POTPOURRI

Bung Tomo dan Saat Rakyat Menyisihkan Berasnya, Berbagi untuk India*

Bajunya hitam, dan di pinggangnya menonjol sepucuk pistol. Ia rupanya arek Surabaya yang bernama Bung Tomo. Bagaikan harimau ia meneriakkan,”Allahu Akbar!” dan “Merdeka!” entah berapa puluh kali, mengepal-ngepalkan tinjunya ke udara, sehingga awan pun menyingkir terburu-buru. Tanpa permisi ia langsung memaki-maki kolonialisme, mengajak orang mati untuk kemerdekaan, mengajak orang menembak kepala siapa saja yang menginjak-injak Tanah Airnya.

Oleh  : H Mahbub Djunaidi**

JERNIH—Solo tahun 1947 siang hari, penduduk berbondong-bondong ke Alun-alun. Ada apa? Ada pertandingan sepak bola? Atau ada tukang sulap? Ataukah Baginda Raja kanjeng Susuhunan XII mau berangkat ke Masjid Besar? Ternata bukan. Penduduk datang berbondong-bondong karena ingin mendengarkan pidato Bung Tomo.

H Mahbub Djunaidi

Saya yang lagi main layangan segera menggulung benang dan bergegas lari. Di Alun-alun sudah penuh, rumput sudah ditutupi kepala manusia. Saya heran, dari lubang mana keluar orang sebanyak itu. Apa yang mereka harapkan dari mendengarkan pidato di zaman sesusah itu? Makan dan ganti baju sama sulitnya dengan tidur sambil berdiri.

Sekarang ini saya baru tahu, begitulah seorang pemimpin yang punya charisma, sanggup mengundang datang begitu banyak orang, terpanggang di bawah sinar matahari tanpa imbalan apa pun walau seteguk air dingin. Sekarang saya baru tahu, betapa hebatnya kekuatan massa yang menginginkan kemerdekaan dan kebebasan, tak ada yang sanggup membendung. Ia bagaikan air bah yang meluncur dari gunung. Siapa pula yang mampu menghambat dahsyatnya revolusi?

Maka datanglah sebuah mobil tua. Isinya sarat, baik di dalam maupun di luar kap mobil. Sungguh mengherankan, bagaimana barang itu masih mampu memikul bebannya. Persis di atas kap, duduk seorang muda berkulit cokelat. Rambutnya panjang tergerai lewat bahu. Kepalanya diikat dengan kain merah-putih. Kedua bola matanya berpendar-pendar. Ia melompat turun dan sekali lompat naik ke atas mimbar.

Bajunya hitam, dan di pinggangnya menonjol sepucuk pistol. Ia rupanya arek Surabaya yang bernama Bung Tomo. Bagaikan harimau ia meneriakkan,”Allahu Akbar!” dan “Merdeka!” entah berapa puluh kali, mengepal-ngepalkan tinjunya ke udara, sehingga awan pun menyingkir terburu-buru. Tanpa permisi ia langsung memaki-maki kolonialisme, mengajak orang mati untuk kemerdekaan, mengajak orang menembak kepala siapa saja yang menginjak-injak Tanah Airnya.

Ia mengajak penduduk sealun-alun itu menguber Belanda dan mendorongnya masuk laut. Lautan manusia pun bersorak-sorai menyambutnya, siap berdiri di belakang punggung pemimpinnya tanpa banyak cingcong.

Sesudah berteriak bahwa kita bukan anjing yang mau diperbudak, sesudah berteriak bahwa kita ini bukanlah ekstremis dan bukan pula tukang jagal yang suka penggal kepala tanpa sebab-sebab yang jelas, pemuda Sutomo itu segera membuka bajunya dengan sekali copot. Ia kini telanjang di bawah matahari.

