Kata-kata ini memiliki efek besar pada pemimpin hak-hak sipil Amerika Malcolm X yang–sebagai mantan nasionalis kulit hitam, pada awalnya membenci orang kulit putih karena penderitaan yang ia dan komunitasnya alami. Dia kemudian menyadari kesetaraan sejati semua manusia hanya ketika dia melakukan haji di Mekah, bertemu Muslim dari semua warna kulit, dari keempat penjuru dunia.
Oleh: Dr Muhammad Abdul Bari*
Rekaman seorang polisi kulit putih mencekik seorang pria kulit hitam dengan menekan kepalanya di tanah di bawah lututnya selama hampir sembilan menit saat penangkapan, sekali lagi menelanjangi rasisme struktural di AS. Tiga petugas lain yang menonton tanpa belas kasihan, sementara kehidupan George Floyd diambil secara tidak manusiawi, terlibat dalam tindakan keji ini.
Tindakan brutal terbaru dalam tirani pembunuhan rasis terhadap pria kulit hitam oleh petugas polisi kulit putih itu telah memicu protes besar-besaran di banyak kota dan negara bagian AS, serta menjadi pembicaraan di seluruh dunia. Di tengah tekanan berkelanjutan oleh komunitas kulit hitam dan minoritas, terutama melalui kampanye Black Lives Matter dengan slogan “We can’t breathe”, saat ini telah menempatkan para petugas kepolisian sebagai terdakwa. Presiden Donald Trump awalnya bersimpati dengan korban, tetapi sejak itu ia dituduh memicu perpecahan dengan retorika yang menghasut, yang menyebabkan beberapa tokoh militer senior mengkritik ancamannya untuk mengerahkan militer guna memadamkan demonstrasi.
Amerika didirikan sebagai negara kolonial bagi pendatang kulit putih Eropa. Pembersihan etnis yang tidak bermoral dari penduduk asli dan perdagangan buruh budak kulit hitam yang diambil secara paksa dari Afrika, adalah bagian sejarah AS yang tidak boleh dilupakan. Meskipun perbudakan telah dihapuskan sejak lama, pola pikir hak istimewa kulit putih tetap hidup, dan terbukti ada di seluruh negeri, baik melalui kelompok-kelompok kebencian seperti KKK atau pawai supremasi kulit putih, atau melalui perlakuan inferior minoritas kulit hitam oleh petugas polisi kulit putih atau orang-orang berwenang lainnya.
Di sisi lain Atlantik—negeri yang kini kami tinggali–situasinya tidak terlalu berbeda, meskipun mungkin lebih halus dan ‘matang’ dalam manifestasi. Laporan Macpherson pada tahun 1999 menyebut tanggapan polisi terhadap pembunuhan Stephen Lawrence pada tahun 1993 sebagai “rasis institusional”. Ada istilah “menangkap dengan sangat baik prasangka tanpa disadari dan stereotip rasial di masyarakat Inggris”.
Pelajaran dari laporan Macpherson tampaknya belum dipelajari. Bencana Grenfell pada tahun 2017 melihat paradoks tentang bagaimana orang-orang Hitam, Asia dan Etnis Minoritas (BAME) diperlakukan semena-mena di wilayah terkaya di London. Skandal Windrush, diekspos pada 2018, memperlihatkan perlakuan aneh terhadap subyek yang diundang ke Inggris untuk datang dan membangun kembali negeri di tahun-tahun sebelum 1973, terutama dari negara-negara Karibia. Banyak yang hal-hak dasarnya ditahan dan ditolak, atau mendapatkan ancaman untuk—dan dalam banyak kasus– benar-benar telah dideportasi secara salah dari Inggris. Sebuah tinjauan pada tahun 2020 menemukan bahwa ada “lingkungan yang memusuhi ” di British Home Office dan “kegagalan institusional yang mendalam” yang membuat ribuan orang kehilangan kehidupan mereka.
Tinjauan Public Health England baru-baru ini mengenai wabah virus corona menemukan bahwa jumlah kematian di kalangan orang-orang Bangladesh dan komunitas minoritas lainnya tidak proporsional. Temuan lebih lanjut mengungkap ketidakadilan yang lebih luas, berupa ketidakadilan sistemik dan penolakan resmi. Tidak mengherankan jika Pemerintah Inggris kemudian menyensor tinjauan tersebut, bahkan menghapus bagian yang mencakup kesaksian para ahli, yang diajukan oleh Dewan Muslim Inggris dan lainnya, menyoroti peran rasisme dan diskriminasi terhadap komunitas minoritas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama beberapa dekade, orang Inggris asal Pakistan dan Bangladesh telah mengalami ketidaksetaraan rasial sistemik yang telah memunculkan pemiskinan, upah rendah, dan perumahan yang buruk.
