Site icon Jernih.co

Cerita Pendek: Setahun Setelah Pemilu

Mama Ajengan memberi contoh nyata.  Beliau suka melafalkan niat solat, melakukan kunut subuh, marhaba dan tahlil. Tradisi khas NU. Tapi tidak menjadi anggota dan pengurus NU. Beliau juga akrab dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis.

Oleh  : Usep Romli HM   

Angin dinihari, dingin mencubit kulit.  Malah terasa terus mengiris daging. Dan tembus ke hati, begitu melihat bayangan hitam rumpun  pisang. Di situ, tadi siang, Mangsur menebaskan parang pada sebatang pohon pisang yang baru bertandan. Hingga rubuh.

Di situ, siang itu, menarik nafas panjang. Mengusap dada. Menahan keterkejutan dan kekesalan. Menahan rasa marah menyaksikian kekasaran Mangsur dan kawan-kasan yang tak mempedulikan tatakrama kesopanan.

“Ustad harus ikut tanggung jawab terhadap keadaan. Jika tidak melihat dan menghargai Ustad, aku dan kawan-kawan tabu memilih Subena untuk jadi anggota DPRD,”Mangsur berteriak. Didukung kawan-kawannya, yang tak kalah keras mencaci-maki Subena. “Mana kenyataannya? Mana? Jangankan memenuhi janji, dana milik rakyat malah ditilapnya.”

Dibiarkan saja. Apalagi dilawan. Akan menambah keributan. Malah sengaja meninggalkan mereka. Kebetulan sudah terdengar adzan duhur.

Mangsur dan kawan-kawannya, juga beranjak. Tapi bukan menuju tempat wudu. Melainkan ke luar area masjid. Dan di dekat gerbang, ia menebaskan parangnya ke rumpun pisang. Rubuh sekali tebas. Oh, betapa tajamnya parang itu.

“Untung tak kena leher orang,” Ondong, anak buah Mangsur, berkata sinis sambil melirik.

Terkejut. Trauma. Kesal. Sakit hati. Amarah tertahan. Membuat kaki gemetar lesu. Hingga terjatuh di depan jamban tempat wudu.

Sesabar-sabarnya orang,jika mendapat perlakuan begitu, tentu marah juga. Apalagi sebelumnya tak pernah mendapat perlakuan begitu. Termasuk dari Mangsur dan kawan-kawan, yang selama ini suka ikut pengajian di masjid. Belajar ilmu agama.

Setelah berwudu, timbul ketenangan. Perasaan mereda. Otak bisa berpikir jernih. Sekarang  terkuak jelas. Kemarahan Mangsur dan kawan-kawan, akibat pada pemilu setahun lalu. Subena yang ikut menjadi calon legislatif, datang berkampanye. Minta dukungan. Kebiasaan berkampanye, ia mengobral macam-macam janji.

Dengan Subeno pernah sama-sama mesantren.  Bersahabat akrab. Sering masak dan makan bersama. Dia yang menyediakan segalanya. Mulai dari beras hingga lauk-pauk. Maklum anak orang berada.

Waktu dia meminta bantuan mencarikan suara, tak dipikir panjang lagi, diiyakan saja. Mungkin timbul dari rasa terimkasih waktu di pesantren dulu, sering mendapat bantuannya.  Juga oleh pertimbangan masuk akal, sebagai orang pernah nyantri, tentu tahu halal-haram. Akan ada kendali. Tidak terlalu mabur seperti yang sudah-sudah. Subena menyetujui pendapat itu waktu dikemukakan kepadanya.

“Jadi bukan karena kau mengharap pemberianku. Tapi mengharap aku menerapkan ajaran pesantren jika aku  terpilih nanti, “dua tiga kali Subena mengucapkan kalimat itu. Hitung-hitung ijab kabul. Ia menyebutkan, walaupun bekerja sebagai pengusaha, tetap memiliki daya pikir santri. Walaupun tidak menjadi ajengan, tetap berpola hidup memegang kaidah iman dan amal soleh. Sering memberi sumbangan pembangunan masjid dan madrasah. Sering menyumbang sembako untuk fakir miskin, dan kebaikan-kebaikan lainnya.

Waktu itu, tiba –tiba teringat pada petuah Mama Ajengan. Subena juga pasti ikut mendengarkan. Beliau mengatakan, janganlah santri dan ajengan, ikut-ikutan berpolitik. Jangan memihak ke sana ke sini.  Santri dan ajengan jangan ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.

Mama Ajengan memberi contoh nyata.  Beliau suka melafalkan niat solat, melakukan kunut subuh, marhaba dan tahlil. Tradisi khas NU. Tapi tidak menjadi anggota dan pengurus NU. Beliau juga akrab dengan orang-orang Muhammadiyah dan Persis.

Tapi menjelang pemilu tahun 1971, Mama Ajengan sering diundang ke Koramil dan Kodim. Diharuskan mendukung sebuah partai peserta pemilu yang didukung tentara dan birokrat. Bahkan namanya tercantum sebagai anggota tim kampanye partai itu.

