Taras tak ‘sekadar‘ Ronggowarsito sang pujangga keraton. Kalau pun harus mencari pembanding—bisakah manusia yang menurut hukum I Darwin sejatinya unik itu diperbandingkan?–, mungkin Taras lebih dekat dengan Jose Rizal Mercado, sastrawan besar dan Bapak Bangsa Filipina. Lihatlah sikap mendiang dalam “Noli Me Tangere”—“Touch Me Not”, dan kita akan menemukan kesamaan sikap mereka berdua terhadap penjajah.
JERNIH–Suatu bangsa, kata orang, tumbuh dengan darah dan jiwa (para) pahlawannya sebagai rabuk. Darah yang tumpah, jiwa yang basah, memang seharusnya menggemburkan setiap hati warga bangsa tersebut untuk senantiasa tak sekadar mengingat, tetapi meneladani dan menghidupkan semangat pembebasan sang pahlawan, sesuai elan zaman. Bung Karno pernah berkata, bangsa yang besar adalah bangsa yang tak melupakan sejarahnya; bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya.
Di tengah perjuangannya menolak tunduk pada kesewenang-wenangan Rusia, bahkan sejatinya sejak lama, rakyat Ukraina tampaknya paham akan hal itu. Berabad-abad berada dalam cengkeraman Rusia—dan Sovyet kemudian—Menteri Luar Negeri Ukraina, Dmitry Manuilsky, adalah orang asing yang gigih memper-juangkan pengakuan dunia akan kemerdekaan Republik Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Manuilsky merupakan ketua utusan Republik Soviet Sosialis Ukraina di PBB di akhir 1040-an itu. Mereka percaya, Tuhan berkehendak setiap manusia lahir merdeka, dan tidak pada tempatnya—alias sangat tidak adil—manusia memperbudak sesamanya.
Semangat itu pula yang tampaknya melatarbelakangi acara yang digelar Kedutaan Besar Republik Ukraina di Jakarta, Rabu (6/2) kemarin. Bertempat di Galeri Nasional, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta, Kedubes Ukraina menggelar “Peringatan 210 Tahun Lahirnya Taras Shevchenko”, bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Menariknya, menurut Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan-Kemdikbudristek, Irini Dewi Wanti, kegiatan tersebut merupakan acara kerja sama kebudayaan pertama antara Ditjen Kebudayaan dengan Kedubes Ukraina, setelah 32 tahun kedua negara menjalin hubungan diplomatik!
Mengapa Taras Shevchenko?
Sulit untuk menafikan posisi penting Taras Shevchenko dalam sejarah Ukraina modern. Posisinya unik. Tidak hanya seorang seniman dan budayawan (penyair dan pelukis terkemuka dalam sejarah kebudayaan modern Ukraina), Taras juga seorang ‘pejuang kemerdekaan’ Ukraina. Meski barangkali bukan orang pertama dan satu-satunya yang mengembalikan identitas nasional Ukraina kepada bangsanya, peran Taras dalam menumbuhkan rasa bangga dan cinta rakyat Ukraina akan bangsanya begitu besar.
Penulis bersama rombongan, di depan University of Taras Shevchenko, Januari 2020. Foto pribadi
Laman Wikipedia menulis, Taras dianggap merupakan dasar dari sastra Ukraina modern, bahkan bahasa Ukraina modern. ‘’Beliau seorang Ronggowarsito bagi kami,”kata Duta Besar Republik Ukraina untuk Indonesia Vasyl Hamianin. Vasyl Hamianin memang dikenal sebagai seorang diplomat yang menaruh minat besar pada kebudayaan Indonesia.
Dilahirkan di Desa Moryntsi, Cherkasy, Ukraina, pada 9 Maret 1814, sebagaimana Taras Boulba, pahlawan yang dikenal publik Indonesia lewat buah pena sastrawan Rusia, Nikolay Gogol, Taras Shevchenko adalah seorang suku Cossack (kadang ditulis Kozak). Suku nomaden ini sejak lama diperbudak para tuan tanah penjajah Rusia. Para penjajah memang memiliki watak buruk yang sama. Di Indonesia, tak hanya memperbudak secara kiasan, secara harfiah pun Belanda—via VOC—kaya karena perdagangan rempah-rempah curian serta perdagangan budak. VOC boleh bangkrut dan hancur akhir 1799, bahkan secara resmi menghapus perbudakan warga Indonesia dan perdagangan budak antarnegara di Hindia Timur pada 1 Januari 1860, menurut Indonesianis Belanda,Reggie Baay, perbudakan di ‘Hindia Belanda’ tetap eksis hingga sekitar dekade kedua abad 20. Baay, dalam “Daar werd wat gruwelijks verricht: Slavernij in Nederlandse-Indie (“Di Sana Dilakukan Hal-hal yang Mengerikan: Perbudakan di Hindia Belanda”), VOC saja sedikitnya telah memperbudak dan memperdagangkan budak hingga sejuta orang sampai perusahaan itu amblas karena korupsi!
Meski hidup sebagai budak, sejak kecil Taras sudah menyukai seni lukis dan sastra. Pada usia delapan tahun, Taras mulai mengikuti kelas tata bahasa dari seorang dirigen di gereja setempat. Di masa kecil itu ia mulai karya sastrawan cum filosof Ukraina, Hryhoriy Skovoroda. Saat usia Taras belasan tahun, suatu malam Pavel Engelgardt, majikan barunya yang mendapatkan Taras sebagai budak warisan, melihat Taras melukis potret Kazaki Matvei Platov, pahlawan pada Perang Patriotik 1812. Taras dihukum dengan dicambuk, yang membuatnya terluka parah. Namun, Engelgardt mud aini pula yang menyokongnya belajar di Akademi Seni Saint Petersburg.