Bagaimana Islam mengatasi rasisme?
Komitmen Islam terhadap Tauhid, atau keesaan Tuhan Yang Mahakuasa, adalah inti penaburan benih pemikiran untuk kesetaraan di antara manusia. Menurut Islam dan agama-agama transendental lainnya, khususnya dua agama Ibrahim lainnya, semua manusia berasal dari anak-anak Adam dan Hawa. Dengan demikian semua manusia sama secara moral, hukum, dan spiritual. Al-Qur’an mengatakan, “Wahai manusia! Kami menciptakan Anda dari satu (pasangan) laki-laki dan perempuan dan membuat Kalian berbangsa-bangsa dab bersuku-suku untuk saling kenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di hadapan Allah adalah orang yang paling taqwa di antara kamu … “(Al-Qur’an 49:13).
Ketika sampai pada inti ritual Islam dan praktik-praktik dasar, semua pengikut–terlepas dari latar belakang mereka, dipandang sebagai komunitas orang beriman yang setara. Selama shalat-shalat berjamaah, terutama shalat wajib, semua berdiri berdampingan sebagai sebuah kesatuan. Hal yang sama berlaku untuk ritual lainnya, terutama di musim haji atau dengan kata lain ibadah haji tak mengenal hambatan rasial.
Nabi Muhammad SAW, dalam khotbah terakhirnya menyatakan, “Semua manusia berasal dari Adam dan Hawa, seorang Arab tidak memiliki keunggulan dibandingkan non-Arab, maupun non-Arab memiliki keunggulan lebih dari seorang Arab. Seorang Kulit Putih tidak memiliki keunggulan di atas Kulit Hitam, atau Kulit Hitam tidak memiliki keunggulan atas Kulit Putih kecuali oleh kesalehan dan tindakan yang baik. “
Kata-kata ini memiliki efek besar pada pemimpin hak-hak sipil Amerika Malcolm X yang–sebagai mantan nasionalis kulit hitam, pada awalnya membenci orang kulit putih karena penderitaan yang ia dan komunitasnya alami. Dia kemudian menyadari kesetaraan sejati semua manusia hanya ketika dia melakukan haji di Mekah, bertemu Muslim dari semua warna kulit, dari keempat penjuru dunia. Dia mengatakan, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia tidak merasakan antagonisme rasial terhadap orang kulit putih, sebagaimana juga tidak merasakan adanya pertentangan di pihak mereka terhadapnya.
Rasisme berasal dari kesombongan. Tak satu pun dari kita bisa memilih di mana tempat kita dilahirkan, atau pada taraf kekayaan dan hak istimewa sejarah apa yang akan diberikan kepada kita. Namun sebagian dari kita merasa seperti telah berperan dalam mencapainya. Dunia akhir-akhir ini telah kehilangan jangkar moralnya, dengan penguasa otoriter di beberapa negara maju yang kuat, yang berusaha menciptakan mentalitas ‘kita dan mereka’, berdasarkan kebangsaan atau warna kulit. Hal ini sering diperburuk oleh jumlah kekayaan tidak senonoh di tangan segelintir miliarder istimewa, yang kemudian digunakan untuk mengendalikan masyarakat dan politiknya.
Bentuk terlemah dari memerangi penindasan adalah dengan tidak menyetujuinya secara internal, tetapi ketika menyangkut rasisme, kita membutuhkan lebih banyak orang untuk melakukan penentangan secara vokal dan mengambil tindakan nyata untuk menghadapinya. Ini berarti (kita harus) bergabung dalam gerakan protes atau menolak bekerja dengan orang-orang yang menunjukkan perilaku rasis. Sampai hal ini bisa dilakukan, terutama oleh orang-orang di posisi istimewa, kita tidak akan mencapai dunia yang bebas rasisme.
Nilai-nilai universal kita tentang martabat dan kesetaraan manusia dapat menjadi penangkal abadi terhadap rasisme dan kebencian, ketika dipahami dan diterapkan dengan benar. [ ]
*Dr Muhammad Abdul Bari adalah pemuka masyarakat di Inggris, guru, konsultan parenting dan penulis. Artikel dan tulisan lainnya dapat diakses melalui laman www.drabdulbari.com. Diunggah di Jernih.co atas izin langsung yang bersangkutan.