“Mama tak bisa berbuat apa-apa. Repot dipanggil terus-terusan oleh Kodim dan Koramil. Kasihan santri terganggu ngajinya. Sudah zamannya begini. Ajengan dilibatkan politik,”suara Mama Ajengan tersendat-sendat.

Ternyata keterlibatan Mama Ajengan berlanjut hingga ke pemilu-pemilu seterusnya.

“Memang untuk kebutuhan pesantren mudah diperoleh. Bangunan direhab. Bahkan ditambah bangunan baru. Dipasangi listrik. Jalan masuk pesantren diperluas dan diaspal. Namun kepercayaan umat berkurang. Mama dianggap ada di satu kubu. Tak bisa ke mana-mana dan ada di mana-mana,”kata Mama Ajengan dengan wajah lesu, setelah siang harinya berpidato dalam kampanye pemilu 1982. Harus menunjuk-nunjuk gambar Beringin, seraya melarang hadirin mencoblos tanda gambar bintang dan kepala banteng.”   

Mama Ajengan wafat tahun 1997. Keadaan pemilu sudah berubah. Tak lagi segawat pemilu seperti zaman Mama dulu. Warga mendapat kebebasan memilih partai apa saja.

Alhasil, kalau mendukung Subena, tak dapat disalahkan siapa-siapa. Hanya harus  waspada saja. Seraya memohon kepada Gusti Allah, agar tak salah membela calon. Sengaja membuat teks do’a. Dibagikan kepada seluruh jamaah untuk dibaca pada malam sebelum mencoblos esok hari.

Jika Mangsur teliti memahami isi do’a, tak perlu dia menebas batang pisang. Melampiaskan kekesalan karena telah mencoblos Subena. Karena  do’a itu berisi permohonan  agar Allah menunjukkan calon yang tulus, jujur, sehat jiwa raga dan benar.

“Ya Allah Maha Pemberi Kekuatan, luaskanlah jalan kami ke TPS. Kuatkanlah niat kami semua, agar tak ragu dalam memberikan hak suara kepada para calon wakil rakyat. Walau pun selama berbulan kami merasa sebal melihat lingkungan semrawut akibat sebaran spanduk, pamlet, dan sebagainya alat peraga kampanye para caleg. Semua penuh puji diri. Keadaan perkampungan yang dilingkungi bukit-bukit gersang, gunung-gunung gundul, sungai penuh limbah dan macam-macam lagi, tambah buruk dengan kehadiran alat kampanye itu. Ya Alloh, berilah kami rasa baik sangka untuk memahami ambisi pada caleg itu. Semoga Engkau mengampuni kelakuan mereka dan kesalahan kami yang telah memilihnya.”

“Masak Mangsur dan kawan-kawannya lupa akan isi doa itu?”

Memang mereka sering mengutarakan kekecewaan, setiap usai pemilu.

“Tapi siapa tahu Subena orang baik. Pernah mesantren dan kawan Pak Ustad Anuh, bukan?“ Mangsur menatap tajam. Seolah meminta jaminan kepercayaan.

Diiyakan saja. Disertai harapan sebagaimana tercantum dalam doa yang telah dibagikan itu.

Tapi baru setahun sudah timbul masalah. Para anggota DPRD meminta kenaikan tunjangan kesehatan, asuransi, kendaraan dinas, baju seragam dan studi banding dua kali setahun. Sedangkan kepentingan umum  terabaikan. Perbaikan jalan, rehab bangunan sekolah, saluran irigasi, tak tersentuh.

Subena sulit dihubungi. Mangsur dan kawan-kawannya pernah datang ke kantor DPRD. Tak ada yang menyambut.

 “Coba Pak Ustad Anuh yang datang ke sana. Mungkin mau menerima,” Mangsur dan kawan-kawannya, menyarankan.

Ternyata memang, sulit menemui Subena. Lama harus menunggu selesai rapat komisi. Hampir tiga jam baru muncul . Itupun terburu-buru karena ada rapat fraksi.

“Pokoknya segala janji kampanyeku, akan dibayar cepat. Di kampungmu, perlu saluran irigasi, kan? Akan saya ajukan ke rapat fraksi, untuk diajukan ke badan anggaran,”ia seolah ingin segara menutup pertemuan.

Malam harinya, disampaikan kepada Mangsur dan kawan-kawannya yang sengaja datang ke rumah. Tampak mereka amat kecewa. Bahkan seorang di antaranya, berkata keras : “Kalau tak ditawarkan oleh Ustad Anuh, saya tak sudi milih Subena.”

Dan waktu pulang itulah, Mangsur dan kawan-kawan menebas pohon pisang dengan parangnya.

Setelah selesai membaca doa wudu, membayangkan amarah Mangsur  dan kawan-kawan semalam. Juga membayangkan Subena yang setahun lalu merengek-rengek, minta dukungan suara.

Penyesalan muncul menyesaki dada. [  ]              

Exit mobile version