Saat belajar di akademi tersebut, terbit karya besar pertama Taras, “Kobzar” (1840), suatu kata dalam bahasa Ukraina yang merujuk pada penyair yang juga bermain musik. Karya ini, konon, memperlihatkan identitas Ukraina yang kuat.
Karya-karya besarnya telah membantu Taras terbebas dari status sebagai serf (hamba tani). Namun karya-karyanya pula yang membuat Taras berkali-kali dihukum, dicambuk, bahkan dibuang. Ia pun akhirnya harus berhadapan langsung dengan pemerintahan Tsar Nicholas I karena karya-karyanya, di antaranya “Haidamtsky”, “Three Years”, dan “Dream”, dianggap mengganggu ‘stabilitas’ penjajahan Rusia. “Dream”, menurut saya laiknya karya Soewardi Soerjaningrat, “Als ik eens Nederlander was”—“Seandainya Aku Orang Belanda”, yang terbit 1913, sebelum ia memilih menjadi seorang moderat dan mengganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
Setelah diperkarakan Tsar karena dianggap menghina Tsarina, ibu negara Rusia, pada 1847 Taras divonis bersalah karena menulis dalam bahasa Ukraina, mendukung kemerdekaan Ukraina, dan menghina keluarga Kerajaan Rusia. Pada 1861, pada usia 47 tahun, Taras meninggal. Ia berpulang sebagai seorang merdeka, namun tak sempat menyaksikan negerinya bebas dari perbudakan.
Taras awalnya dimakamkan di Pemakaman Smolensky, Saint Petersburg. Namun untuk memenuhi keinginan yang sampaikan dalam puisi “Wasiat” (“Zapovit”) agar dapat dimakamkan di Ukraina, teman-temannya mengatur pemindahan jenazah Taras. Layon itu dibawa dengan kereta api ke Moskwa, kemudian diangkut dengan gerobak ke Ukraina. Jenazah Shevchenko dikuburkan pada 8 Mei di Bukit Chernecha (sekarang Bukit Taras) tepi Sungai Dnieper dekat Kaniv. Keinginannya untuk mendengar gemuruh arus Dnieper dari kubur, terpenuhi sudah.
Perjalanan hidup, karya dan perjuangan besarnya itu yang membuat saya sedikit berbeda dalam menilai Taras dibanding YE Vasyl Hamianin. Bagi saya, Taras tak sekadar ‘Ronggowarsito’ sang pujangga keraton. Kalau pun harus mencari pembanding—bisakah manusia yang menurut hukum I Darwin sejatinya unik itu diperbandingkan?–, mungkin Taras lebih dekat dengan Jose Rizal Mercado, sastrawan besar dan Bapak Bangsa Filipina. Lihatlah sikap mendiang dalam “Noli Me Tangere”—“Touch Me Not”, dan kita akan menemukan kesamaan sikap mereka berdua terhadap penjajah.
Wajar dengan sikapnya itu Taras Shevchenko dihormati tak hanya di Ukraina. Catatan hingga hari ini, ada setidaknya 1.167 monumen didirikan untuk mengenang Taras. Sebanyak 1.068 ada di Ukraina; sementara 99 lainnya tersebar di 44 negara lain, termasuk beberapa di Amerika Serikat.
Delapan terjemahan “Wasiat” Taras ShevchenkoKemarin, pada acara tersebut juga dibawakan salah satu karya puisi Taras,”Wasiat”. Dimulai dengan pembacaan karya tersebut dalam bahasa asli oleh Duta Besar Vasyl, berturut-turut delapan terjemahan puisi tersebut juga dibacakan. Dimulai dari “Wasiat”, terjemahan Prabowo Himawan, salah seorang staf Kedutaan Besar RI di Kyiv, yang telah tinggal sekitar 30 tahun. Berturut-turut kemudian dibacakan terjemahan puisi itu dalam Basa Sunda, hasil terjemahan Darmawan Sepriyossa, oleh Dwi Hasna Nurulita, seorang mahasiswa UNPAD; dalam Bahasa Manado terjemahan Wendy Leonardi Gerungan, Bahasa Minang (terjemahan Dr Suryadi, “Bokaimanaa” dalam Bahasa Papua (Natalius Pigai), “Bhisama” dalam Bahasa Bali (I Nyoman Astama), Bahasa Jawa (Hema), dan Bahasa Batak (Tona, oleh Dora M Gultom).
Inilah “Wasiat”, dalam versi Inggris, terjemahnan John Weir.
My Testament
When I am dead, bury me
In my beloved Ukraine,
My tomb upon a grave mound high
Amid the spreading plain,
So that the fields, the boundless steppes,
The Dnieper’s plunging shore
My eyes could see, my ears could hear
The mighty river roar.
When from Ukraine the Dnieper bears
Into the deep blue sea
The blood of foes … then will I leave
These hills and fertile fields —
I’ll leave them all and fly away
To the abode of God,
And then I’ll pray …. But till that day
I nothing know of God.
Oh bury me, then rise ye up
And break your heavy chains
And water with the tyrants’ blood
The freedom you have gained.
And in the great new family,
The family of the free,
With softly spoken, kindly word
Remember also me.
—December 25, 1845 in Pereyaslav
[dsy/INILAH.COM]