Ketentuan perburuan pertama kali diterbitkan pemerintah kolonial pada tahun 1931 dengan keluarnya undang-undang perburuan (Jacht Ordonantie) dan undang-undang binatang liar (Dierenbescherning Ordonantie). Selain itu, kegiatan perburuan juga tunduk pada undang-undang senjata api, mesiu, dan bahan peledak (Vuurwapen Ordonantie).
Oleh : Egy Massadiah*
JERNIH– Indonesia setidaknya memiliki 11 lokasi taman berburu. Nah, ada dua lokasi taman berburu yang berada di Pulau Enggano. Taman Buru (TB) Semidang Bukit Kabu (9,1 ha) dan TB Nanu’a (7,2 ha).
TB Nanu’a beroperasi tahun 2011 dengan SK Menhut No. SK 116/Menhut-II/2011. Sementara TB Semidang Bukit Kabu beroperasi di atas legalitas SK Menhut No. SK 784/Menhut-II/2012.
Dari kedua taman buru tadi, baru Taman Buru Gunung Nanu’a yang sudah mulai dikelola, meski masih jauh dari ideal. Di sana, Anda bisa berburu “plus-plus”. Tentu saja tetap dalam koridor taman buru sesuai UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang mengatur kawasan hutan yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.
Pulau kesepian
Pertanyaannya, tahukah Anda di mana letak Enggano? Mari bayangkan peta Indonesia. Di sisi barat Pulau Sumatera terdapat banyak pulau. Paling utara Sabang, lanjut Simeuleu (Aceh), turun ke selatan kepulauan Nias (Sumatera Utara). Di selatan lagi Kabupaten Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat), dan paling selatan ada satu pulau yang tampak kesepian. Itulah Enggano.
Ada enam desa di kecamatan Enggano: Malakoni, Apoho, Meok, Banjar Sari, Kaana, dan Kahyapu. Pusat pemerintah di Desa Apoho. Kecamatan Enggano masih memiliki pulau lain, masing-masing bernama Pulau Dua, Merbau, Bangkai, dan Satu. Keempatnya terletak di sebelah Barat Enggano.
Luas Kecamatan Enggano, 400,62 kilometer persegi dan luas daratan 397,18 kilometer persegi. Panjang pantainya 123,23 kilometer, Enggano merupakan batas terluar dengan Samudra Hindia.
Nah, akhir Maret 2022 lalu saya berkesempatan menemani Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD), Letjen TNI Purn Dr (HC) Doni Monardo. Selama empat hari, kami berada di Enggano.
“Sudah lama saya merencanakan berkunjung ke Enggano, terutama saat menjabat Kepala BNPB. Dari sisi geografis, Enggano berada di lokasi terluar yang berpotensi gempa dan tsunami. Jadi perlu ada kegiatan mitigasi,” ujar Doni Monardo, tak lama setelah turun dari penerbangan 45 menit Bengkulu – Enggano, menggunakan pesawat Susi Air jenis Caravan berkapasitas 12 tempat duduk.
Medan off road
Tiba di Bandara Enggano yang terletak di Desa Banjar Sari, Doni Monardo dan rombongan menuju Hotel Wisata Berlian yang terletak di Desa Kahyapu. Jarak kedua desa ini sebenarnya hanya “selemparan batu”. Apa mau dikata, dibutuhkan waktu tak kurang dari satu jam untuk mencapainya.
Biang kelambatan itu adalah akses jalanan dari bandara ke hotel yang tidak layak disebut jalan. Tetapi lebih tepat disebut medan off-road. “Orang-orang kota” penikmat jalan beraspal mulus, bisa jadi akan menyebutnya kubangan kerbau. Tapi Doni Monardo tampak santai saja meski tubuhnya terguncang guncang di atas kendaraan roda empat.
“Enggano cocok untuk wisatawan penikmat alam, utamanya yang punya hobby berburu,” kata Doni membuka perbincangannya.
Alhasil, cerita berburu menjadi salah satu topik yang secara khusus dibicarakan bersama rombongan yang menyertai.
Perlu Anda ketahui, aturan perburuan di Indonesia, sudah dikenal sejak era kolonial. Menurut catatan, perburuan secara legal telah dilakukan sejak tahun 1747 dengan sasaran badak dan harimau.
