Site icon Jernih.co

Astana Gede Kawali, Pusat Naskah di Masa Klasik

Keberadaan naskah-naskah sunda kuno jumlahnya cukup melimpah, baik yang tersimpan di dalam maupun di luar negeri. Namun bagi masyarakat luas, keberadaannya masih kurang terpublikasikan.

Akhir-akhir ini seiring dengan meningkatnya kesadaran sejarah serta terbukanya media informasi, minat dan perhatian masyarakat terhadap manuskrip semakin meningkat, demikian pula penelitian terhadap naskah kuno semakin sering dilakukan.

Naskah Sanghiang Siksa Kandang Karesian (SSKK) adalah salah satu naskah sunda kuno yang populer menginformasikan alam budaya sunda di masa klasik.  Naskah ini yang berisi ajaran bimbingan hidup agar mencapai kebahagiaan, berdasarkan candrasangkala nora catur sagara wulan SSKK ditulis  tahun 1518 M. Selain berisi ajaran kehidupan, naskah ini juga dapat disebut semacam ensiklopedia tentang pemerintahan, kebudayaan, kepercayaan, kesusastraan, pertanian, etika, militer, dan lain-lainnya.

Menurut Saleh Danasasmita Siksa Kandang Karesian ditulis pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja Pajajaran atau dikenal Prabu Siliwangi (1482-1521 M) dan digunakan sebagai pedoman dalam tatacara kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sri Baduga adalah putra Dewaniskala, cucu dari Prabu Niskala Wastu Kancana yang berkuasa di Galuh dan Sunda . 

Saat masih kecil Sri Baduga tinggal di Keraton Surawisesa yang terletak di Kawali, ibukota kerajaan Sunda Galuh  di abad 14 dan 15 M. Wastu Kancana adalah salah satu raja yang terkenal dengan ajaran karahayuannya sehingga berhasil meneruskan kebesaran nama ayahnya Prabu Linggabuana (Prabu Wangi) yang gugur di Bubat.

Figur Prabu Wastu juga menginspirasi Sri Baduga saat menjadi penguasa Pajajaran. Ajaran kakeknya yang sarat dengan kebijakan dan kebajikan itu turut mempengaruhi jalan pikirannya dalam memimpin kerajaan Pajajaran dikemudian hari. Hal itu terbukti, Sri Baduga atau Sang Pamanah Rasa atau Jayadewata menjadi salah satu raja besar sunda yang sukses mengelola negaranya.

Naskah SSKK ternyata berasal dari Kabuyutan Astana Gede Kawali. Ditemukannnya naskah-naskah sunda kuno dari Astana Gede karena tempat tersebut dulunya merupakan kabuyutan atau mandala sebagai pusat kegiatan keagamaan dan intelektual.  Salah satu kegiatan intelektual tersebut adalah menyusun dan menulis sesuatu yang menghasilkan naskah lontar.

Selain itu, di masa lalu, Astana Gede Kawali diyakini kuat menjadi pusat religi bagi Kerajaan Sunda Galuh saat berpurasaba di Kawali. Bukti primer Kawali sebagai ibukota kerajaan termaktub dalam Prasasti Kawali I yang isinya menjelaskan bahwa Prabu Raja Wastu (yang) mendirikan pertahanan (bertahta di) Kawali yang telah memperindah kraton Surawsesa.

Selain Kabuyutan Astana Gede Kawali, Kabuyutan lainnya yang juga banyak menimpan naskah-naskah lontar kuno diantaranya Kabuyutan Koleang Jasinga Bogor dan Kabuyutan Ciburuy Garut. Kabuyutan Ciburuy saat ini merupakan skriptorium terbesar di Jawa Barat yang menyimpan puluhan naskah lontar kuno.

Naskah-naskah lontar yang tersimpan di Astana Gede Kawali, diantaranya naskah yang ditulis di kabuyutan lain. Misalnya naskah Darmajati ditulis Kai Raga di Pertapaan Sutanangtung di puncak Larang Srimanganti, yang merupakan salah satu Puncak Gunung Cikuray. Selain Darmajati, Kai Raga juga menulis Carita Ratu Pakuan (Kropak 410) Darmajati (Kropak 423), Carita Purnawijaya (kropak 416), Kropak 411 dan kropak 419.

Adanya naskah-naskah  di Kabuyutan Kawali pertama kali diketahui umum setelah muncul  buku berjudul Tafereelen en merkwaardigheden uit Oost-Indie karangan seorang  Pejabat Pemerintah Hindia Belanda  yang bekerja di Al-gemene Secretrie (Sekretris Negara) bernama J.Olivier.

