Jernih.co

Agar Masjid Istiqlal Berdiri, Monumen Kemenangan Penjajah Belanda di Aceh Dirobohkan

Dalam proklamasi kemerdekaan para seniman yang terangkum di “Surat Kepercayaan Gelanggang”, 18 Februari 1950, meski Chairil saat itu telah berpulang, dinyatakan: “Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan….” Barangkali semangat itu pula yang membuat bangkit dan berdirinya Masjid Istiqlal harus tumbuh di atas reruntuhan Wilhelmina Park, taman yang dibanggakan penjajah Belanda

JERNIH— Pernahkah mendengar kalimat tegas penuh keyakinan dari tiga serangkai sastrawan pembangun Angkatan 45, Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin tentang keniscayaan revolusi?

Dalam proklamasi kemerdekaan para seniman yang terangkum di “Surat Kepercayaan Gelanggang”, pada 18 Februari 1950, meski Chairil saat itu telah berpulang, mereka menyatakan: “Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan….”

Barangkali semangat itu pula yang membuat bangkit dan berdirinya Masjid Istiqlal harus tumbuh di atas reruntuhan Wilhelmina Park atau Taman Wilhelmina, taman yang dibanggakan penjajah Belanda, sekaligus area tempat berdirinya Monumen Perang Aceh, wilayah terakhir Nusantara yang mereka kuasai.

Saat pembangunan Istiqlal, monumen itu dihancurkan. Begitu juga dengan benteng pertahanan yang pernah ada di Wilhelmina Park. Alasan penghancuran tak lain apa yang dirujuk di atas, ingin menghapus sejarah kelam bangsa Indonesia. Hanya inilah uniknya manusia, manakala kita bicara Masjid Istiqlal saat ini, bukan mustahil kita juga mengenang Wilhelmina Park yang pernah berdiri di sana.

Pengumuman sayembara perancangan Masjid Istiqlal 1955 (Dokpri)

Proyek mercusuar

Sukar untuk menafikan bahwa pembangunan Masjid Istiqlal merupakan bagian dari proyek pembangunan “mercusuar” Presiden Soekarno. Proyek itu dimulai dengan  peletakan batu pertama pada 24 Agustus 1961. Ndilalah, yang meresmikannya justru Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978.

Pada sekitar 1950-an hingga akhir tahun 1960-an Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng yang sebelumnya menjadi kebanggaan pemerintah Hindia Belanda, begitu Indonesia merdeka langsung menjadi sepi, gelap, kotor dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng Frederik Hendrik dipenuhi lumut, rumput ilalang tumbuh subur di mana-mana.

Pada 1950-an itu ribuan warga Jakarta dari berbagai kalangan bekerja bakti membersihkan taman tak terurus di bekas benteng penjajah itu. Lebih lanjut, pada pada 1953 beberapa ulama mencetuskan ide untuk mendirikan masjid megah yang akan menjadi kebanggaan warga Jakarta sebagai ibukota, serta rakyat Indonesia secara keseluruhan. KH. Wahid Hasyim, menteri agama RI pertama, melontarkan ide pembangunan masjid itu bersama-sama H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan beserta sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH. Taufiqorrahman.

Ide itu kemudian diwujudkan dengan membentuk Yayasan Masjid Istiqlal. Pada 7 Desember 1954 didirikan yayasan Masjid Istiqlal yang diketuai oleh H. Anwar Tjokroaminoto untuk mewujudkan ide pembangunan masjid nasional tersebut. Gedung Deca Park di Lapangan Merdeka (kini Jalan Medan Merdeka Barat di Taman Museum Nasional), menjadi saksi bisu atas dibentuknya Yayasan Masjid Istiqlal. Ide itu disambut baik Presiden Soekarno, yang segera membentuk Panitia Pembangunan Masjid Istiqlal (PPMI).

Untuk merancang bangun masjid, sebuah sayembara diadakan. Pemenangnya kemudian Ir Frederick Silaban, seorang insinyur beragama Kristen Protestan. Tak ada persoalan, rancangannya dipilih untuk diwujudkan.  

Pada 24 Agustus 1961, bertepatan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, dipilih sebagai momen pemancangan tiang pertama oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno yang ketika itu langsung bertindak sebagai kepala bidang teknik.

Sempat terjadi perbedaan pendapat mengenai rencana lokasi pembangunan. Wakil Presiden H. Mohammad Hatta berpendapat bahwa lokasi yang paling tepat untuk pembangunan Masjid Istiqlal tersebut adalah di Jl. Moh. Husni Thamrin yang kini menjadi lokasi Hotel Indonesia. Pertimbangannya, lokasi tersebut berada di lingkungan masyarakat Muslim dan waktu itu belum ada bangunan di atasnya.

Sementara Presiden Soekarno lebih condong pada lokasi di Taman Wilhelmina, yang di bawahnya terdapat reruntuhan benteng Belanda dan dikelilingi bangunan-bangunan pemerintah dan pusat-pusat perdagangan serta dekat dengan Istana Merdeka. Hal ini sesuai dengan simbol kekuasaan kraton di Jawa dan daerah-daerah di Indonesia, yakni masjid selalu berdekatan dengan keraton. Pendapat Hatta didasari pertimbangan ekonomi, yakni akan lebih hemat karena tidak akan mengeluarkan biaya untuk penggusuran bangunan-bangunan yang ada di atas dan di sekitar lokasi.

Taman kebanggaan Belanda

Taman Wilhelmina dibangun atas prakarsa Gubernur Jenderal Van De Bosch tahun 1834. Selain berfungsi sebagai kebun sayur untuk para opsir Belanda di wilayah tersebut, taman Wilhelmina juga merupakan salah satu tempat tamasya favorite untuk para pembesar Kompeni, serta tuan tanah yang menetap di sekitar Weltevreden.

Taman itu bahkan dikenal sebagai taman terluas yang pernah ada di Batavia, bahkan taman modern terbesar di Asia saat itu. Lokasi taman ini berada di depan Gereja Katedral Jakarta. Para pembesar Belanda termasuk para tuan tanah serta orang-orang kaya yang menetap di Batavia, pada setiap Sabtu atau Ahad (hari pertama dalam sepekan) selalu menyempatkan diri datang ke Wilhelmina Park, membawa keluarga untuk rehat.

Menurut kisah, nama Wilhelmina diambil sebagai wujud penghormatan warga Hindia Belanda pada calon ratu Wilhelmina. Beberapa pengunjung yang kebetulan orang kaya pribumi, biasa berpiknik, datang dengan membawa rantang serta alas kain untuk menyajikan hidangan begitu waktu makan siang datang.

Hal menarik saat itu, karena letaknya yang tidak jauh dengan Sungai Ciliwung,  pengunjung dapat mendengar suara gemericik air mengalir. Di lokasi ini pun terdapat benteng yakni “Benteng (Citadel) Prins Frederik Hendrik”, yang oleh warga pribumi sering kali disebut sebagai “Gedung Tanah”, serta sebuah Monument “Waterloo” atau dikenal juga dengan nama “Atjeh Monument”. Itu sebuah monumen yang dibangun untuk memperingati tewasnya para serdadu Belanda dalam perang di wilayah Aceh Darussalam. Belanda menyebut monument itu “Batavia grondleggers gezag noord Sumatra”. [  ]

Exit mobile version