Ketentuan perburuan pertama kali diterbitkan pemerintah kolonial pada tahun 1931 dengan keluarnya undang-undang perburuan (Jacht Ordonantie) dan undang-undang binatang liar (Dierenbescherning Ordonantie). Selain itu, kegiatan perburuan juga tunduk pada undang-undang senjata api, mesiu, dan bahan peledak (Vuurwapen Ordonantie).
Setelah era kemerdekaan keluar Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Aturan teknis perburuan selanjutnya diatur dengan peraturan menteri yang membawahi bidang kehutanan.
Aturan perburuan
Berburu di taman buru sarat dengan aturan. Terkait syarat teknis seorang pemburu, jenis binatang yang bisa diburu, waktu perburuan, alat yang dipakai berburu dan jumlah hewan buruan. Sebelum berburu, pemburu harus mengantongi surat izin berburu.
Jenis dan jumlah binatang buruan diatur dalam Permenhut No: P.19/Menhut-II/2010 tentang Penggolongan dan Tata Cara Penetapan Jumlah Satwa Buru.
Satwa dilindungi sebagai satwa buru dapat ditetapkan dalam rangka: pengendalian hama, pembinaan populasi, pembinaan habitat, penelitian dan pengembangan, rekayasa genetik memperoleh bibit penangkaran, dan pemanfaatan hasil penangkaran.
Dua di Enggano
Mendengar upaya pengembangan program wisata berburu di wilayahnya, Camat Enggano, Susanto sungguh gembira. Seperti yang ia tahu, Pemkab Bengkulu Utara juga sudah mengundang investor untuk menanamkan modal di sektor pariwisata Enggano. “Tak kurang 120 hektare spot yang bisa dijadikan tujuan utama beach watching kalau ke Enggano. Sangat indah,” kata Susanto, promosi.
Doni bertanya, “Apakah pernah ada turis asing ke sini?”
Cepat camat menjawab, “Pernah. Dari Belgia, Perancis, dan Jerman. Rata-rata mereka datang rombongan kecil, 7 sampai 10 turis. Kami punya kendala promosi. Pernah kami bikin akun medsos Facebook dan Instagram. Pernah juga bikin website. Tapi kendalanya adalah signal hape yang belum merata. Akhirnya, saat ada orang bertanya atau bahkan reservasi, kami lambat merespons. Kesannya kami tidak serius. Padahal karena di Enggano susah sinyal,” paparnya.
Doni lalu memperkenalkan dua orang anggota rombongannya: Sinyo Haryanto dan Roy Haryanto. Jika Anda pernah mendengar pembalap Indonesia Rio Haryanto, nah Sinyo adalah bapaknya. Dua orang yang dibawa Doni itu tokoh olahraga berburu Indonesia.
Doni Monardo mengajak Sinyo dan Roy untuk menjajaki medan berburu Enggano. Mereka mendiskusikan sampai pada soal-soal teknis seperti penyediaan fasilitas glamping kelas premium. “Tentu Pak Sinyo dan PPAD tidak bisa sendiri, melainkan harus menggandeng masyarakat Enggano,” ujar Doni.
Doni teringat apa yang ia dengar dari Sinyo dan Roy Haryanto. Dalam setiap kegiatan berburu, pasti membutuhkan pendamping. Fungsinya selain menunjukkan rute, juga untuk membantu membawa perlengkapan buru, termasuk bahan makanan. “Dan kalau berburu bisa berhari-hari,” tambah Doni.
Bisa jadi ada saat-saat berburu malam hari. Ada kalanya berburu di siang bolong. Masyarakat pemandu juga harus paham seluk beluk taman buru yang ada di Enggano, termasuk mengetahui kapan hewan-hewan buruan itu keluar. Apakah rusa, babi hutan, dan sebagainya.
Menjaga kearifan lokal
Keterlibatan masyarakat dalam mendukung wisata berburu di Enggano sangat dibutuhkan. Selain fungsi yang disebut di atas, masih ada fungsi lain, yaitu untuk melestarikan adat-istiadat dan budaya lokal.
“Barangkali ada hal-hal yang boleh dan tidak boleh menurut adat-istiadat. Jangan sampai karena tidak mengindahkan adat dan budaya lokal, terjadi kasus pemburu tersesat di tengah hutan, berputar-putar tak bisa menemukan jalan keluar. Maklumlah, di hutan kerap terjadi hal-hal mistis,” ujar Danjen Kopassus 2014-2015, itu.
