Kelak di akhirat, mereka semua akan ditanya perihal diri mereka sendiri, sedangkan engkau lain. Engkau kelak akan ditanya perihal mereka semua
JERNIH—“Tidak bisa dibiarkan begitu saja tindakan penguasa yang salah seperti itu!” Demikian ucapan Sa’id bin Sulaiman, seorang ulama Irak abad ke 3 Hijrah atau 9 Masehi ketika mendengar kabar bahwa Mas’a[1] akan dikosongkan, hanya karena seorang penguasa akan mengadakan ibadah sa’i di situ. Kala itu sang ulama sedang berada di Mekkah Al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji.
Sa’id bin Sulaiman segera menjumpai seorang ulama ternama kota suci itu, Abu Abdurrahman bin Abdul Aziz Al-Amri, di tempat kediamannya.
“Saudaraku Abu Abdurrahman. Saya mendengar kabar hari ini Amirul Mukminin akan melaksanakan ibadah sa’i. Menurut kabar yang saya terima, Mas’a akan dikosongkan. Bukankah hal yang demikian akan merepotkan para jamaah haji?”
“Tidak!” jawab sang ulama Mekkah itu. “Saya akan membuat Amirul Mukminin tidak akan melakukan tindakan demikian itu. Dia tidak berhak.”
Amirul Mukminin yang sedang mereka bicarakan tidak lain adalah Harun Al-Rasyid. Ketika itu Sang Khalifah sedang berada di Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.
Benar saja, ketika Harun Al-Rasyid dan rombongan yang menyertainya sedang bergerak menuju Bukit Safa usai berthawaf, Abu Abdurrahman mendekati mereka. Sang ulama dengan suara lantang berseru kepada sang penguasa,”Harun! Harun!”
Begitu melihat Harun Al-Rasyid berpaling kepada dirinya, sang ulama berkata,”Harun! Pandanglah Bukit Safa, lalu alihkan pandanganmu ke arah seputar Kakbah.”
Menyadari dirinya sedang melaksanakan ibadah haji, Khalifah Harun pun berusaha bersabar mendengar seruan demikian. Dia pun memenuhi seruan itu. Ternyata, di seputar Kakbah, dia melihat ratusan ribu jamaah haji sedang berthawaf dengan berdesak-desakan.
“Harun! Kuasakah engkau menghitung jumlah mereka?”
“Siapakah yang kuasa menghitung jumlah mereka?”
“Hanya Allah SWT jualah yang mengetahui jumlah merekla,” sahut Khalifah Harun.
“Harun,” kata Abu Abdurrahman,” Kelak di akhirat, mereka semua akan ditanya perihal diri mereka sendiri, sedangkan engkau lain. Engkau kelak akan ditanya perihal mereka semua. Karena itu renungkanlah, bagaimana engkau kelak akan menjawab pertanyaan perihal mereka semua.”
Mendengar seruan demikian, Khalifah tak kuasa menahan tangis. Selepas berdiam diri sejenak, ia pun memerintahkan agar Mas’a tidak dikosongkan. [dsy]
Dari
“Islamic Golden Stories: Tanggung Jawab
Pemimpin Muslim”, Ahmad Rofi’ Usmani, Al Bunyan, 2016. Dengan perubahan
seperlunya.
[1] Mas’a adalah tempat pelaksanaan sa’i yang menghubungkan Bukit Safa dan Marwah, di Mekkah, yang pernah menjadi saksi bolak-baliknya Siti Hajar sekitar 4000 tahun silam. Pada 1343 H atau 1925 M, Raja Abdul Aziz memerintahkan supaya Mas’a diperkeras dengan batu granit sehingga para Jemaah haji atau pun umroh yang sedang melaksanakan sa’i tak lagi terganggu oleh debu dan kotoran jalan. Selepas itu Mas’a kemudian dinaungi atap untuk menghindarkan jamaah haji dari terpaan sinar matahari, terutama di musim panas.