“Saudara-saudara, sekarang ini bangsa India lagi diserang kesusahan dan kelaparan. Mereka tidak punya baju dan tidak punya makanan. Mereka lagi ditimpa malapetaka. Untuk membuktikan kita ini bukan bangsa yang biadab seperti kata Belanda itu, aku mau berikan bajuku ini untuk kawan-kawan dari India. Marilah kita bantu India dengan makanan dan pakaian. Marilah kita sisihkan beras kita yang sedikit ini untuk orang India. Biarpun kita sendiri lagi susah, biar pun kita sendiri lagi setengah mati berjuang untuk kemerdekaan, kita mesti bagi baju dan beras kita buat India. Marilah berdiri di belakang saya membantu India. ”

Manusia menyambutnya dengan gegap gempita, pohon beringin di tengah-tengah alun-alun itu seperti nyaris tercerabut akar-akarnya.

Tahun 1978 bersama Bung Tomo dan Dr Ismail Sunny SH kami bertiga dimukimkan di suatu tempat di Jakarta Timur. Kompleknya berumput dan berpagar kokoh. Tidur bersama, bangun bersama, makan bersama sambil mendengar kicau burung.

Biar pun kami dipisahkan dari masyarakat, penghuninya tetap mengadakan upacara Hari Pahlawan.

Waktu memperingati hari itu penghuni kompleks berdiri berjajar dan mengheningkan cipta. Masing-masing dengan pikiran dan kenangan sendiri-sendiri. Tidak kecuali Bung Tomo. Malahan, ada kelebihan pada orang ini: ia menangis. Rupanya terharu mengenang masa di Surabaya. Begitu keras tangisnya, hingga badannya terguncang-guncang.

Semua penghuni maklum, apa sebab jadi begitu, tak kecuali Imaduddin Abdurrahim dari ITB. Sejarah berjalan terus, tapi kenangan masa lampau rupanya membuntutinya kemana pergi. Bung Tomo seorang patriot, karena itu menangis tersedu-sedu.

Tanggal 10 November 1981 ketika kita peringati Hari Pahlawan, Bung Tomo sudah tiada. Dia wafat pada 7 Oktober 1981 di Arafah ketika menunaikan ibadah haji. Almarhum naik pesawat dengan kloter 50 dan bernaung di bawah Syeikh Fuad Bugis yang ternyata kurang bisa memenuhi selera. Boleh jadi karena lelah memimpin jemaah kian ke mari mencari pemondokan, lelah oleh perjalanan jauh, beliau masuk rumah sakit dan meninggal pada usia 61 tahun.

Dan persis tanggal 10 November 1989, meninggal pula seorang prajurit: Sarwo Edhie Wibowo. Orang yang dekat dengannya berkata bahwa almarhum seorang jujur dan prajurit sejati. Begitu kata Kemal Idris, begitu kata dr Mustopo yang menangis tersedu-sedu. Begitu kata pembesar-pembesar lain.

Berkata Bung Karno pada tanggal 10 November 1960 saat membuka Sidang Pertama MPRS di Gedung Merdeka, Bandung. Bukan saja terbayang di depan mata kita pahlawan-pahlawan Sultan Agung Hanyokrokusumo, Untung Surapati, Trunojoyo, Sultan Hasanuddin, Diponegoro, Cik di Tiro, Imam Bonjol, bukan hanya pahlawan-pahlawan kita dalam gerakan nasional, oleh karena mereka telah mendharmabaktikan dan merasakan pahit getir di atas persada Ibu Pertiwi.

Terbayang di depan mata kita, khayal kita, pemimpin-pemimpin yang menderita pedih di tempat pembuangan, yang dengan muka tersenyum menaiki tiang gantungan, yang menadahi pelor skadron pendrelan. Pahlawan adalah semua orang yang berkorban, menderita untuk kepentingan sesama manusia, bukan untuk kepentingan diri sendiri. [ ]      

*Judul dari redaksi Jernih.co, dari asalnya, “Kenangan”

** almarhum, sastrawan dan tokoh pers nasional. Dimuat di Harian Kompas, 3 November 1991.

Back to top button