Bak gayung-bersambut, menurut Sinyo, olahraga berburu adalah salah satu cara paling efektif memperkenalkan dan mengembangkan daerah wisata baru, seperti Enggano. “Sebab pemburu itu basisnya olahragawan. Tapi aktivitasnya bisa jadi beriwisata. Dan komunitas berburu itu rata-rata orang-orangnya adalah penantang adrenalin. Naik pesawat kecil, baling-baling atau perahu pun tidak masalah. Orangnya nekat-nekat, ha… ha… ha…,” kata Sinyo.
Plus plus
Nah aktivitas berburu di Enggano ini bisa jadi plus plus. Bayangkan, dipadu dengan kegiatan menyelam, memancing dan kuliner seafood. Semua itu tentu menjadi kegiatan yang sangat mengasyikkan. Jika berkenan hati, mereka dengan sendirinya akan menceritakan kepada komunitas yang belum pernah ke Enggano.
“Jadi, yang hobby berburu akan bercerita kepada para pemburu lain. Komunitas menyelam akan menceritakan kepada para penyelam lain. Komunitas pemancing akan menceritakan kepada para penghobi mancing lain. Lama-kelamaan, turis berdatangan,” tambah Sinyo, optimistis.
Sinyo menambahkan, potensi mendatangkan devisa dari sektor wisata berburu juga sangat besar. Di luar negeri, sekali berburu seorang pemburu bisa mengeluarkan uang tak kurang dari 20.000 US Dollar atau hampir Rp 300 juta.
“Sepengamatan saya, Enggano bagus. Hutannya asli, dan babi hutan di sini sudah masuk kategori hama,” ujar Sinyo yang sudah menjelajahi Afrika dan Amerika dalam rangka berburu.
Sinyo dan Roy berjanji berkunjung kembali guna mematangkan survei lokasi. Ia tidak ingin, ketika mengajak teman-teman berburu ke sini, mereka kecewa. Karena itu, ia harus mendapatkan gambaran yang utuh, sehingga apa yang disampaikan kepada para pemburu, maka itulah yang didapat oleh para pemburu, ketika datang ke Enggano.
Menurut Sinyo komunitas berburu Indonesia selama ini juga memperhatikan faktor konservasi. Karena itu dalam dunia olahraga berburu, ada ketentuan untuk hanya diperbolehkan menembak binatang yang jantan. Tujuannya supaya habitat babi hutan, rusa, dan hewan-hewan buruan lain lestari.
Aturan resmi mengenai berburu telah diterapkan organisasi Safari Club International (SCI), termasuk mengenai konservasi dan pemanfaatannya. Di Indonesia peraturan mengenai berburu diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru.
Kegiatan berburu mutlak mengacu kepada peraturan dan tata tertib yang berlaku, guna menekan kegiatan pembantaian satwa yang dewasa ini diperkirakan banyak ditemukan di tengah masyarakat. Khususnya pembantaian hewan-hewan langka dan dilindungi. Karena itu, Sinyo mengingatkan masyarakat yang memiliki minat dan hobi berburu hendaknya senantiasa memegang tuguh kaidah hukum yang berlaku.
Satwa buru pada dasarnya adalah satwa liar yang tidak dilindungi, sehingga dalam kondisi tertentu binatang yang boleh menjadi sasaran berburu hanya babi hutan. Hal tersebut didasarkan pertimbangan bahwa babi hutan dianggap sebagai hama yang merugikan petani.
Kenyataan di lapangan, pembantaian binatang liar hingga kini masih terjadi, di antaranya terhadap berbagai jenis burung dan binatang langka untuk kepentingan komersil.
Seorang pemburu sejati melakukan perburuan satwa liar dengan memegang prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dianut oleh seorang konservasionis atau pelindung alam. “Setiap pemburu harus mengenal dan memahami sifat-sifat dan gerakan alam atau ekologi serta mampu menjaga keseimbangan alam,” pungkas Sinyo.
Simak terus catatan perjalanan Enggano, karena masih melimpah kisah cerita lainnya yang menginspirasi. Tabik! [ ]*Egy Massadiah, wartawan senior, konsultan media, menulis sejumlah buku serta pembina Majalah “Jaga Alam”