati.

Orang-orang Malagasi memiliki tradisi kepercayaan bahwa arwah orang mati tidak akan bergabung dengan para leluhurnya di dunia atas sampai tubuh mayatnya membusuk sepenuhnya.

Selama itu roh almarhum masih tetap hidup dan mampu berkomunikasi dengan makhluk hidup sampai mereka akhirnya pergi selamanya. Perayaan famadihana akhirnya menjadi cara bagi yang masih hidup untuk menghujani mereka yang meninggal dengan cinta dan kasih sayang.

Pada akhirnya, kematian bukanlah peristiwa menyedihkan bagi banyak orang Malagasi di Madagaskar, tetapi saat sakral untuk merayakannya. Dan mereka meyakini bahwa para leluhur akan menghargai perayaan yang diselenggarakan karena dipersembahkan sebagai bentuk penghormatan kepada roh leluhur..

Namun, dengan adanya pandemi Covid-19,  tradisi kuno tersebut riskan untuk diselenggarakan karena  selain membuat banyak orang berkumpul tanpa jarak soasial, juga resiko terpapar virus dari mayat yang terinfeksi Covid-19 bila dikeluarkan lagi dari kuburnya.

“Jika seseorang meninggal karena wabah pneumonia dan kemudian dimakamkan dan kemudian dibuka untuk famadihana, bakteri masih dapat ditularkan dan mencemari siapa pun yang menangani tubuh,” kata Willy Randriamarotia, kepala staf di kementerian kesehatan Madagaskar kepada AFP.

Newsweek melaporkan, otoritar di Madagaskar telah membatasi kemungkinan penyebaran penyakit melalui famadihana, dengan menerapkan aturan bahwa korban wabah harus dimakamkan di mausoleum, bukan di makam yang bisa dibuka kembali. Tetapi banyak yang enggan meninggalkan ritual sakral tersebut karena membawa keberuntungan bagi mereka yang mempraktikkannya.

Serangan wabah di Madagskar telah terjadi sebelumnya, yaitu yang disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis. Kasus wabah biasanya terjadi setiap tahun selama musim hujan antara September dan April.

Wabah pneumonia terakhir terjadi pada Agustus 2017 dengan kematian seorang pria berusia 31 tahun setelah bepergian dengan minibus yang ramai menuju ibu kota Antananarivo. Wabah pun meluas dengan cepat dan pejabat kesehatan harus berjuang untuk menghentikan penyebaran.

Exit mobile version