Dalam bukunya, ia bersama rombongannya menyaksikan keberadaan naskah-naskah berbahasa kawi ketika mengunjungi Kawali dan wilayah priangan lainnya (Desember 1821 – 1827).  Naskah beserta benda budaya lainnya dikatakan berasal dari peninggalan-raja-raja Pajajaran yang berada dalam perlindungan Raden Tumenggung Adipati Adikusumah, bupati Galuh tahun 1819 – 1839. 

Seluruh Anggota rombongan tidak ada yang mampu membaca naskah-naskah tersebut. Tetapi ada salah seorang anggota rombongan yang bernama J.H. Domis menyalin 12 judul Naskah tersebut.

Salah satu penyebab banyaknya naskah-naskah sunda kuno yang tersimpan di kabuyutan Astana Gede Kawali dikarenakan pada saat Pakuan Pajajaran yang menjadi ibu kota kerajaan sunda mulai dihancurkan oleh pasukan Islam dari Banten, pembesar kerajaan dan rakyatnya banyak yang mengungsi ke Kawali dan keturunannya menjadi bagian dari penduduk Kawali.

Hal itu berdasarkan keterangan J.Olivier dalam bukunya yang berjudul berjudul Tafereelen en merkwaardigheden uit Oost-Indie (Kejadian-kejadian dan Hal-hal Menarik dari Hindia Timur).

Ia sendiri masih menyaksikan keberadaan sejumlah prabotan dan barang lainya yang dulu dibawa oleh pengungsi, termasuk diantaranya adalah naskah-naskah kuno.

Agaknya pejabat Belanda inilah yang memberitakan keberadaan naskah kuno tersebut kepada C.M. Pleyte sehingga Pleyte kemudian berhasil mengkoleksi 13 naskah kuno dari Kabuyutan Astana Gede.

Naskah-naskah tersebut diserahkan oleh Raden Aria Adipati Kusumadiningrat yang saat itu memerintah sebagai Bupati Galuh tahun 1839-1886.  R.A.A. Kusumahdiningrat adalah seorang bupati yang memiliki haluan maju serta memiliki perhatian besar terhadap pembangunan termasuk bidang kebudayaan.

Penyerahan naskah tersebut diperkirakan terjadi sesudah tanggal 10 Mei 1851 saat Kusumadiningrat berpangkat Adipati Aria. Sebelumnya tokoh ini berpangkat Raden Tumenggung bernama Kusumadinata IV. Ayahnya adalah Raden Tumenggung Adipati Adikusumah yang memerintah Galuh pada tahun 1819 – 1839 dan sempat bertemu dengan  J.Olivier

Tahun 1800-an  di Batavia telah berdiri  Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat Batavia Pencinta Kesenian dan Ilmu Pengetahuan) atau yang biasa disingkat BGKW.  Koleksi Pleyte kemudian di serahkan kepada lembaga ini untuk diteliti.

Selain R.A.A. Kusumadiningrat tokoh lainnya yang mengkoleksi dan kemudian menyerahkan naskah-naskah sunda kuno dari wilayah Priangan terutama dari Kawali ke BGKW adalah pelukis terkenal Raden Saleh.

Hal tersebut diumumkan oleh K.F. Holle dalam artikelnya yang berjudul Vlugtig Berigt omtrent Eenige Lontar-Handschriften Afkomstig uit de soenda-landen, door Radhen Saleh aan het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen ten geschenke gegeven met toepassing of de inscriptie van Kawal (berita singkat tentang beberapa naskah lontar yang berasal dari tatar Sunda, yang diberikan Raden Saleh sebagai hadiah kepada BGKW beserta salinan Prasasti Kawali).

Artikel tersebut diterbitkan oleh majalah TBG tahun 1867 di Batavia (Jakarta).  Adapun 3 naskah lontar yang disebut dalam article K.F. Holle ternyata adalah Naskah Amanat Galunggung (Kropak 632), Sanghiang Siksa Kandang Karesian (Kropak 630) dan Naskah Candrakirana (Kropak 631).

Prasasti Kabantenan dan naskah lontar kropak 410 juga merupakan hasil pengumpulan Raden Saleh yang diserahkan kepada BGKW. Institusi ini memang sejak tahun 1845 melakukan kegiatan rutin untuk mencari dan mengkoleksi benda-benda budaya termasuk prasasti dan naskah.

Setelah Belanda hengkang dari Indonesia, maka tanggal 26 Januari 1950 BGKW diubah menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Dan nama museum yang dimilikinya berubah menjadi Museum Pusat dan terakhir menjadi Musium Nasional. 

Sedangkan perpustakaan yang ada di bawahnya  dipisahkan menjadi lembaga yang berdiri sendiri dan dinamai Perpustakaan Nasional.  Di tempat itulah kini naskah-naskah sunda kuno yang  berasal dari Kabuyutan Astana Gede tersimpan dengan keheningannya.

Exit mobile version